Membuka – buka dan membaca lagi, apa yang tertuang di buku harian memang menyenangkan, lucu, getir, ataupun kagum dengan kenaifan diri kita sendiri. Tulisan dibawah ini sempat penulis sarikan di buku harian beberapa waktu lalu. Nah, karena stres dan shok disebabkan dosbing yang tidak bisa membimbing selama seminggu (2-8Feb) sementara deadline untuk wisuda april semakin dekat, maka untuk melepaskan stressor ini penulis menyublimasikannya dengan menulis artikel.
Ini cerita manakala penulis berinteraksi dengan keluarga seorang hajjah. Terdiri dari hajjah itu sendiri dan seorang anak tiri (Bunga:nama samaran) perempuan berusia dua puluh tahun. Cerita ini ada karena awalnya penulis sebelumnya bermaksud melakukan pendekatan (ta’arruf??) dengan putri tirinya itu. Tetapi cerita yang terjadi sungguh menarik. Disini penulis ingin mengupas fenomena seorang hajjah yang penulis ragukan status hajjah dan kemabrurannya.
:>
Seperti halnya kerja persona yang tampak selaras dan menyenangkan dengan kondisi sosial, pertama penulis diterima dengan sangat ramah oleh sang hajjah (selanjutnya penulis gunakan nama: Bunda). Terjadilah tanya-jawab dan interaksi yang membuat penulis dekat tidak hanya dengan Bunga, tetapi juga dengan Bunda. Seiring berjalannya waktu, penulis merasa ada yang agak berbeda dengan Bunda, setelah penulis perhatikan, penulis jarang menjumpai buku – buku, pun yang berbau agama. Hanya sedikit. Perbincangan penulis dengan Bunda pun tidak pernah menyentuh relung – relung agama secara mendalam, entah itu mengenai syariat, tarbiyah, sejarah islam, atau semacamnya. Mentok – mentoknya ya berulang – ulang cerita mengenai pengalamannya ke tanah suci Mekkah dan dampak sosial setelah Bunda melaksanakan ibadah haji (suasana di sekitar ka’bah dan hajar aswat, pulang membawa banyak oleh - oleh dibagi – bagi untuk sekampung, kepuasan setelah ibadah haji, dll), menjalankan ibadah rukun islam, sehingga penulis mempunyai hipotesis banyak keyakinan agamanya didasarkan pada harapan dan ketakutan akan: pahala-dosa serta surga-neraka. Menurut penulis, ini semacam pandangan agama yang tradisional-konservatif, tidak mendalam, dan cenderung mistik.
Dari keraguan itu, penulis tertarik untuk menyelidiki dan mengupas kualitas hajjah serta kemabrurannya. Untuk itu penulis mencari informasi dari beberapa tetangga Bunda. Penulis bertanya ikhwal kehajjahan Bunda pada teman penulis yang juga tetangganya, katakanlah namanya Kris. Ternyata, Kris pun sempat mempertanyakan status kehajjahan tetangganya itu. Dahulu sebelum Bunda berangkat ibadah haji, Kris mengenalnya sebagai wanita yang mandiri, tidak menikah, cenderung tertutup dan jarang bersosialisasi dengan tetangga, tidak mau disalahkan, dan berkeprbadian paradoks bipolar (kadang – kadang sangat baik, tetapi bersamaan dengan itu, bisa juga berubah sebaliknya). Intinya, Bunda baik jika seseorang, sesuatu atau suasana tertentu sesuai dengan kehendaknya. Kris pernah menanyakan juga ikhwal kehajjahan tersebut pada ayahnya (ketua RT di lingkungan situ), dan ayahnya menjawab berikut (mengikuti gaya penuturan Kris) “yo ngono kuwi…..” suatu jawaban mengambang yang penulis tafsirkan cenderung negatif. Masih informasi dari Kris, ia seakan - akan tidak percaya jika tetangganya itu hendak menunaikan ibadah haji. Ada suatu harapan dalam hati Kris, semoga sepulang dari tanah suci ada perbedaan dalam diri Bunda. Tetapi tampaknya harapan Kris itu tinggal harapan karena tidak ada perubahan yang signifikan dari Bunda.
Orang kedua yang penulis ambil informasinya adalah Bunga, anak tiri Bunda. Bunga -yang kuliah di sebuat STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) jurusan Tarbiyah di sebuah kota sepanjang pantura- menyebutkan, adalah fakta bahwa ibunya hajjah karena telah melaksanakan ibadah ke tanah suci Mekkah. Tetapi sebagai hajjah, tasawuf iBu tirinya tersebut tidak lebih baik dari orang – orang yang belum pernah ibadah haji.
Berawal dari keragu-raguan tersebut, penulis semakin menarik untuk mengupas fenomena ini. Informasi yang lebih mendalam penulis dapatkan dari Bunga, anak tirinya. Bunga berpendapat bahwa iBundanya lebih dan sangat mementingkan status sosialnya daripada substansi hajjah, bahkan lebih penting daripada anak tirinya sekalipun. Penulis akan mengupas hal ini lebih banyak dibawah.
Sejarah menempatkan seseorang dengan status haji/hajjah pada posisi yang dihormati, ini aksioma, dan ini yang terjadi pada umat islam dalam konteks budaya masyarakat jawa. Sebuah perpaduan yang indah sejak sejarah walisongo, dimana citra haji/hajjah begitu dihormati sebagai seorang yang taat dan kuat secara agama, bijaksana, islamnya sempurna, memberikan energi positif pada lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Begitu kuat citra yang melekat pada status haji/hajjah sehingga penunaian ibadah haji dari indonesia dari tahun ke tahun selalu ramai.
Dalam konteks Bunda, penulis menggunakan pendekatan deduktif dengan premis bahwa; disadari atau tidak, diakui atau tidak, langkah Bunda menunaikan ibadah haji lebih berat pada usaha untuk medongkrak status sosialnya daripada sebagai ibadah untuk menyempurnakan keislamannya. Bunda adalah wanita yang tidak menikah, tinggal sendirian, dalam gelombang budaya yang mementingkan citra – citra, tentu sebuah problematika dengan beban yang tidak ringan. Belum lagi persepsi masyarakat mengenai masalalu Bunda yang kelam dan sejumlah priblematika lainnya, tentu saja hal ini menekan eksistensi dan memperburuk citranya.
Sebagai seorang muslimin (minimal KTPnya tertulis islam), sebatang kara, dan mulai berumur, tentunya tidak ada sandaran hati, dan tempat mengadu selain kepada Allah SWT. Nah, dalam ketidakberdayaannya ini Bunda menunaikan ibadah haji. Haji, idealnya memang untuk menyempurnakan rukun sebagai muslim dan muslimin. Tetapi tentu saja tidak bisa dipukul rata bahwa semua haji/hajjah mempunyai motivasi yang sama semacam itu. Banyak motivasi lainnya. Dalam konteks Bunda, kepergiannya ke tanah suci adalah untuk mengadukan ketidakberdayaan eksistensinya pada apa yang ia pahami sebagai Allah SWT melalui simbol – simbol Ka’bah, Hajar Aswat, wukuf, lempar jumrah dll.
Sebuah ritual pemujaan terhadap simbol – simbol “petanda” agama bisa juga melupakan”penanda”nya, atau biasa disebut fetishisme agama (Religion fethisism). Kepuasan pengidap fetishisme agama ini akan terasa setelah dia berhasil memuja bahkan memiliki simbol – simbol agama. Dalam konteks Bunda, sepulang dari tanah suci dan menyandang gelar hajjah, hilanglah suatu perasaan inferior dan siap menyandang status baru dalam masyarakat (tentunya lebih terhormat:hajjah). Suatu eksistensi dengan superioritas simbol budaya+keagamaan yang mampu mengubah struktur disekitarnya.
Demikian, status hajjah menjadi ideologi bagi Bunda. Ideologi ini pula yang menjadi modal sosial untuk mendongkrak keberadaannya. Berbagai usaha dilakukan Bunda asalkan selaras dengan citranya sebagai hajjah, dan berbagai upaya yang akan merusak nama baik Bunda sebagai hajjah akan dimurkainya. Dari pengalaman penulis berinteraksi dengan Bunda, dari banyak statemen yang dikemukakannya, terasa sekali penekanannya sebagai seorang hajjah. Selalu ada frase “…Saya ini kan hajjah, mas…”.dan seterusnya dan seterusnya…….. Juga penekanan kesenangan manakala ada kolega dan tetangga yang datang bertamu dengan mengucapkan “..nikmatnya…nikmatnya….” sebuah luapan kesenangan dari seorang yang hidup sendirian dan ingin keberadaannya diakui. Atau mungkin juga ketakterhubungan bunda secara sexual terbayarkan dengan persetubuhan antara sublimasi dan keinginan untuk mengAda dalam bingkai citra hajjah.
Dalam kehidupan keluarga, berdua dengan Bunga, putri tirinya, otoritas Bunda terasa begitu kuat dan berlebihan. Misalnya, beliau malu kalau Bunga dekat dengan laki – laki tanpa ada hubungan yang jelas karena ini akan merugikan nama baiknya. Bertolak dari itu pula, Bunga yang -secara personal- sebelumnya tidak pernah dekat (kurang bergaul/berinteraksi) dengan laki – laki namun kemudian berpacaran dengan kumbang mendapat perhatian kelewat serius dari Bunda. Kumbang seorang laki – laki yang sudah cukup umur, sarjana, sudah bekerja, dan beriman. Mungkin kumbang adalah karakter dengan modal yang disukai Bunda untuk mendampingi Bunga. Karena itu, daripada persepsi masyarakat menjadi negatif, dengan segera (untuk tidak mengatakan terburu – buru dan gegabah) kumbang dan keluarganya diminta Bunda untuk melamar Bunga. Bunga yang sebenarnya tidak menginginkan perjodohannya secepat itu -karena dia baru setahun tahun kuliah dan masih terlalu muda- tak kuasa menolak karena otoritas ibunya yang terlalu kuat. Maka, Bunga pun menerima lamaran itu.
Contoh lain, obsesi superioritas Bunda tampak pada keptidakpercayaan pada anak tirinya dengan menekan Bunga untuk kuliah di Batang saja. Itupun dengan mengambil jurusan yang dikehendaki Bunda:Tarbiyah. Sebuah jurusan yang tidak diminati Bunga, namun dipaksakan (kata Bunga:daripada tidak kuliah) karena ini akan memperkuat cintranya sebagai keluarga hajjah. Pola asuh yang otoriter ini tampak pada pembatasan kebebasan Bunga untuk bersosialisasi, pembatasan Bunga untuk berinteraksi dengan laki – laki yang bukan muhrimnya, pembatasan Bunga untuk menilai dan mengambil keputusan tentang seseorang, sesuatu dan suasana tertentu, serta banyak pembatasan lainnya.
Pembatasan – pembatasan ini tentu saja tidak menguntungkan perkembangan Bunga. Dalam ketidak berdayaannya diasuh ibu tiri, Bunga tumbuh menjadi anak yang penurut (atau terpaksa menuruti?), lemah dalam logika, sulit untuk berpikir panjang dan berpikir serius, susah mengendalikan emosi (gampang marah dan cengeng), bahkan ada simptom distress pada Bunga yang mengarah pada tindakan bunuh diri bila mendapat tekanan luar biasa. Beberapa kalimat yang sempat Bunga ucapkan sangat mengarah pada suatu keadaan depresif, tidak berdaya, dan agresif pada diri sendiri. Berikut adalah beberapa diantaranya “..Biarin! mungkin ini sms terakhirku.. jika setelah ini aku tidak sms lagi berarti aku sudah mati ketabrak [truk] tronton..”. Kalimat lainnya “..enak sekali punya oranag tua kandung..” dan, “..memang ada Bunda..tetapi rasanya pasti beda..enak sekali punya orang tua kandung” juga kalimat ini “Ibu kalau muncul egoisnya, tidak memperhatikan aku..padahal aku masih sakit, tetapi disuruh mengantarnya ke pasar..”. Dari beberapa kalimat di atas, ada kecenderungan Bunga untuk memberontak (agresif eksternal), tetapi adanya rasa ketidakberdayaan menyebabkan Bunga lebih banyak nrimo dan mengarahkan agresi pada diri sendiri (agresi internal) seperti kecenderungan bunuh diri itu. Hal ini diperparah dengan sikap dua kakak kandung Bunga yang tidak mempedulikannya (Bunga punya dua kakak, semuanya sudah berkeluarga, salah satu ada di sebuah kabupaten di jawa tengah bagian pantura dan satunya lagi ada di sebuah kota besar di sebelah barat Jawa).
Kembali ke Bunda. Sampai disini seakan muncul pola - pola dimana Bunga dijadikan alat untuk memenuhi obsesi Bunda, terlepas bagaimana pemahaman Bunda akan kondisi kejiwaan pitri tirinya tersebut. Pada saat murka, tidak jarang Bunda mengata - ngatai anak tirinya tersebut (maaf) Lonte.Itu yang paling ringan, perkataan lain yang lebih agresif pun akan keluar dari mulutnya. Silahkan pikir sendiri kata- kata apa saja yang lebih parah dari (maaf) Lonte. Sebuah teror psikis yang luar biasa traumatic bagi pertumbuhan anak perempuan sebatang kara dan tak berdaya seperti Bunga.
Kalimat yang bisa mewakili, mungkin seperti ini "Bunga sudah mati. Yang ada sekarang tinggal boneka perempuan yang harus menuruti ambisi - ambisi Ibu tirinya."
Kasihan juga Bunga, Ahh... Bunga...
hariez_zona@yahoo.com
pernah di post di komunitasembunpagi.blogspot.com
No comments:
Post a Comment