Momentum 20 mei 1908 diperingati sebagai monumen bersatunya elemen perjuangan di seluruh penjuru nusantara dalam suatu visi tercapainya kedaulatan dan merdeka atas kolonialisme pada saat itu. Kekecewaan dan kemalangan masa lalu menjadi ”ketapel” yang luar biasa bagi intelektual muda pada masa itu untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik hingga tercapainya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan kini telah berusia seabad sejak momentum 1908.
Permasalahan hari ini
Tetapi, dalam perjalanan waktu, disadari atau tidak peringatan hari kebangkitan nasional (harkitnas) menjadi kegiatan ritual yang kehilangan isi. Dari berbagai penyebab, penulis menyoroti karena adanya perbedaan masalah yang dihadapi negara ini. Jika seabad yang lalu permasalahannya adalah kolonialisme londho yang dapat dilihat, dan masyarakat pada waktu itu dapat mengidentifikasi apa yang menjadi penyebabnya, maka permasalahan hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi sebelum tahun 1945.
Secara global, permasalahan sekarang adalah perang ekonomi yang dipimpin ”jenderal – jenderal” kapitalis dunia setelah perang dingin selesai. Para orang pintar menyebutnya neo-kolonialisme, neo-imperialisme, atau penjajahan negara dunia ketiga. Apapun namanya, yang jelas realita ini membuat negara – negara yang mempunyai fondasi ekonomi rapuh tergerus dalam badai krisis. Indonesia menjadi salah satu negara yang hingga saat ini masih terombang – ambing di dalamnya. Secara sistematis penjajaan ini antara lain mengakibatkan biaya hidup semakin tinggi, sentralisasi kekayaan dan pengangguran. Karena “rumitnya” model penjajahan ini, masyarakat akar rumput tidak dapat mengidentifikasi dengan pasti apa sebab semua ini dan cenderung menyalahkan pemerintah. Dan, tanpa bermaksud merendahkan, tentu saja pemerintah tidak akan mampu mengatasi masalah ini tanpa bantuan para intelektual. Baik yang masih ada di ”menara gading” kampus maupun yang telah terjun dalam masyarakat.
Sementara berbagai organisasi kemasyarakatan (LSM, NGO, dll), organisasi dan pergerakan mahasiswa telah banyak mengetahui dan fasih dalam melafalkan fenomena ini, tetap masih belampu bertindak efektif untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan. Bersamaan dengan itu juga, organisasi dan pergerakan belum juga menampakkan tanda – tanda persatuan. Malah, disadari atau tidak, bias – bias primordial, ideologi, intrik politik, bahkan motif ekonomi dalam setiap lembaga tersebut gagal mempersatukan lembaga dan pergerakan kemahasiswaan. Dan, tentu saja semakin memisahkan realita dengan arah perjuangan untuk menuju kebangkitan nasional.
Kebangkitan Generasi Muda
Jika berkaca pada masa lalu, seharusnya secara historis bangsa ini telah menunjukkan ampuhnya persatuan dalam mendorong perubahan, Bedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, KAMI-KAPI tahun 1966, Forkot-BEMSI-BEMI pada tahun 1998.
Setelah seabad berlalu, setelah berbagai peristiwa nasional di atas, maka apakah momentum seabad kebangkitan nasional akan menjadi monumen bangkitnya nasionalisme? bersatunya rakyat –mentolerir perbedaan primordial, perbedaan kelas dan ideologi untuk membangun Indonesia yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkarakter dalam budaya.
* Mahasiswa Psikologi UNNES
No comments:
Post a Comment