Mi pangsit Mas Ran atau mi pangsit KUA. Begitu masyarakat Cepu
dan sekitarnya menyebut sebuah warung di depan Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Cepu. Sejak saya di sekolah dasar sampai sekarang, warung mi
pangsit Mas Ran ya begitu-begitu saja: tak bertambah lebar, tak
bertambah bagus, tak memiliki bangunan permanen, dan tak membuka cabang.
Kini yang agak berbeda adalah spanduknya. Dulu, berupa kain kuning
bergambar sablon mirip si Unyil melet sambil pamer jempol. Kini,
terpasang MMT bagus dari Mi Sedap.
Dasaran warung mulai digarap setiap sore. Jika air selokan meluap, warung Mas Ran pun tergenang. Anda dapat menikmati semangkuk mi pangsit berkuah panas mengepul kala gerimis di dalam warung yang kebanjiran. Pengalaman romantis bukan?
Displai warung yang sederhana itu tak mencerminkan cita rasa mi pangsit yang istimewa. Butuh catatan tersendiri untuk menceritakan betapa nikmat mi pangsit olahan Mas Ran. Dan, selama 15 tahun meracik mi, Mas Ran telah memiliki pelanggan setia. Singkat kata, mi pangsit depan KUA sangat lezat, sehingga tetap ramai konsumen hingga hari ini.
Tak Buka Cabang
Tulisan ini bukan reportase wisata kuliner, melainkan fokus pada beberapa pandangan dan sikap Mas Ran dalam berusaha. Dasar tulisan ini adalah wawancara insidental singkat beberapa waktu lalu.
Menggelitik bagi saya: manakala para usahawan berupaya mengembangkan bisnis seluas mungkin, baik dalam diversifikasi dan inovasi produk, marketing creative, branding management, service excellence, maupun pembukaan cabang di sana-sini, Mas Ran justru tampak mandek. Berkesan puas atas apa yang dia jalani selama ini. Bagi saya, itu ganjil. Padahal, dia memiliki modal fundamental untuk mengembangkan usaha. Pertama, resep mi pangsit yang istimewa. Kedua, memiliki banyak pelanggan setia.
Dalam skala internasional, dapatlah kita contoh ekspansi waralaba seperti Pizza Hut, KFC, atau Hoka-Hoka Bento yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, berbagai waralaba “-mart/-maret” kini memiliki cabang di setiap rukun warga (RW). Waralaba lokal seperti Pecel Lele Lela telah membuka cabang di beberapa provinsi. Begitu pula Warung Steak, Rocket Chicken, Special Sambal.
Perkiraan saya, selama 15 tahun ini seharusnya Mas Ran minimal bisa memiliki lapak permanen plus 10 cabang di beberapa kabupaten. Namun tidak. Mas Ran tidak mengembangkan usaha semacam itu. Justru itulah keunikan dan kebesarannya.
Universitas Mi Pangsit
Mas Ran memang tidak membuka cabang. Namun dia membidani kelahiran usahawan mi pangsit dan mi ayam di beberapa kabupaten. Warung mi pangsit depan KUA layaknya universitas yang mencetak sarjana-sarjana mi pangsit. Asisten Mas Ran adalah “mahasiswa-mahasiswa” yang sedang belajar meracik mi. Mereka juga belajar manajemen warung mi pangsit. Setelah mereka cukup menimba ilmu, “Professor” Ran memotivasi anak ideologisnya untuk secara mandiri merintis warung mi pangsit atau mi ayam. Bukan cabang dari mi pangsit KUA. Itulah alasan mengapa Mas Ran tidak memiliki cabang. Mas Ran lupa, atau lebih tepatnya tak pernah berniat menghitung, sudah berapa warung mi ayam yang sukses dibuka oleh mantan anak buahnya.
Itu tentu dia sadari dan dia sengaja. Mas Ran tak berkehendak membuka cabang warung mi pangsit KUA dan menjadi pusat jejaring cabang itu, lalu memperoleh penghasilan lebih banyak, kemudian memutar modal tersebut untuk ekspansi jaringan cabang yang lebih masif lagi. Tidak. Dia justru memosisikan usahanya sebagai “kampus” gratis bagi para calon usahawan mi ayam. Menarik. Selain membagi ilmu, setiap bulan Mas Ran juga menggaji “para siswa” itu.
Dalam nalar persaingan bisnis, tak seharusnya dia melakukan itu. Sebab, para mantan murid Mas Ran sangat potensial menjadi pesaing untuk berebut konsumen. Kecuali, mereka membuka warung mi ayam cabang Mas Ran, sehingga relasi usaha mereka lebih bersifat koordinatif daripada kompetitif. Namun kenyataannya itu tidak jadi masalah bagi Mas Ran. Mantan anak buahnya pun menggantang mi ayam mereka masing-masing. Entah bernama Mi Ayam Chibi-Chibi, Mi Ayam Unyu-Unyu, atau Mi Ayam Posmodern. Entahlah.
Oh iya, perlu digarisbawahi, asisten-asisten Mas Ran tidak datang dari golongan yang mampu secara finansial. Mereka bekerja di warung Mas Ran karena tidak memiliki dana untuk melanjutkan pendidikan formal. Juga tidak memiliki modal untuk membuka usaha. Di warung itulah mereka memperoleh kesempatan menjadi usahawan mi pangsit dengan modal ilmu dan tabungan finansial.
Asisten Mas Ran datang dan pergi. Melihat mantan anak didiknya berdikari merupakan kebahagiaan tersendiri bagiMas Ran.
Potret sang Begawan
Saya tidak habis pikir. Itu luar biasa. Mas Ran melewatkan kesempatan menjadi the wealthy, orang kaya. Dia memilih tidak menjadi usahawan mi pangsit terkemuka dengan cabang di sana-sini, walau bisa melakukan. Bahkan dia menjalani hari-hari secara bersahaja, jauh dari definisi usahawan sukses.
Jelaslah, Mas Ran meletakkan ilmu dan keterampilan membuat mi pangsit di jalan darma. Dia tidak mematok harga pada orang yang ingin belajar membuat mi. Dia pendidik sejati yang tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah, tunjangan sertifikasi, tunjangan kinerja, apalagi remunerasi. Dia telah sejak dahulu kala memutuskan menjadi tuan yang merdeka dengan menggaji diri sendiri dan menggaji “para mahasiswa”-nya.
Mas Ran tak akan pernah tercatat dalam jajaran pengusaha Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dengan nama flamboyan dan pencapaian-pencapaian yang mletik, apalagi mau masuk ke ranah politik. Kebesaran Mas Ran adalah anonim. Tidak banyak orang tahu. Orang yang tahu pun tak banyak yang paham, bagaimana dia melakukan program pemberdayaan masyarakat secara swadaya menggunakan warung mi pangsit. Tak perlulah Mas Ran mengajukan “proposal pengabdian masyarakat” ke pemerintah. Untuk apa? Tidak akan pula berbagai perguruan tinggi di dunia ini tebersit memberikan titel doctor honoris causa (Dr. H.C.) untuk Mas Ran.
Tak banyak orang tahu, di balik sosoknya yang bersahaja, Mas Ran adalah begawan. Anonim yang begawan. Tentu di luar sana banyak sekali Mas Ran lain. Namun mata dunia ini tidak cermat menerawang ke kedalaman dan keindahan dunia rohani itu. Selain, tentu saja, lebih mudah mengamati dunia permukaan dengan jaring-jaringnya yang rakus itu. Iya kan?
Note: Hidden mesage Artikel ini termasuk mengajak pembaca berfikir ulang bahwa Sufi itu tak harus seperti Al Gazali, Rumi, atau Abdul Qadir El Jelani. Namun, jika kita mau memperhatikan, bahkan seorang penjual mi ayam pun diam-diam adalah sufi.
Dasaran warung mulai digarap setiap sore. Jika air selokan meluap, warung Mas Ran pun tergenang. Anda dapat menikmati semangkuk mi pangsit berkuah panas mengepul kala gerimis di dalam warung yang kebanjiran. Pengalaman romantis bukan?
Displai warung yang sederhana itu tak mencerminkan cita rasa mi pangsit yang istimewa. Butuh catatan tersendiri untuk menceritakan betapa nikmat mi pangsit olahan Mas Ran. Dan, selama 15 tahun meracik mi, Mas Ran telah memiliki pelanggan setia. Singkat kata, mi pangsit depan KUA sangat lezat, sehingga tetap ramai konsumen hingga hari ini.
Tak Buka Cabang
Tulisan ini bukan reportase wisata kuliner, melainkan fokus pada beberapa pandangan dan sikap Mas Ran dalam berusaha. Dasar tulisan ini adalah wawancara insidental singkat beberapa waktu lalu.
Menggelitik bagi saya: manakala para usahawan berupaya mengembangkan bisnis seluas mungkin, baik dalam diversifikasi dan inovasi produk, marketing creative, branding management, service excellence, maupun pembukaan cabang di sana-sini, Mas Ran justru tampak mandek. Berkesan puas atas apa yang dia jalani selama ini. Bagi saya, itu ganjil. Padahal, dia memiliki modal fundamental untuk mengembangkan usaha. Pertama, resep mi pangsit yang istimewa. Kedua, memiliki banyak pelanggan setia.
Dalam skala internasional, dapatlah kita contoh ekspansi waralaba seperti Pizza Hut, KFC, atau Hoka-Hoka Bento yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, berbagai waralaba “-mart/-maret” kini memiliki cabang di setiap rukun warga (RW). Waralaba lokal seperti Pecel Lele Lela telah membuka cabang di beberapa provinsi. Begitu pula Warung Steak, Rocket Chicken, Special Sambal.
Perkiraan saya, selama 15 tahun ini seharusnya Mas Ran minimal bisa memiliki lapak permanen plus 10 cabang di beberapa kabupaten. Namun tidak. Mas Ran tidak mengembangkan usaha semacam itu. Justru itulah keunikan dan kebesarannya.
Universitas Mi Pangsit
Mas Ran memang tidak membuka cabang. Namun dia membidani kelahiran usahawan mi pangsit dan mi ayam di beberapa kabupaten. Warung mi pangsit depan KUA layaknya universitas yang mencetak sarjana-sarjana mi pangsit. Asisten Mas Ran adalah “mahasiswa-mahasiswa” yang sedang belajar meracik mi. Mereka juga belajar manajemen warung mi pangsit. Setelah mereka cukup menimba ilmu, “Professor” Ran memotivasi anak ideologisnya untuk secara mandiri merintis warung mi pangsit atau mi ayam. Bukan cabang dari mi pangsit KUA. Itulah alasan mengapa Mas Ran tidak memiliki cabang. Mas Ran lupa, atau lebih tepatnya tak pernah berniat menghitung, sudah berapa warung mi ayam yang sukses dibuka oleh mantan anak buahnya.
Itu tentu dia sadari dan dia sengaja. Mas Ran tak berkehendak membuka cabang warung mi pangsit KUA dan menjadi pusat jejaring cabang itu, lalu memperoleh penghasilan lebih banyak, kemudian memutar modal tersebut untuk ekspansi jaringan cabang yang lebih masif lagi. Tidak. Dia justru memosisikan usahanya sebagai “kampus” gratis bagi para calon usahawan mi ayam. Menarik. Selain membagi ilmu, setiap bulan Mas Ran juga menggaji “para siswa” itu.
Dalam nalar persaingan bisnis, tak seharusnya dia melakukan itu. Sebab, para mantan murid Mas Ran sangat potensial menjadi pesaing untuk berebut konsumen. Kecuali, mereka membuka warung mi ayam cabang Mas Ran, sehingga relasi usaha mereka lebih bersifat koordinatif daripada kompetitif. Namun kenyataannya itu tidak jadi masalah bagi Mas Ran. Mantan anak buahnya pun menggantang mi ayam mereka masing-masing. Entah bernama Mi Ayam Chibi-Chibi, Mi Ayam Unyu-Unyu, atau Mi Ayam Posmodern. Entahlah.
Oh iya, perlu digarisbawahi, asisten-asisten Mas Ran tidak datang dari golongan yang mampu secara finansial. Mereka bekerja di warung Mas Ran karena tidak memiliki dana untuk melanjutkan pendidikan formal. Juga tidak memiliki modal untuk membuka usaha. Di warung itulah mereka memperoleh kesempatan menjadi usahawan mi pangsit dengan modal ilmu dan tabungan finansial.
Asisten Mas Ran datang dan pergi. Melihat mantan anak didiknya berdikari merupakan kebahagiaan tersendiri bagiMas Ran.
Potret sang Begawan
Saya tidak habis pikir. Itu luar biasa. Mas Ran melewatkan kesempatan menjadi the wealthy, orang kaya. Dia memilih tidak menjadi usahawan mi pangsit terkemuka dengan cabang di sana-sini, walau bisa melakukan. Bahkan dia menjalani hari-hari secara bersahaja, jauh dari definisi usahawan sukses.
Jelaslah, Mas Ran meletakkan ilmu dan keterampilan membuat mi pangsit di jalan darma. Dia tidak mematok harga pada orang yang ingin belajar membuat mi. Dia pendidik sejati yang tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah, tunjangan sertifikasi, tunjangan kinerja, apalagi remunerasi. Dia telah sejak dahulu kala memutuskan menjadi tuan yang merdeka dengan menggaji diri sendiri dan menggaji “para mahasiswa”-nya.
Mas Ran tak akan pernah tercatat dalam jajaran pengusaha Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dengan nama flamboyan dan pencapaian-pencapaian yang mletik, apalagi mau masuk ke ranah politik. Kebesaran Mas Ran adalah anonim. Tidak banyak orang tahu. Orang yang tahu pun tak banyak yang paham, bagaimana dia melakukan program pemberdayaan masyarakat secara swadaya menggunakan warung mi pangsit. Tak perlulah Mas Ran mengajukan “proposal pengabdian masyarakat” ke pemerintah. Untuk apa? Tidak akan pula berbagai perguruan tinggi di dunia ini tebersit memberikan titel doctor honoris causa (Dr. H.C.) untuk Mas Ran.
Tak banyak orang tahu, di balik sosoknya yang bersahaja, Mas Ran adalah begawan. Anonim yang begawan. Tentu di luar sana banyak sekali Mas Ran lain. Namun mata dunia ini tidak cermat menerawang ke kedalaman dan keindahan dunia rohani itu. Selain, tentu saja, lebih mudah mengamati dunia permukaan dengan jaring-jaringnya yang rakus itu. Iya kan?
Note: Hidden mesage Artikel ini termasuk mengajak pembaca berfikir ulang bahwa Sufi itu tak harus seperti Al Gazali, Rumi, atau Abdul Qadir El Jelani. Namun, jika kita mau memperhatikan, bahkan seorang penjual mi ayam pun diam-diam adalah sufi.