Monday, August 4, 2008

Hewan mewakili rakyat




Aku gelisah, melihat sepak terjang para politisi di negeri ini. Banyaknya para politisi yang terjerat kasus kriminal, penipuan, KKN, dan permasalahan lain yang sku yakin belum terendus publik.

Aku bertanya – tanya, bagaimana mungkin partai – partai tersebut mengutusnya untuk menjadi wakil rakyat ?
Kualifikasi seperti apa yang dipakai hingga terpilih utusan partai yang seperti itu ?
Terus apakah yang mereka lakukan itu adalah sesuai dengan hati nuraninya ?
Atau hanya topeng belaka untuk ”sekedar” mewakili rakyat ?
Atau, mereka menjadi legislatif, utamanya adalah sebagai mata pencaharian, bukan suatu Perjuangan ideologis untuk menyalurkan aspirasi rakyat ?

Apakah dalam kenyataannyaa, sampel itu dapat mewakili populasi ?
Apakah 225 Juta warga Indonesia ini dapat diwakili oleh sejumlah anggota DPR ?
Apakah ini cerminan suatu perilaku bernegara dan demokrasi yang baik?

Aku yakin, jika Aristoteles hidup di Indonesia sekarang, Dia pasti akan merubah konsep demokrasinya dan pasti akan tercipta suatu prinsip demokrasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Atau DPR memang benar – benar mewakili rakyat ??
Buktinya, rakyat yang ingin punya mobil sudah diwakili oleh anggota – anggota Dewan yang mendapat fasilitas mobil.
Rakyat yang ingin rekreasi ke luar negeri sudah diwakili juga dengan ”studi2 banding” anggota Dewan ke berbagai negara.

Sekarang, apakah keinginan rakyat yang belum diwakili oleh anggota dewan ?

Thursday, July 31, 2008

Utopia Mahasiswa ideal








Mahasiswa ideal

Banyak diskursus perihal mahasiswa ideal dikemukakan oleh civitas akademia itu sendiri juga berbagai stake holder yang berhubungan dengan hajat hidup kampus.

Secara umum seringkali kira dengar prototype seorang mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang lulus tepat waktu 4 tahun, aktif di organisasi, dengan IPK minimal 3,00. Bukan mahasiswa yang studi oriented, yang mengejar sejumlah IPK, cenderung apatis akan kegiatan kemahasiswaan dan keluasan wawasan pengetahuan. Berpikir setelah kuliah dapat pekerjaan enak, jadi PNS dan lain sebagainya.

Mahasiswa aktivis (bahasa kerennya mahasiswa yang aktif di organisasi) tetapi IPK nya jeblok dan prestasi akademiknya dipertanyakan akhirnya melekatkan stigma bahwa mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang salah jurusan sehingga organisasi dijadikan kompensasi atasnya.

Mahasiswa yang lulus lebih dari 4 tahun pun bukan ideal karena melebihi ketentuan peraturan menteri pendidikan sehubungan normalisasi kehidupan kampus (NKK).

Menurut Prinsip individuasi Jung yang menekankan proses alamiah dalam keunikan subjek, Prototipe ini malah menjadi penjajahan psikis bagi setiap mahasiswa dalam proses realisasi dirinya. Seperti prinsip mazhab psikologi humanistik Cattel bahwa setiap individu adalah pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain, juga prinsip Aktualisasi diri Maslow yang menekankan pada penggalian potensi dalam diri setiap individu malah dinafikkan dengan singularisasi prototipe ideal semacam itu.


Politisasi Mahasiswa Ideal

Di sisi lain, prototipe mahasiswa ideal seperti yang dikemukakan di atas rawan terhadap kepentingan atas berbagai stakeholder dan golongan. Hampir bisa dipastikan disini, mahasiswa yang masih ”polos” atau mahasiswa yang lemah ideologis akan mudah terbawa persuasi ideal yang akhirnya terjajah dan ”tercuci” secara ideologis. Hal ini tentu saja tidak humanis, mahasiswa semacam ini akan kehilangan kebebasan dan orientasi ke depan. Alih – alih jika setelah lulus nasib baik berpihak, jika yang terjadi malah sebaliknya, tentunya akan sulit untuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Diibaratkan buah, maka yang matang di pohon lebih lebih nikmat daripada buah yang matang karena dikarbit. Singularisasi mahasiswa agar lulus dalam 4 tahun kuliah membawa semangat agar cepat lulus, tetapi, bersamaan dengan itu, penguasaan materi kelimuan menjadi kurang optimal.


Change agent of change

Konklusi dan peran historis mahasiswa sebagai agent of change di ”negara dunia ketiga” Indonesia ini sampai sekarang masih di dengung – dengungkan saja, padalah disadari atau tidak, jargon ini terasa klise, telah menjadi slogan kosong, bahkan hipokrit.

Memang, fungsi kontrol pemerintah di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini masih memerlukan peran mahasiswa (dengan idealismenya) untuk menghadirkan angin perubahan. Hal ini dipertegas oleh pembagian trias politika yang belum kokoh. Juga fungsi kontrol oleh pers dan berbagai lembaga hak asasi yang belum optimal.

Tetapi idealisme mahasiswa itu sendiri telah bergeser dengan meruaknya praktik politik praktis yang menggerogoti independensi tubuh lembaga kemahasiswaan. Disadari atau tidak, oposisi permanen terhadap pemerintah perlahan menjadi ”pseudo” dan hilang. Inilah salah satu sebab peran mahasiswa sebagai agent of change dengan idealismenya menjadi tidak “berharga” jika dihadapkan dengan posisi pemerintah.


Pemerintah melalui Dikti, tampaknya juga tidak konsisten dan bermuka dua dalam menetapkan berbagai regulasi. Keputusan normalisasi kehidupan kampus dengan waktu belajar ideal (S1) adalah 4 tahun secara tidak langsung memberikan label pada tiap mahasiswa baru untuk tidak ”cawe-cawe” dengan dunia pergerakan kemahasiswaan. Jika terjun dalam dunia aktivis, hal itu akan membuat konsentrasi terpecah, belum lagi materi kurikulum yang sangat mendukung model mahasiswa studi oriented. Secara waktu, jelas hal ini merugikan para aktivias kampus supaya kemudian enggan memikirkan segala sesuatu kecuali urusan akademiknya.

Seperti kalimat sakti yang diucapkan oleh inspirator mahasiswa, Gie, bahwa ”..perubahan hanya soal waktu..”. Maka, cepat atau lambat, agent of change yang terjangkit politik praktis akan membusuk, terus membusuk dan akhirnya tergeser oleh agent of change yang lain. Gerakan artificial ini akan menjadi tesis untuk bangkitnya agent of change lain, yaitu mahasiswa yang mempunyai kesadaran untuk menggali potensinya sedalam mungkin untuk kemudian, menghasilkan karya – karya yang bermanfaat bagi masyarakat dan secara tidak langsung, perubahan digerakkan dari karya – karya nyata yang membentuk suatu kultur baik kultur social, kultur politik, kultur organisasi. Dan penting kiranya dalam segala hal yang haus dipegang teguh : kejujuran


Jadi mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang lulus 4 tahun, IPK minimal 3,00 dan aktif organisasi. Tetapi, Mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang dapat mendalami disiplin ilmu yang dipelajarinya dengan baik dan utuh untuk kemudian dapat melahirkan karya sebanyak – banyak berdasar asas kebermanfaatan bagi masyarakat.

Tuesday, May 27, 2008

Seabad momentum kebangkitan nasional




Momentum 20 mei 1908 diperingati sebagai monumen bersatunya elemen perjuangan di seluruh penjuru nusantara dalam suatu visi tercapainya kedaulatan dan merdeka atas kolonialisme pada saat itu. Kekecewaan dan kemalangan masa lalu menjadi ”ketapel” yang luar biasa bagi intelektual muda pada masa itu untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik hingga tercapainya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan kini telah berusia seabad sejak momentum 1908.

Permasalahan hari ini
Tetapi, dalam perjalanan waktu, disadari atau tidak peringatan hari kebangkitan nasional (harkitnas) menjadi kegiatan ritual yang kehilangan isi. Dari berbagai penyebab, penulis menyoroti karena adanya perbedaan masalah yang dihadapi negara ini. Jika seabad yang lalu permasalahannya adalah kolonialisme londho yang dapat dilihat, dan masyarakat pada waktu itu dapat mengidentifikasi apa yang menjadi penyebabnya, maka permasalahan hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi sebelum tahun 1945.
Secara global, permasalahan sekarang adalah perang ekonomi yang dipimpin ”jenderal – jenderal” kapitalis dunia setelah perang dingin selesai. Para orang pintar menyebutnya neo-kolonialisme, neo-imperialisme, atau penjajahan negara dunia ketiga. Apapun namanya, yang jelas realita ini membuat negara – negara yang mempunyai fondasi ekonomi rapuh tergerus dalam badai krisis. Indonesia menjadi salah satu negara yang hingga saat ini masih terombang – ambing di dalamnya. Secara sistematis penjajaan ini antara lain mengakibatkan biaya hidup semakin tinggi, sentralisasi kekayaan dan pengangguran. Karena “rumitnya” model penjajahan ini, masyarakat akar rumput tidak dapat mengidentifikasi dengan pasti apa sebab semua ini dan cenderung menyalahkan pemerintah. Dan, tanpa bermaksud merendahkan, tentu saja pemerintah tidak akan mampu mengatasi masalah ini tanpa bantuan para intelektual. Baik yang masih ada di ”menara gading” kampus maupun yang telah terjun dalam masyarakat.
Sementara berbagai organisasi kemasyarakatan (LSM, NGO, dll), organisasi dan pergerakan mahasiswa telah banyak mengetahui dan fasih dalam melafalkan fenomena ini, tetap masih belampu bertindak efektif untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan. Bersamaan dengan itu juga, organisasi dan pergerakan belum juga menampakkan tanda – tanda persatuan. Malah, disadari atau tidak, bias – bias primordial, ideologi, intrik politik, bahkan motif ekonomi dalam setiap lembaga tersebut gagal mempersatukan lembaga dan pergerakan kemahasiswaan. Dan, tentu saja semakin memisahkan realita dengan arah perjuangan untuk menuju kebangkitan nasional.

Kebangkitan Generasi Muda
Jika berkaca pada masa lalu, seharusnya secara historis bangsa ini telah menunjukkan ampuhnya persatuan dalam mendorong perubahan, Bedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, KAMI-KAPI tahun 1966, Forkot-BEMSI-BEMI pada tahun 1998.
Setelah seabad berlalu, setelah berbagai peristiwa nasional di atas, maka apakah momentum seabad kebangkitan nasional akan menjadi monumen bangkitnya nasionalisme? bersatunya rakyat –mentolerir perbedaan primordial, perbedaan kelas dan ideologi untuk membangun Indonesia yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkarakter dalam budaya.



* Mahasiswa Psikologi UNNES