Tipologi Kepribadian Hippocrates
Konon, dalam studi kepribadian klasik tercatat, Hippocrates(1) menggolongkan kepribadian manusia ke dalam empat kepribadian saja, yaitu Melankolic (sempurna), Phlegmatic (tenang/damai), Sanguinic (populer)dan Korelic (kuat). Masing – masing kepribadian memiliki ciri khasnya masing – masing.
Melankolic, Karena dia seorang yang cenderung ”sempurna” maka biasanya dia dikenal sebagai seorang idealis, kurang suka berkompromi, kadang cenderung introvert, Suka segala sesuatu berjalan rapih, teratur, karena itu kadang – kadang terlihat agak kaku. Mempunyai impian yang besar/tinggi. Dalam tingkat kecerdasan yang sama dengan tipe kepribadian lain, sosok melankolis cenderung lebih terlihat unggul karena kecenderungannya akan sesuatu hal yang ideal.
Phlegmatic, Orang dengan kecenderungan ini, perilaku aktualnya adalah tenang, mengalir, menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan konon damai adalah tujuan tertinggi tipe kepribadian ini.
Sanguinic, Orang dengan kecenderungan sanguinis ini mempunyai perilaku yang menarik di mata orang lain. Tipe kepribadian ini memperlihatkan pribadi yang disukai banyak orang: ceria, riang, suka berinteraksi dengan orang lain, menghidupkan suasana, bersemangat, suka dipuji, dan ekspresif.
Korelic, adalah tipe kepribadian yang meledak – ledak, kuat, mempunyai kemauan yang keras, sulit dikendalikan, kadang terlihat otoriter, kurang suka basa – basi.
Empat tipologi kepribadian dan kombinasi - kombinasinya ini diyakini Hippocrates mampu menafsirkan pola – pola kepribadian seseorang. Misal, jika seseorang mempunyai kecenderungan kuat pada Phlegmatis, maka tiga kecenderungan yang lain tidak sekuat kecenderungan pada phlegmatis, tetapi bukan berarti tidak ada tiga kecenderungan yang lain itu.
Masyarakat Phlegmatis
Kepribadian adalah suatu bentuk kesatuan jiwa yang di bawahnya terdapat berbagai subsistem yang mengkonstuknya (misal das Es, das Ich, dan das Ueber Ich-nya Freud), Maka pola – pola/kecenderungan kepribadian yang nampak adalah produk dari suatu komposisi yang menggambarkan dinamika susbsistem kepribadian tersebut. Ini jika kepribadian ditujukan untuk menafsirkan gejala kejiwaan seseorang.
Apabila konsep ini dielaborasi dengan mengganti objek ”individu” dengan ”masyarakat” (selanjutnya tanpa tanda petik <”>), maka akan diperoleh suatu tafsiran kepribadian, yaitu kepribadian masyarakat. Kepribadian masyarakat dapat diartikan sebagai deskripsi kejiwaan masyarakat yang pola – polanya terkonstruk oleh dinamika subsistem kepribadian dengan komposisi tertentu yang menunjukkan ciri khas masyarakat tersebut.
Masyarakat Phlegmatis dapat diartikan sebagai gambaran dari suatu masyarakat dengan karakter tenang, mengalir, memilih menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan cinta damai/aman. Namun, karakter ini bukan penulis pakai untuk menggambarkan kepribadian masyarakat yang terkonstruk sedemikian rupa hingga berkarakter phlegmatis. Tetapi penulis mencoba mengambarkan proses phlegmatisasi masyarakat sebagai suatu proses yang membentuk, bahkan (disadari atau tidak) memaksa masyarakat sehingga tampak phlegmatis. Berikut adalah beberapa hal yang penulis curigai mempuyai peran besar dalam membentuk phlegmatisasi masyarakat
Konsep masyarakat positif
Konsep masyarakat positif ini merujuk pada pemikiran Auguste Comte(2). Ciri masyarakat positif adalah mereka telah mengganti gaya berpikir spekulatif dengan gaya berpikir rasional empiris. Logika ini didesakkan pada seluruh sendi kehidupan dengan semana – mena. Konsep ini akan menghasilkan pengetahuan yang instrumentalis. Masyarakat/individu dibekali dengan metode sains yang memungkinkan memiliki penguasaan alam dan lingkungan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Dengan keadaan semacam ini, agama harus bersedia menyerahkan diri hegemoninya -seperti pasukan yang kalah perang- pada ilmu pengetahuan empiris. Tempat – tempat peribadatan agama yang dahulu menjadi jantung peradaban manusia, kini, pada masa masyarakat positif telah digantikan Bank, Universitas, dan Industrialisasi. Dengan konstruk semacam itu, maka segala hal yang utama adalah yang dapat diukur, dikendalikan, bahkan dimanipulasi. Hal – hal yang bersifat materiil dan pragmatis (manfaatnya dengan cepat dapat dirasakan) menjadi hal prioritas. Sedangkan hal – hal yang sifatnya spekulatif dan tidak dapat diukur (mistis, agama, bahkan, Tuhan) akhirnya terpinggirkan.
Ciri masyarakat positif berikutnya adalah kehilangan makna. Revolusi di bidang sains (iptek), perubahan sistem kenegaraan, transportasi, teknologi informasi, komunikasi, rekayasa biologis, bidang produksi, dll semakin memudahkan hidup masnusia. Seakan – akan segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan landasan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi berlarut – larut pada masyarakat positif, pada zaman modern ini. Segala cita – cita diwujudkan secara instrumentalis, hingga pada saatnya muncullah imagi tentang robot. Penulis mengartikan robot adalah lambang supremasi positivistik, bahwa setiap “inci” dari manusia dapat diukur dan kemudian dibuat replikanya dalam bentuk robot. Tetapi bersamaan dengan itu, robot adalah lambang kegagalan manusia dalam memanusiakan dirinya, lambang kegagalan manusia dalam usahanya mencari makna. Karena itulah sains -bagi masyarakat positif- sebagai sandaran utama telah gagal dalam memecahkan berbagai permasalahan. Gagal dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan manusia dalam krisis makna, krisis spiritual yang mendera. Dengan sains manusia dapat menciptakan apa saja sejauh itu dapat diukur, dengan sains pula manusia dapat kaya raya, berlimpah materi, tetapi bersamaan dengan itu, manusia dan masyarakat positif mengalami krisis tentang kebermaknaan, dahaga spitirual yang berlarut – larut.
Carl Gustav Jung(3), bercerita bahwa kebanyakan pasiennya adalah berasal dari masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke atas dengan usia 30 tahun – 45 tahun. Tentu saja secara pendidikan adalah terpelajar, kehidupan mereka telah mapan, bahkan konon sebagian adalah golongan masyarakat high-class. Tetapi dari pasien – pasien tersebut Jung menemukan persamaan bahwa keluhan – keluhan yang mereka bawa tidak lain tidak bukan selalu berhubungan dengan basic value, filsafat hidup, tentang kebermaknaan; atau dengan kata kata lain mereka mengalami krisis spiritual. Masyarakat positif bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut. Hal ini, antara lain disebabkan karena sumber keyakinan, makna, dan spirit hidup hanya dimiliki oleh agama dan kepercayaan; bukan sains.
Sementara sains telah ”disucikan” dari pengaruh nilai – nilai agama dan dijadikan sandaran peradaban, agama dan kepercayaan itu sendiri telah dipinggirkan, karena tidak terukur dan tidak nyata/secara langsung dapat dirasakan kebermanfatannya (tidak masuk dalam prinsip – prinsip pragmatis). Dengan demikian masyarakat positif, dengan karakternya ini, membutuhkan basic value, filsafat hidup, kebermaknaan, spiritualisme yang sifatnya pragmatis: motivasi. Akhirnya Phlegmatisasi masyarakat menemukan bentuknya dengan menghindari perasaan kurang nyaman karena krisis makna dengan solusi berupa motivasi – motivasi sebagai penambalnya. Tidak peduli dari mana motivasi tersebut, asal (paling tidak) individu – individu dalam masyarakat positif tersebut merasa damai.
Kebijakan kekuasaan
Erich Fromm4 pernah berbaik hati dengan berpesan bahwa untuk menjadi pribadi yang sehat dapat dilakukan dengan mencapai kebebasannya walau betapapun sulitnya, proses dan perjuangan mencapai kebebasan tanpa henti adalah suatu ciri pribadi yang sehat. Hal ini tampaknya telah dipahami oleh para pemangku kebijakan (Pemerintah) sehingga sebisa mungkin mereka menghindari kebijakan yang tampak otoriter. Tetapi bagaimanapun, sifat kekuasaan adalah cenderung memembuat segala sesuatunya teratur, rapi, dan sistematis (setidaknya, seperti yang diinginkan kekuasaan). Maka, ketika pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang tampaknya membebaskan, sesungguhnya kebijakan tersebut tetaplah otoriter. Perbedaannya, mungkin ada pada keluasan, kenyamanan dan kelenturan ruang yang ditawarkan kebijakan tersebut. Maka, dari sini tampak kesalahan dalam mengartikulasikan kata ”bebas” dan ”aman”.
Jika Bebas diartikan keadaan tanpa ada determinasi, maka Aman diartikan sebagai keadaan nyaman dalam determinasi. Dan pemerintah tampaknya lebih condong pada yang kedua. Jadi, artikulasi bebas menurut pemerintah tidak lain tidak bukan adalah membuat nyaman masyarakat dalam berbagai determinasi yang dibuat pemerintah itu sendiri. Dari sini, secara tidak langsung pemerintah berpesan; jadilah waga negara yang aman, karena (secara tidak langsung pula) bebas belum tentu aman, bahkan dari otoritas pemerintah itu sendiri. Berarti, dalam kebijakan semacam inilah, pemerintah menghendaki masyarakat untuk berperilaku phlegmatis.
Kemerosotan kualitas hidup
Konstruksi masyarakat phlegmatis semakin lengkap dengan adanya alienasi5. Biaya hidup semakin hari semakin mahal tanpa diikuti pendapatan yang semakin meningkat. Dalam hal ini sistem ekonomi dan kebijakan pemerintah turut memegang peran penting. Ketika dalam hal ekonomi masyarakat golongan atas semakin kaya, masyarakat golongan bawah semakin miskin, dan masyarakat golongan tengah semakin tertekan dan terpolar (ke atas/bawah).
Penakanannya disini adalah pada masyarakat dalam strata ekonomi menengah ke bawah.
Masyarakat tidak bertindak macem – macem karena mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Yang penting bisa hidup aman dan nyaman. Kualitas hidup golongan menengah ke bawah semakin merosot, orientasi pada kebutuhan – kebutuhan dasar (makan-minum, sex, istirahat, bernafas, dll) dan kebutuhan keamanan (fisik maupun psikis) telah memaksa golongan masyarakat ini untuk melakukan apa saja. Asal kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dalam paradigma Maslow6, sekarang, setiap kebutuhan terasa semakin tinggi dan mahal untuk dijangkau. Kebutuhan merosot hingga pada kebutuhan untuk keamanan dan kebutuhan untuk bertahan hidup (kebutuhan dasar). Sedangkan kebutuhan akan cinta dan saling memiliki, kebutuhan akan esteem, bahkan aktualisasi potensi diri dipraktikkan sebagai ungkapan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keamanan.
Dengan kata lain, kebutuhan – kebutuhan dasar dan kebutuhan akan keamanan menjadi lebih tinggi dan mahal sehingga kebutuhan – kebutuhan lain menjadi subsider bagi tercapainya kebutuhan – kebutuhan ini.
Masyarakat phlegmatis, yang cederung mengalir, tenang, teduh, tidak suka cari masalah, suka damai dan mendamaikan adalah gambaran masyarakat ideal. Mungkin, ini semacam seragam yang dikehendaki penguasa dalam mengatur rakyatnya. Dan, tentu saja keadaan ini menimbulkan banyak implikasi..
Wallahu a’lam bissshowab..
1 Hippocrates (460-377 SM), pemikir yunani klasik yang juga mendapat sebutan “bapak kedokteran”
2 August Comte (1798-1857 M): Pemikir asal Perancis, dikenal sebagai “bapak pemikir Positivisme” yang kemudian berkembang sebagai pola pikir masyarakat ilmiah pada umumnya.
3 Carl Gustav Jung (1875-1961): seorang pakar Psikoanalitic dari Swiss. Konsep Jung yang terkenal dan kontroversial adalah tentang collective unconsciousness, dimana ketidaksadaran ini adalah gudangnya puncak – puncak potensi manusia.
4 Erich Fromm (1900-1980): Salah satu Tokoh neoFreudian yang juga seorang Marxis. Fromm mencoba mengawinkan pandangan Freud dan Marx tentang manusia.
5 Teori Alienasi (Karl Marx): Pemindahan hak milik kepada orang lain; Pengambilalihan hasil kerja (upah/gaji) para pekerja oleh para pemilik alat – alat produksi, sehingga gaji yang diterima pekerja tidak sesuai dengan kerja yang dilakukan.
6 Abraham Maslow (1908-1970): Pemikir Psikologi Mazhab III (Humanis). Teori hierarky kebutuhan Maslow an sich adalah upaya manusia mencapai kebutuhan – kebutuhannya dari kebutuhan yang terendah (dasar) hingga yang tertinggi. Dari yang terendah: 1)Kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan rasa aman. 3) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki-dimiliki. 4) Kebutuhan Harga diri. 5) Kebutuhan Aktualisasi diri.
Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan bahwasannya Aktualisasi diri tidak selalu berada diatas dan kebutuhan – kebutuhan lain tidak selalu berada di urutannya, tetapi kontekstual. Bahkan dalam tahun – tahu terakhirnya, Maslow memodifikasi teori ini, dimana kebutuhan tertinggi bukanlah Aktualisasi diri, tetapi diatasnya ada kebutuhan akan spiritualisme; kebutuhan akan keyakinan terhadap dunia transenden.
hariez_zona@yahoo.com
mahasiwa Psikologi
Konon, dalam studi kepribadian klasik tercatat, Hippocrates(1) menggolongkan kepribadian manusia ke dalam empat kepribadian saja, yaitu Melankolic (sempurna), Phlegmatic (tenang/damai), Sanguinic (populer)dan Korelic (kuat). Masing – masing kepribadian memiliki ciri khasnya masing – masing.
Melankolic, Karena dia seorang yang cenderung ”sempurna” maka biasanya dia dikenal sebagai seorang idealis, kurang suka berkompromi, kadang cenderung introvert, Suka segala sesuatu berjalan rapih, teratur, karena itu kadang – kadang terlihat agak kaku. Mempunyai impian yang besar/tinggi. Dalam tingkat kecerdasan yang sama dengan tipe kepribadian lain, sosok melankolis cenderung lebih terlihat unggul karena kecenderungannya akan sesuatu hal yang ideal.
Phlegmatic, Orang dengan kecenderungan ini, perilaku aktualnya adalah tenang, mengalir, menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan konon damai adalah tujuan tertinggi tipe kepribadian ini.
Sanguinic, Orang dengan kecenderungan sanguinis ini mempunyai perilaku yang menarik di mata orang lain. Tipe kepribadian ini memperlihatkan pribadi yang disukai banyak orang: ceria, riang, suka berinteraksi dengan orang lain, menghidupkan suasana, bersemangat, suka dipuji, dan ekspresif.
Korelic, adalah tipe kepribadian yang meledak – ledak, kuat, mempunyai kemauan yang keras, sulit dikendalikan, kadang terlihat otoriter, kurang suka basa – basi.
Empat tipologi kepribadian dan kombinasi - kombinasinya ini diyakini Hippocrates mampu menafsirkan pola – pola kepribadian seseorang. Misal, jika seseorang mempunyai kecenderungan kuat pada Phlegmatis, maka tiga kecenderungan yang lain tidak sekuat kecenderungan pada phlegmatis, tetapi bukan berarti tidak ada tiga kecenderungan yang lain itu.
Masyarakat Phlegmatis
Kepribadian adalah suatu bentuk kesatuan jiwa yang di bawahnya terdapat berbagai subsistem yang mengkonstuknya (misal das Es, das Ich, dan das Ueber Ich-nya Freud), Maka pola – pola/kecenderungan kepribadian yang nampak adalah produk dari suatu komposisi yang menggambarkan dinamika susbsistem kepribadian tersebut. Ini jika kepribadian ditujukan untuk menafsirkan gejala kejiwaan seseorang.
Apabila konsep ini dielaborasi dengan mengganti objek ”individu” dengan ”masyarakat” (selanjutnya tanpa tanda petik <”>), maka akan diperoleh suatu tafsiran kepribadian, yaitu kepribadian masyarakat. Kepribadian masyarakat dapat diartikan sebagai deskripsi kejiwaan masyarakat yang pola – polanya terkonstruk oleh dinamika subsistem kepribadian dengan komposisi tertentu yang menunjukkan ciri khas masyarakat tersebut.
Masyarakat Phlegmatis dapat diartikan sebagai gambaran dari suatu masyarakat dengan karakter tenang, mengalir, memilih menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan cinta damai/aman. Namun, karakter ini bukan penulis pakai untuk menggambarkan kepribadian masyarakat yang terkonstruk sedemikian rupa hingga berkarakter phlegmatis. Tetapi penulis mencoba mengambarkan proses phlegmatisasi masyarakat sebagai suatu proses yang membentuk, bahkan (disadari atau tidak) memaksa masyarakat sehingga tampak phlegmatis. Berikut adalah beberapa hal yang penulis curigai mempuyai peran besar dalam membentuk phlegmatisasi masyarakat
Konsep masyarakat positif
Konsep masyarakat positif ini merujuk pada pemikiran Auguste Comte(2). Ciri masyarakat positif adalah mereka telah mengganti gaya berpikir spekulatif dengan gaya berpikir rasional empiris. Logika ini didesakkan pada seluruh sendi kehidupan dengan semana – mena. Konsep ini akan menghasilkan pengetahuan yang instrumentalis. Masyarakat/individu dibekali dengan metode sains yang memungkinkan memiliki penguasaan alam dan lingkungan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Dengan keadaan semacam ini, agama harus bersedia menyerahkan diri hegemoninya -seperti pasukan yang kalah perang- pada ilmu pengetahuan empiris. Tempat – tempat peribadatan agama yang dahulu menjadi jantung peradaban manusia, kini, pada masa masyarakat positif telah digantikan Bank, Universitas, dan Industrialisasi. Dengan konstruk semacam itu, maka segala hal yang utama adalah yang dapat diukur, dikendalikan, bahkan dimanipulasi. Hal – hal yang bersifat materiil dan pragmatis (manfaatnya dengan cepat dapat dirasakan) menjadi hal prioritas. Sedangkan hal – hal yang sifatnya spekulatif dan tidak dapat diukur (mistis, agama, bahkan, Tuhan) akhirnya terpinggirkan.
Ciri masyarakat positif berikutnya adalah kehilangan makna. Revolusi di bidang sains (iptek), perubahan sistem kenegaraan, transportasi, teknologi informasi, komunikasi, rekayasa biologis, bidang produksi, dll semakin memudahkan hidup masnusia. Seakan – akan segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan landasan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi berlarut – larut pada masyarakat positif, pada zaman modern ini. Segala cita – cita diwujudkan secara instrumentalis, hingga pada saatnya muncullah imagi tentang robot. Penulis mengartikan robot adalah lambang supremasi positivistik, bahwa setiap “inci” dari manusia dapat diukur dan kemudian dibuat replikanya dalam bentuk robot. Tetapi bersamaan dengan itu, robot adalah lambang kegagalan manusia dalam memanusiakan dirinya, lambang kegagalan manusia dalam usahanya mencari makna. Karena itulah sains -bagi masyarakat positif- sebagai sandaran utama telah gagal dalam memecahkan berbagai permasalahan. Gagal dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan manusia dalam krisis makna, krisis spiritual yang mendera. Dengan sains manusia dapat menciptakan apa saja sejauh itu dapat diukur, dengan sains pula manusia dapat kaya raya, berlimpah materi, tetapi bersamaan dengan itu, manusia dan masyarakat positif mengalami krisis tentang kebermaknaan, dahaga spitirual yang berlarut – larut.
Carl Gustav Jung(3), bercerita bahwa kebanyakan pasiennya adalah berasal dari masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke atas dengan usia 30 tahun – 45 tahun. Tentu saja secara pendidikan adalah terpelajar, kehidupan mereka telah mapan, bahkan konon sebagian adalah golongan masyarakat high-class. Tetapi dari pasien – pasien tersebut Jung menemukan persamaan bahwa keluhan – keluhan yang mereka bawa tidak lain tidak bukan selalu berhubungan dengan basic value, filsafat hidup, tentang kebermaknaan; atau dengan kata kata lain mereka mengalami krisis spiritual. Masyarakat positif bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut. Hal ini, antara lain disebabkan karena sumber keyakinan, makna, dan spirit hidup hanya dimiliki oleh agama dan kepercayaan; bukan sains.
Sementara sains telah ”disucikan” dari pengaruh nilai – nilai agama dan dijadikan sandaran peradaban, agama dan kepercayaan itu sendiri telah dipinggirkan, karena tidak terukur dan tidak nyata/secara langsung dapat dirasakan kebermanfatannya (tidak masuk dalam prinsip – prinsip pragmatis). Dengan demikian masyarakat positif, dengan karakternya ini, membutuhkan basic value, filsafat hidup, kebermaknaan, spiritualisme yang sifatnya pragmatis: motivasi. Akhirnya Phlegmatisasi masyarakat menemukan bentuknya dengan menghindari perasaan kurang nyaman karena krisis makna dengan solusi berupa motivasi – motivasi sebagai penambalnya. Tidak peduli dari mana motivasi tersebut, asal (paling tidak) individu – individu dalam masyarakat positif tersebut merasa damai.
Kebijakan kekuasaan
Erich Fromm4 pernah berbaik hati dengan berpesan bahwa untuk menjadi pribadi yang sehat dapat dilakukan dengan mencapai kebebasannya walau betapapun sulitnya, proses dan perjuangan mencapai kebebasan tanpa henti adalah suatu ciri pribadi yang sehat. Hal ini tampaknya telah dipahami oleh para pemangku kebijakan (Pemerintah) sehingga sebisa mungkin mereka menghindari kebijakan yang tampak otoriter. Tetapi bagaimanapun, sifat kekuasaan adalah cenderung memembuat segala sesuatunya teratur, rapi, dan sistematis (setidaknya, seperti yang diinginkan kekuasaan). Maka, ketika pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang tampaknya membebaskan, sesungguhnya kebijakan tersebut tetaplah otoriter. Perbedaannya, mungkin ada pada keluasan, kenyamanan dan kelenturan ruang yang ditawarkan kebijakan tersebut. Maka, dari sini tampak kesalahan dalam mengartikulasikan kata ”bebas” dan ”aman”.
Jika Bebas diartikan keadaan tanpa ada determinasi, maka Aman diartikan sebagai keadaan nyaman dalam determinasi. Dan pemerintah tampaknya lebih condong pada yang kedua. Jadi, artikulasi bebas menurut pemerintah tidak lain tidak bukan adalah membuat nyaman masyarakat dalam berbagai determinasi yang dibuat pemerintah itu sendiri. Dari sini, secara tidak langsung pemerintah berpesan; jadilah waga negara yang aman, karena (secara tidak langsung pula) bebas belum tentu aman, bahkan dari otoritas pemerintah itu sendiri. Berarti, dalam kebijakan semacam inilah, pemerintah menghendaki masyarakat untuk berperilaku phlegmatis.
Kemerosotan kualitas hidup
Konstruksi masyarakat phlegmatis semakin lengkap dengan adanya alienasi5. Biaya hidup semakin hari semakin mahal tanpa diikuti pendapatan yang semakin meningkat. Dalam hal ini sistem ekonomi dan kebijakan pemerintah turut memegang peran penting. Ketika dalam hal ekonomi masyarakat golongan atas semakin kaya, masyarakat golongan bawah semakin miskin, dan masyarakat golongan tengah semakin tertekan dan terpolar (ke atas/bawah).
Penakanannya disini adalah pada masyarakat dalam strata ekonomi menengah ke bawah.
Masyarakat tidak bertindak macem – macem karena mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Yang penting bisa hidup aman dan nyaman. Kualitas hidup golongan menengah ke bawah semakin merosot, orientasi pada kebutuhan – kebutuhan dasar (makan-minum, sex, istirahat, bernafas, dll) dan kebutuhan keamanan (fisik maupun psikis) telah memaksa golongan masyarakat ini untuk melakukan apa saja. Asal kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dalam paradigma Maslow6, sekarang, setiap kebutuhan terasa semakin tinggi dan mahal untuk dijangkau. Kebutuhan merosot hingga pada kebutuhan untuk keamanan dan kebutuhan untuk bertahan hidup (kebutuhan dasar). Sedangkan kebutuhan akan cinta dan saling memiliki, kebutuhan akan esteem, bahkan aktualisasi potensi diri dipraktikkan sebagai ungkapan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keamanan.
Dengan kata lain, kebutuhan – kebutuhan dasar dan kebutuhan akan keamanan menjadi lebih tinggi dan mahal sehingga kebutuhan – kebutuhan lain menjadi subsider bagi tercapainya kebutuhan – kebutuhan ini.
Masyarakat phlegmatis, yang cederung mengalir, tenang, teduh, tidak suka cari masalah, suka damai dan mendamaikan adalah gambaran masyarakat ideal. Mungkin, ini semacam seragam yang dikehendaki penguasa dalam mengatur rakyatnya. Dan, tentu saja keadaan ini menimbulkan banyak implikasi..
Wallahu a’lam bissshowab..
1 Hippocrates (460-377 SM), pemikir yunani klasik yang juga mendapat sebutan “bapak kedokteran”
2 August Comte (1798-1857 M): Pemikir asal Perancis, dikenal sebagai “bapak pemikir Positivisme” yang kemudian berkembang sebagai pola pikir masyarakat ilmiah pada umumnya.
3 Carl Gustav Jung (1875-1961): seorang pakar Psikoanalitic dari Swiss. Konsep Jung yang terkenal dan kontroversial adalah tentang collective unconsciousness, dimana ketidaksadaran ini adalah gudangnya puncak – puncak potensi manusia.
4 Erich Fromm (1900-1980): Salah satu Tokoh neoFreudian yang juga seorang Marxis. Fromm mencoba mengawinkan pandangan Freud dan Marx tentang manusia.
5 Teori Alienasi (Karl Marx): Pemindahan hak milik kepada orang lain; Pengambilalihan hasil kerja (upah/gaji) para pekerja oleh para pemilik alat – alat produksi, sehingga gaji yang diterima pekerja tidak sesuai dengan kerja yang dilakukan.
6 Abraham Maslow (1908-1970): Pemikir Psikologi Mazhab III (Humanis). Teori hierarky kebutuhan Maslow an sich adalah upaya manusia mencapai kebutuhan – kebutuhannya dari kebutuhan yang terendah (dasar) hingga yang tertinggi. Dari yang terendah: 1)Kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan rasa aman. 3) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki-dimiliki. 4) Kebutuhan Harga diri. 5) Kebutuhan Aktualisasi diri.
Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan bahwasannya Aktualisasi diri tidak selalu berada diatas dan kebutuhan – kebutuhan lain tidak selalu berada di urutannya, tetapi kontekstual. Bahkan dalam tahun – tahu terakhirnya, Maslow memodifikasi teori ini, dimana kebutuhan tertinggi bukanlah Aktualisasi diri, tetapi diatasnya ada kebutuhan akan spiritualisme; kebutuhan akan keyakinan terhadap dunia transenden.
hariez_zona@yahoo.com
mahasiwa Psikologi
No comments:
Post a Comment