Mahasiswa ideal
Banyak diskursus perihal mahasiswa ideal dikemukakan oleh civitas akademia itu sendiri juga berbagai stake holder yang berhubungan dengan hajat hidup kampus.
Secara umum seringkali kira dengar prototype seorang mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang lulus tepat waktu 4 tahun, aktif di organisasi, dengan IPK minimal 3,00. Bukan mahasiswa yang studi oriented, yang mengejar sejumlah IPK, cenderung apatis akan kegiatan kemahasiswaan dan keluasan wawasan pengetahuan. Berpikir setelah kuliah dapat pekerjaan enak, jadi PNS dan lain sebagainya.
Mahasiswa aktivis (bahasa kerennya mahasiswa yang aktif di organisasi) tetapi IPK nya jeblok dan prestasi akademiknya dipertanyakan akhirnya melekatkan stigma bahwa mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang salah jurusan sehingga organisasi dijadikan kompensasi atasnya.
Mahasiswa yang lulus lebih dari 4 tahun pun bukan ideal karena melebihi ketentuan peraturan menteri pendidikan sehubungan normalisasi kehidupan kampus (NKK).
Menurut Prinsip individuasi Jung yang menekankan proses alamiah dalam keunikan subjek, Prototipe ini malah menjadi penjajahan psikis bagi setiap mahasiswa dalam proses realisasi dirinya. Seperti prinsip mazhab psikologi humanistik Cattel bahwa setiap individu adalah pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain, juga prinsip Aktualisasi diri Maslow yang menekankan pada penggalian potensi dalam diri setiap individu malah dinafikkan dengan singularisasi prototipe ideal semacam itu.
Politisasi Mahasiswa Ideal
Di sisi lain, prototipe mahasiswa ideal seperti yang dikemukakan di atas rawan terhadap kepentingan atas berbagai stakeholder dan golongan. Hampir bisa dipastikan disini, mahasiswa yang masih ”polos” atau mahasiswa yang lemah ideologis akan mudah terbawa persuasi ideal yang akhirnya terjajah dan ”tercuci” secara ideologis. Hal ini tentu saja tidak humanis, mahasiswa semacam ini akan kehilangan kebebasan dan orientasi ke depan. Alih – alih jika setelah lulus nasib baik berpihak, jika yang terjadi malah sebaliknya, tentunya akan sulit untuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Diibaratkan buah, maka yang matang di pohon lebih lebih nikmat daripada buah yang matang karena dikarbit. Singularisasi mahasiswa agar lulus dalam 4 tahun kuliah membawa semangat agar cepat lulus, tetapi, bersamaan dengan itu, penguasaan materi kelimuan menjadi kurang optimal.
Change agent of change
Konklusi dan peran historis mahasiswa sebagai agent of change di ”negara dunia ketiga” Indonesia ini sampai sekarang masih di dengung – dengungkan saja, padalah disadari atau tidak, jargon ini terasa klise, telah menjadi slogan kosong, bahkan hipokrit.
Memang, fungsi kontrol pemerintah di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini masih memerlukan peran mahasiswa (dengan idealismenya) untuk menghadirkan angin perubahan. Hal ini dipertegas oleh pembagian trias politika yang belum kokoh. Juga fungsi kontrol oleh pers dan berbagai lembaga hak asasi yang belum optimal.
Tetapi idealisme mahasiswa itu sendiri telah bergeser dengan meruaknya praktik politik praktis yang menggerogoti independensi tubuh lembaga kemahasiswaan. Disadari atau tidak, oposisi permanen terhadap pemerintah perlahan menjadi ”pseudo” dan hilang. Inilah salah satu sebab peran mahasiswa sebagai agent of change dengan idealismenya menjadi tidak “berharga” jika dihadapkan dengan posisi pemerintah.
Pemerintah melalui Dikti, tampaknya juga tidak konsisten dan bermuka dua dalam menetapkan berbagai regulasi. Keputusan normalisasi kehidupan kampus dengan waktu belajar ideal (S1) adalah 4 tahun secara tidak langsung memberikan label pada tiap mahasiswa baru untuk tidak ”cawe-cawe” dengan dunia pergerakan kemahasiswaan. Jika terjun dalam dunia aktivis, hal itu akan membuat konsentrasi terpecah, belum lagi materi kurikulum yang sangat mendukung model mahasiswa studi oriented. Secara waktu, jelas hal ini merugikan para aktivias kampus supaya kemudian enggan memikirkan segala sesuatu kecuali urusan akademiknya.
Seperti kalimat sakti yang diucapkan oleh inspirator mahasiswa, Gie, bahwa ”..perubahan hanya soal waktu..”. Maka, cepat atau lambat, agent of change yang terjangkit politik praktis akan membusuk, terus membusuk dan akhirnya tergeser oleh agent of change yang lain. Gerakan artificial ini akan menjadi tesis untuk bangkitnya agent of change lain, yaitu mahasiswa yang mempunyai kesadaran untuk menggali potensinya sedalam mungkin untuk kemudian, menghasilkan karya – karya yang bermanfaat bagi masyarakat dan secara tidak langsung, perubahan digerakkan dari karya – karya nyata yang membentuk suatu kultur baik kultur social, kultur politik, kultur organisasi. Dan penting kiranya dalam segala hal yang haus dipegang teguh : kejujuran
Jadi mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang lulus 4 tahun, IPK minimal 3,00 dan aktif organisasi. Tetapi, Mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang dapat mendalami disiplin ilmu yang dipelajarinya dengan baik dan utuh untuk kemudian dapat melahirkan karya sebanyak – banyak berdasar asas kebermanfaatan bagi masyarakat.