Wednesday, June 25, 2014

Begawan Ran

Mi pangsit Mas Ran atau mi pangsit KUA. Begitu masyarakat Cepu dan sekitarnya menyebut sebuah warung di depan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cepu. Sejak saya di sekolah dasar sampai sekarang, warung mi pangsit Mas Ran ya begitu-begitu saja: tak bertambah lebar, tak bertambah bagus, tak memiliki bangunan permanen, dan tak membuka cabang. Kini yang agak berbeda adalah spanduknya. Dulu, berupa kain kuning bergambar sablon mirip si Unyil melet sambil pamer jempol. Kini, terpasang MMT bagus dari Mi Sedap.
Dasaran warung mulai digarap setiap sore. Jika air selokan meluap, warung Mas Ran pun tergenang. Anda dapat menikmati semangkuk mi pangsit berkuah panas mengepul kala gerimis di dalam warung yang kebanjiran. Pengalaman romantis bukan?
Displai warung yang sederhana itu tak mencerminkan cita rasa mi pangsit yang istimewa. Butuh catatan tersendiri untuk menceritakan betapa nikmat mi pangsit olahan Mas Ran. Dan, selama 15 tahun meracik mi, Mas Ran telah memiliki pelanggan setia. Singkat kata, mi pangsit depan KUA sangat lezat, sehingga tetap ramai konsumen hingga hari ini.

Tak Buka Cabang
Tulisan ini bukan reportase wisata kuliner, melainkan fokus pada beberapa pandangan dan sikap Mas Ran dalam berusaha. Dasar tulisan ini adalah wawancara insidental singkat beberapa waktu lalu.
Menggelitik bagi saya: manakala para usahawan berupaya mengembangkan bisnis seluas mungkin, baik dalam diversifikasi dan inovasi produk, marketing creative, branding management, service excellence, maupun pembukaan cabang di sana-sini, Mas Ran justru tampak mandek. Berkesan puas atas apa yang dia jalani selama ini. Bagi saya, itu ganjil. Padahal, dia memiliki modal fundamental untuk mengembangkan usaha. Pertama, resep mi pangsit yang istimewa. Kedua, memiliki banyak pelanggan setia.
Dalam skala internasional, dapatlah kita contoh ekspansi waralaba seperti Pizza Hut, KFC, atau Hoka-Hoka Bento yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, berbagai waralaba “-mart/-maret” kini memiliki cabang di setiap rukun warga (RW). Waralaba lokal seperti Pecel Lele Lela telah membuka cabang di beberapa provinsi. Begitu pula Warung Steak, Rocket Chicken, Special Sambal.
Perkiraan saya, selama 15 tahun ini seharusnya Mas Ran minimal bisa memiliki lapak permanen plus 10 cabang di beberapa kabupaten. Namun tidak. Mas Ran tidak mengembangkan usaha semacam itu. Justru itulah keunikan dan kebesarannya.

Universitas Mi Pangsit
Mas Ran memang tidak membuka cabang. Namun dia membidani kelahiran usahawan mi pangsit dan mi ayam di beberapa kabupaten. Warung mi pangsit depan KUA layaknya universitas yang mencetak sarjana-sarjana mi pangsit. Asisten Mas Ran adalah “mahasiswa-mahasiswa” yang sedang belajar meracik mi. Mereka juga belajar manajemen warung mi pangsit. Setelah mereka cukup menimba ilmu, “Professor” Ran memotivasi anak ideologisnya untuk secara mandiri merintis warung mi pangsit atau mi ayam. Bukan cabang dari mi pangsit KUA. Itulah alasan mengapa Mas Ran tidak memiliki cabang. Mas Ran lupa, atau lebih tepatnya tak pernah berniat menghitung, sudah berapa warung mi ayam yang sukses dibuka oleh mantan anak buahnya.
Itu tentu dia sadari dan dia sengaja. Mas Ran tak berkehendak membuka cabang warung mi pangsit KUA dan menjadi pusat jejaring cabang itu, lalu memperoleh penghasilan lebih banyak, kemudian memutar modal tersebut untuk ekspansi jaringan cabang yang lebih masif lagi. Tidak. Dia justru memosisikan usahanya sebagai “kampus” gratis bagi para calon usahawan mi ayam. Menarik. Selain membagi ilmu, setiap bulan Mas Ran juga menggaji “para siswa” itu.
Dalam nalar persaingan bisnis, tak seharusnya dia melakukan itu. Sebab, para mantan murid Mas Ran sangat potensial menjadi pesaing untuk berebut konsumen. Kecuali, mereka membuka warung mi ayam cabang Mas Ran, sehingga relasi usaha mereka lebih bersifat koordinatif daripada kompetitif. Namun kenyataannya itu tidak jadi masalah bagi Mas Ran. Mantan anak buahnya pun menggantang mi ayam mereka masing-masing. Entah bernama Mi Ayam Chibi-Chibi, Mi Ayam Unyu-Unyu, atau Mi Ayam Posmodern. Entahlah.
Oh iya, perlu digarisbawahi, asisten-asisten Mas Ran tidak datang dari golongan yang mampu secara finansial. Mereka bekerja di warung Mas Ran karena tidak memiliki dana untuk melanjutkan pendidikan formal. Juga tidak memiliki modal untuk membuka usaha. Di warung itulah mereka memperoleh kesempatan menjadi usahawan mi pangsit dengan modal ilmu dan tabungan finansial.
Asisten Mas Ran datang dan pergi. Melihat mantan anak didiknya berdikari merupakan kebahagiaan tersendiri bagiMas Ran.

Potret sang Begawan
Saya tidak habis pikir. Itu luar biasa. Mas Ran melewatkan kesempatan menjadi the wealthy, orang kaya. Dia memilih tidak menjadi usahawan mi pangsit terkemuka dengan cabang di sana-sini, walau bisa melakukan. Bahkan dia menjalani hari-hari secara bersahaja, jauh dari definisi usahawan sukses.
Jelaslah, Mas Ran meletakkan ilmu dan keterampilan membuat mi pangsit di jalan darma. Dia tidak mematok harga pada orang yang ingin belajar membuat mi. Dia pendidik sejati yang tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah, tunjangan sertifikasi, tunjangan kinerja, apalagi remunerasi. Dia telah sejak dahulu kala memutuskan menjadi tuan yang merdeka dengan menggaji diri sendiri dan menggaji “para mahasiswa”-nya.
Mas Ran tak akan pernah tercatat dalam jajaran pengusaha Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dengan nama flamboyan dan pencapaian-pencapaian yang mletik, apalagi mau masuk ke ranah politik. Kebesaran Mas Ran adalah anonim. Tidak banyak orang tahu. Orang yang tahu pun tak banyak yang paham, bagaimana dia melakukan program pemberdayaan masyarakat secara swadaya menggunakan warung mi pangsit. Tak perlulah Mas Ran mengajukan “proposal pengabdian masyarakat” ke pemerintah. Untuk apa? Tidak akan pula berbagai perguruan tinggi di dunia ini tebersit memberikan titel doctor honoris causa (Dr. H.C.) untuk Mas Ran.
Tak banyak orang tahu, di balik sosoknya yang bersahaja, Mas Ran adalah begawan. Anonim yang begawan. Tentu di luar sana banyak sekali Mas Ran lain. Namun mata dunia ini tidak cermat menerawang ke kedalaman dan keindahan dunia rohani itu. Selain, tentu saja, lebih mudah mengamati dunia permukaan dengan jaring-jaringnya yang rakus itu. Iya kan?

Note: Hidden mesage Artikel ini termasuk mengajak pembaca berfikir ulang bahwa Sufi itu tak harus seperti Al Gazali, Rumi, atau Abdul Qadir El Jelani. Namun, jika kita mau memperhatikan, bahkan seorang penjual mi ayam pun diam-diam adalah sufi.

Wednesday, May 7, 2014

Teknologi Internal untuk Perlindungan Anak - Anak

Sepertinya para buyut kita benar – benar memahami berbagai bahaya nyata yang setiap saat bisa mengancam jiwa kakek – nenek kita yang masih innocent. Bahaya peluru nyasar, bom, ranjau darat, granat meledak, hingga tebasan samurai selama masa – masa perang pra-kemerdekaan merupakan bahaya nyata dan tak terduga karena bisa terjadi sewaktu - waktu. Dapatlah kita bayangkan kalau buyut – buyut kita tidak memperhatikan keselamatan kakek – nenek kita dengan serius. Sangat mungkin kakek- nenek kita mengalami cacat permanen atau bahkan meninggal di usia belia. Implikasinya, bapak ibu kita batal lahir. Sejarah berbelok. Dan kita akhirnya hanya menjadi sekian persen probabilitas masa depan yang gagal dinyatakan.

Bagaimana buyut – buyut kita melindungi kakek – nenek kita dulu?
Dengan diawasi 24 jam oleh emak?
Menyewa body guard?
Mempekerjakan baby sitter?
Hiring Shadow teacher?
memelihara Bulldog sebagai Children guard?

Barangkali ada yang menempuh cara - cara semacam itu. Namun yang menjadi fokus saya adalah penggunaan teknologi internal sebagai ‘guardian’ kakek – nenek kita. Kalau anda pernah mendengar ungkapan ‘biyen cah – cah cilik ki diisi’(dulu anak – anak kecil itu diisi), maksudnya ‘diisi’ adalah kakek-nenek kita dulu dibekali suatu energy (yang disalurkan dari buyut – buyut kita, entah melalui doa, atau azimat) supaya mereka kebal terhadap peluru, bom, dan senjata – senjata tajam. Dengan begitu kakek – nenek kita terhindar dari kematian ataupun kecacatan permanen yang disebabkan bahaya – bahaya nyata masa – masa perang.

Bagaimana dengan hari ini? Tampaknya teknologi internal warisan budaya nenek moyang tersebut telah banyak ditinggalkan. Juga, bagi mereka yang masih menggunakan malah di cap sebagai orang – orang kuno, dukun, praktisi ilmu hitam, dikafir-kafirkan, dan semacamnya. Padahal, jika kita singkirkan stigma – stigma tersebut, dapatlah kita lihat bahwa warisan moyang kita tersebut memiliki banyak manfaat -baik filosofis maupun praktis. Secara filosofis, teknologi internal seperti di atas dapat diajukan kembali sebagai antitesis dari teknologi eksternal yang mengandalkan segala peralatan di luar diri manusia dan menyisakan manusia sebagai tabula rasa. Sedangkan postulat teknologi internal adalah manusia sebagai mikro-kosmos. Salah satu manfaat praktis teknologi internal adalah berfungsi melindungi keselamatan anak – anak kecil dari mara bahaya yang mengintai.

Itulah sekelumit certa lalu yang masih hidup di pojok – pojok dusun namun tak tertulis dalam buku – buku sejarah, dan tidak menjadi perbincangan di kampus - kampus. Jaman memang berubah dan selalu akan demikian.

Kebeliaan anak – anak hari ini dijaga dengah cara yang berbeda dibanding buyut – buyut kita dulu. Sanak family, bodyguard, baby sitter, CCTV, penitipan anak, PAUD, SD, hingga pasal – pasal perlindungan anak menjadi infrastruktur yang berfungsi menjaga anak – anak dari mara bahaya. Hanya saja, kehadiran system perlindungan semacam ini sifatnya eksternal. Ia tidak hadir secara internal bersama diri anak. Kelemahannya, 1) system eksternal ini menyisakan celah yaitu manakala di waktu – waktu tertentu mereka tidak hadir di sekitar anak – anak. 2) system eksternal seperti CCTV dan UU Perlindungan anak tidak berfungsi preventif manakala anak – anak berada dalam bahaya.

Berkaca pada tragedi pedofilia di Jakarta International School (JIS), dapatlah kita pahami bahwa kejahatan yang menyerang siswa – siswa JIS bekerja melalui celah – celah kehadiran system eksternal, yaitu ruang dan waktu dimana mekanisme perlindungan terhadap siswa tidak hadir -walaupun secara riil kita saksikan di layar TV betapa pemeriksaaan masuk ke JIS sedemikian canggih dan ketat. Namun begitu, ternyata tetap ada celah. Terlebih lagi, gerombolan pedofili JIS (yang bekerja sebagai petugas cleaning service –juga guru?) tentu telah mempelajari bagaimana pola kehadiran system penjagaan tersebut sehingga mereka mempelajari celah dan strategi eksekusi yang aman.

Memang generasi kita sekarang ini tak lagi menjumpai perang melawan pasukan kolonialis seperti yang dialami buyut - buyut kita dulu. Tak ada dentuman meriam, bom dijatuhkan, peluru nyasar, ataupun ranjau – ranjau di bawah rumput. Hari ini, bahaya yang mengancam anak dapat datang dari segala penjuru dan di segala waktu. Bahaya penculikan anak, children trafficking, hingga kekerasan seksual pada anak adalah sedikit dari sekian bahaya yang mengintai. Anak harusnya tidak sekedar mendapatkan perlindungan eksternal, namun lebih penting lagi, ia juga dibekali dengan perlindungan internal yang selalu hadir bersama si anak dimanapun dan kapanpun. Syarat keterpenuhan ruang dan waktu inilah yang menjadi keungulan teknologi internal sehingga kejahatan terhadap anak – anak seperti kasus Emon, JIS, maupun robot gedheg dapat dihindari secara efektif dan efisien.

Para orang tua masa kini harusnya memiliki kesadaran dan strategi perlindungan anak yang sedalam-setara dengan apa yang telah dilakukan oleh para buyut kita. Namun kenyataannya, system perlindungan anak yang dewasa ini banyak diterapkan masih meninggalkan celah dengan resiko mengorbankan kebeliaan anak. Disinilah usaha perlindungan anak yang dilakukan oleh para buyut kepada kakek- nenek kita dulu, tetap relevan dengan kebutuhan perlindungan anak hari ini.

Sunday, March 18, 2012

Spiritual Quotient dalam Dunia Industri (Sebuat telaah kritis)



Konsep-konsep mengenai Quotient seperti Adversity, Creative, Emotional, Intelligence, Quantum, hingga Trancendental Quotient begitu cepat diterima dan diserap dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Mungkin karena konsep-konsep tersebut secara spesifik menyampaikan potensi-potensi individu untuk dikembangkan sehingga bermanfaat. Pun bersamaan dengan itu, kesadaran akan keterbatasan konsep dan kritikan terhadap konsep-konsep ESQ bermunculan. Dan, tulisan ini berada dalam jajaran tersebut.

APA ITU ESQ DAN POSISINYA DALAM KONSTITUSI MENTAL?
Manusia dilengkapi dimensi emosi sebagai bentuk ekspresi yang disadari, dirasakan, dipikirkan, baik pada diri sendiri dan orang lain. Tindakan seseorang bolehlah rasional, tetapi akan terasa dingin, kaku, kurang berkesan tanpa balutan emosi pada prosesnya. Keberadaan emosi memberikan “pelumas” dalam bahasa-bahasa yang disampaikan dan diterima subjek. Konon, elaborasi bahasa rasional yang disampaikan, ditambah percikan emosional yang “pas” memberikan kesan lebih mendalam. Karena itu, Fakultas emosi, sama pentingnya dengan fakultas rasio.
Di zaman yang didominasi rasio ini, diskursus emosi mengemuka. Pengelolaan/pengendalian emosi yang baik, dewasa ini populer disebut kecerdasan emosi (EQ:Emotional Quotient). Predikat orang ber-EQ tinggi, diberikan kepada individu yang baik dalam mengelola emosinya. Tentu saja kesadaran pengelolaan emosi secara rasional. Sesuai dengan mental jamannya.
Kecerdasan emosi tidak hanya untuk mengelola emosi, tetapi juga melampaui itu; digunakan untuk menggapai tujuan-tujuan lain yang memprasyaratkan kecerdasan emosi. Bahkan, Goleman mengklaim, kesuksesan seseorang 20% adalah kontribusi IQ (Intelligence Quotient) sedangkan 80% adaah kontribusi EQ.
Bisa dikatakan, salah satu guna EQ dalam konstitusi mental adalah semacam metode untuk meraih tujuan dari subjek.
Setiap subjek mempunyai nilai-nilai dalam kerak dasar mental yang memberikan makna, vektor, energi dan motivasi pada tindakan. nilai-nilai tersebut memberikan makna pada setiap tindakan, sehingga suatu tindakan itu layak dilakukan. Inilah yang membedakan tingkat kepentingan dalam setiap tindakan. Keputusan atas suatu pilihan tindakan, bertolak pada kompleks nilai-nilai dasar subjektif. Ada tindakan yang sangat-penting, sampai tindakan yang paling-sangat-tidak-penting.
Nilai-nilai dasar ini tidak hadir dengan sendirinya, tetapi ada semacam Kecerdasan yang menentukan suatu nilai-nilai dasar. Kecerdasan dalam menentukan ide-ide mana yang benar-benar sahih untuk dijadikan nilai-nilai dasar filosofis, dijadikan spirit, itulah SQ (Spiritual Quotient). Ide-ide dasar ini yang memberikan dan menentukan kekuatan emosi dalam prioritas tindakannya. Dalam bentang seperti inilah, SQ dapat dipahami sebagai kecerdasan menentukan ide-ide terdalam mana yang diyakini subjek.
Eksistensi kompleks nilai ini tentu saja tidak statis. Tetapi dinamis sesuai dengan dinamika yang dialami subjek. Revisi – revisi atas kompleks nilai, atau bahkan menyeberang berganti pada ide-ide lain dapat terjadi. Proses tersebut menunjukkan sampai dimana determinasi SQ.
Konsep SQ ini juga bermaksud mereposisi EQ. Bahwasannya EQ bukanlah yang utama walaupun penting. Ada yang lebih mendasar, yaitu SQ. IQ dan EQ lebih efektif apabila ide-ide dasarnya kuat. Karena corak pengendalian emosi ditentukan nilai-nilai dasar, maka dapat dikatakan, tak ada orang yang memiliki kecerdasan emosi, bila tidak mempunyai nilai-nilai dasar yang kuat dan mendalam. Dengan kata lain, konsep SQ ini juga ‘menggoyang’ klaim goleman: 80% kesuksesan seseorang adalah berkat EQ. bahwasannya, EQ adalah metode untuk mewujudkan ide-ide yang sebelumnya telah dipilah SQ. sekitar 80% kesuksesan yang diraih EQ adalah kesuksesan mewujudkan nilai-nilai abstrak yang sebelumnya di pilih SQ.
Tampaknya, dialektika ini diakomodir oleh Ary Ginanjar dengan memperkenalkan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient), dimana ide-ide dasar Islam seperti Tauhid, Rukun Iman, Rukun Islam (165 way) dijadikan ide dasar. Ginanjar Yakin bahwa nilai-niai dasar yang dibawa islam dapat membangkitkan potensi tertinggi seseorang. Membangkitkan corak emosi yang sehat guna merengkuh kesuksesan.
Nah, tepat pada titik inilah, penulis memberanikan untuk ‘memotong’ paradigma ESQ Ary Ginanjar untuk memberikan alternatif, membentangkan realita, membuka kemungkinan-kemingkinan pada yang-lain, bahwa ide-ide dasar selain yang dikandung islam -apakah itu ideology, falsafah, atau aliran kepercayan dapat- dijadikan nilai-nilai dasar. Belief, atau kearifan, tidak hanya tunggal pada satu agama, tetapi juga pada agama – agama lain. Bahkan juga dalam sistem kepercayaan misalnya ideologi, ritus adat, aliran filsafat, teologi, dll.
Demikian, konstruk pemkiran di atas akan penulis gunakan untuk mengurai fenomena ESQ hari ini

SQ = INDUSTRI “SPIRITUAL”?
SQ hari ini telah menjadi kebutuhan. Dunia Industri merupakan salah satu ranah besar yang mengaplikasikannya. Persaingin dunia industry yang semakin tegang mendorong perusahaan swasta dan negeri menerapkan training-training EQ, SQ, atau ESQ dengan berbagai varian training lainnya untuk mengoptimalkan SDM dan meningkatkan kinerja karyawannya, Tujuannya jelas; agar sukses meningkatan oplah perusahaan. Bagi Individu, ESQ, menjadi salah satu referensi penting agar sukses mencapai tujuan-tujuannya.
EQ (Emotional Quotient) dipercaya dapat mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Demikian kira-kira jargon marketingnya. Sering kali dalam berbagai alamat web, varian training dan buku-buku motivasi yang laris-manis -yang membanjiri toko buku, perpustakaaan dan koleksi buku orang-orang modern- dicontohkan mereka yang memiliki kecerdasan ESQ mencapai kesuksesan luar biasa seperti kolonel sanders, Bill gates, Donald Trumph, Bob Sadino, dll. Atau dalam kata yang berbeda, kesuksesan, dilekatkan pada mereka yang ultra kaya, trilyuner, orang-orang yang mempunyai kekayaan finansial luar biasa. mereka model orang-orang sukses. Itulah kesuksesan. Kira-kira, jika anda ingin seperti Donald Trumph; Kaya raya, maka anda harus memiliki kecerdasan emosi.
Berbondong-bondong, mereka yang ingin sukses, mengkonsumsi informasi seperti training dan buku-buku ESQ. Harga buku-buku dan training pun tidak bisa dibilang murah, hal ini berbanding lurus dengan brand sang penulis atau trainer. Semakin dipercaya brand-nya, maka harga buku atau training-nya semakin mahal. Bisa diartikan, jika ingin menjadi individu yang memiliki ESQ tinggi maka anda harus punya banyak uang (dan tekad yang kuat,tentunya). Dengan bahasa lain, orang-orang ‘berada’lah yang paling mungkin mengkonsumsinya, paling mungkin menjadi orang yang berESQ tinggi, paling mungkin menjadi orang-orang yang ‘sukses’. Well, seperti kalimat wisdom :kesuksesan memang ada ‘harga’nya.

KRITIK PARADIGMA ESQ HARI INI
Telah dibahas di atas, bahwa EQ adalah semacam metode untuk menggapai 'kesuksesan'. 80% kesuksesan adalah karena EQ, dan sisanya adalah IQ, demikian kata Goleman. Disini, penulis menafsirkan apa yang dikatakan Goleman (dengan konsep kecerdasan emosinya), sebagai bentuk penerimaan begitu saja terhadap tujuan ‘kesuksesan’ tanpa menelaah konstruksi kesuksesan tersebut. Tujuan kesuksesan yang terpampang didepan subjek diterima begitu saja, diinternalisasi, dimasukkan dalam alam nirsadar, dijadikan nilai-nilai dasar serta dimanifestasikan dalam tindakan dan pencapaian-pencapaian. Dengan kata lain, konsep IQ/EQ/ lebih konsen pada programming potensi manusia untuk mempercanggih metode pencapaian. Sedangkan SQ, yang beroperasi pada komplek nilai-nilai yang diperjuangkan, menempatkan suatu nilai tertentu sebagai shared value.
Dari tujuan kesuksesan yang ‘diam-diam’ diterima begitu saja oleh Goleman, penulis mencoba menghadirkan telaah mengenai konstruksi kesuksesan tersebut.
Dalam konteks ini, ‘kesuksesan’ menjadi ideologinya; menjadi nilai-nilai dasar yang diyakini benar. ’Sukses’, menjadi jalan hidup. Nah, ‘sukses’ yang bagaimana? Dalam konteks ini pula, yang penulis maksud ‘sukses’ adalah kompleks nilai-nilai dasar yang dibangun dalam paradigma materialis. Tentu saja pemaknaan sukses sedemikian rupa, tidak hadir dengan sendirinya, tetapi sebentuk perayaan kemenangan kapitalis dalam menyematkan ide dibalik signifier ‘sukses’ dalam pergulatannya dengan ide-ide lain.
Ideologi kesuksesan-materi ini dilembagakan melalui institusi-institusi kapitalistik yang menjamur, meng-hegemoni, memenuhi ruang hidup sampai pada ruang-ruang yang paling privat dan tabu. Melalui aparatus ideologisnya seperti perusahaan, biro iklan, artis, trainer/motivator, bank, ilmu pengetahuan, dsb, membentuk jejaring kuasa dan memahamkan individu bahwa kesuksesan identik dengan perolehan-perolehan materi. Mimpi-mimpi mengenai kebebasan finansial, selalu up to date, terbelinya segala keinginan-keinginan dan terlampiaskannya hasrat-hasrat duniawi menjadi gugus nilai yang pantas untuk diperjuangkan. Suatu jabatan/karier pun juga diartikan sebagai penumpukan materi.
Aparatus represif, disini bekerja dengan halus melalui symbol-simbol cultural seperti rumah megah, Mercedes S-Class, Pakaian G.Armani, Dolce & Gabbana, Gelar akademik, Profesi kerja, gaya hidup, dsb. Batas represinya, individu-individu yang melenceng dari mindstream ini, tidak mempunyai mobil, jabatan, status sosial, dan berbagai atribut materi, tidak tergolong dalam hierarki orang-orang sukses! ide-ide kesuksesan yang lain menjadi terpinggirkan.
Ideologi Kesuksesan a la materialisme demikian dominan, demikian hegemonik. Inilah paradigma dibelakang kata ‘Sukses’. Membahas kesuksesan, berarti membahas perolehan dalam satuan materi. Ini narasi besarnya.

Ideologi ini telah membentuk corak/pola tindakan dalam suatu lingkaran materialis determinis. Dakwah aparatus ideologis yang sangat populer salah satunya adalah melalui berbagai training, buku-buku, dan komunitas-kominutas EQ/SQ/ESQ. yang paling terasa adalah dalam konsep EQ (umumnya EQ lebih terkenal daripada ESQ). Berbagai wacana menyatakan bahwa EQ efektif untuk menggapai kesuksesan; Dan ide-ide kesuksesan langsung dilekatkan pada model/tokoh trilyuner seperti Donald Trumph.
Pada titik ini kemampuan alamiah seseorang dalam rangka memilih dan menginternalisasi ide-ide diintervensi (Secara ‘memikat’ dibujuk untuk meyakini ide-ide kesuksesan tersebut). Ideologi personal dibentuk dari ideologi massa, Ideologi yang sedang populer.

DISKUSI
Jika EQ menjadi metode, dan SQnya adalah Kesuksesan materi, maka implikasi yang-lain adalah ide-ide dasar lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dsb akan menjadi instrument/metode untuk meraih ‘kesuksesan’. Misalnya, berbagai ayat-ayat adi kodrati disitir seperlunya, dijadikan legitimasi untuk meraih ‘kesuksesan’. Perkembangan ilmu pengetahuan pun diam-diam mengikuti fantasmagoria ‘kesuksesan’. Imbasnya, ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai komoditas yang dapat dikonsumsi untuk meraih ‘kesuksesan’ perlahan-lahan mati. Budaya yang tidak selaras dengan paradigma ‘kesuksesan’ pun terancam punah.


-1st picture was downloaded from: http://saysthesinglegirl.com/2009/marry-for-money/
-2nd picture was downloaded from: http://wisnuku.blogspot.com/2011/07/masalah-kemiskinan-di-indonesia.html
-3rd picture was downloaded from: http://acidcow.com/pics/14395-faces-of-poverty-33-pics.html