Sunday, March 18, 2012

Spiritual Quotient dalam Dunia Industri (Sebuat telaah kritis)



Konsep-konsep mengenai Quotient seperti Adversity, Creative, Emotional, Intelligence, Quantum, hingga Trancendental Quotient begitu cepat diterima dan diserap dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Mungkin karena konsep-konsep tersebut secara spesifik menyampaikan potensi-potensi individu untuk dikembangkan sehingga bermanfaat. Pun bersamaan dengan itu, kesadaran akan keterbatasan konsep dan kritikan terhadap konsep-konsep ESQ bermunculan. Dan, tulisan ini berada dalam jajaran tersebut.

APA ITU ESQ DAN POSISINYA DALAM KONSTITUSI MENTAL?
Manusia dilengkapi dimensi emosi sebagai bentuk ekspresi yang disadari, dirasakan, dipikirkan, baik pada diri sendiri dan orang lain. Tindakan seseorang bolehlah rasional, tetapi akan terasa dingin, kaku, kurang berkesan tanpa balutan emosi pada prosesnya. Keberadaan emosi memberikan “pelumas” dalam bahasa-bahasa yang disampaikan dan diterima subjek. Konon, elaborasi bahasa rasional yang disampaikan, ditambah percikan emosional yang “pas” memberikan kesan lebih mendalam. Karena itu, Fakultas emosi, sama pentingnya dengan fakultas rasio.
Di zaman yang didominasi rasio ini, diskursus emosi mengemuka. Pengelolaan/pengendalian emosi yang baik, dewasa ini populer disebut kecerdasan emosi (EQ:Emotional Quotient). Predikat orang ber-EQ tinggi, diberikan kepada individu yang baik dalam mengelola emosinya. Tentu saja kesadaran pengelolaan emosi secara rasional. Sesuai dengan mental jamannya.
Kecerdasan emosi tidak hanya untuk mengelola emosi, tetapi juga melampaui itu; digunakan untuk menggapai tujuan-tujuan lain yang memprasyaratkan kecerdasan emosi. Bahkan, Goleman mengklaim, kesuksesan seseorang 20% adalah kontribusi IQ (Intelligence Quotient) sedangkan 80% adaah kontribusi EQ.
Bisa dikatakan, salah satu guna EQ dalam konstitusi mental adalah semacam metode untuk meraih tujuan dari subjek.
Setiap subjek mempunyai nilai-nilai dalam kerak dasar mental yang memberikan makna, vektor, energi dan motivasi pada tindakan. nilai-nilai tersebut memberikan makna pada setiap tindakan, sehingga suatu tindakan itu layak dilakukan. Inilah yang membedakan tingkat kepentingan dalam setiap tindakan. Keputusan atas suatu pilihan tindakan, bertolak pada kompleks nilai-nilai dasar subjektif. Ada tindakan yang sangat-penting, sampai tindakan yang paling-sangat-tidak-penting.
Nilai-nilai dasar ini tidak hadir dengan sendirinya, tetapi ada semacam Kecerdasan yang menentukan suatu nilai-nilai dasar. Kecerdasan dalam menentukan ide-ide mana yang benar-benar sahih untuk dijadikan nilai-nilai dasar filosofis, dijadikan spirit, itulah SQ (Spiritual Quotient). Ide-ide dasar ini yang memberikan dan menentukan kekuatan emosi dalam prioritas tindakannya. Dalam bentang seperti inilah, SQ dapat dipahami sebagai kecerdasan menentukan ide-ide terdalam mana yang diyakini subjek.
Eksistensi kompleks nilai ini tentu saja tidak statis. Tetapi dinamis sesuai dengan dinamika yang dialami subjek. Revisi – revisi atas kompleks nilai, atau bahkan menyeberang berganti pada ide-ide lain dapat terjadi. Proses tersebut menunjukkan sampai dimana determinasi SQ.
Konsep SQ ini juga bermaksud mereposisi EQ. Bahwasannya EQ bukanlah yang utama walaupun penting. Ada yang lebih mendasar, yaitu SQ. IQ dan EQ lebih efektif apabila ide-ide dasarnya kuat. Karena corak pengendalian emosi ditentukan nilai-nilai dasar, maka dapat dikatakan, tak ada orang yang memiliki kecerdasan emosi, bila tidak mempunyai nilai-nilai dasar yang kuat dan mendalam. Dengan kata lain, konsep SQ ini juga ‘menggoyang’ klaim goleman: 80% kesuksesan seseorang adalah berkat EQ. bahwasannya, EQ adalah metode untuk mewujudkan ide-ide yang sebelumnya telah dipilah SQ. sekitar 80% kesuksesan yang diraih EQ adalah kesuksesan mewujudkan nilai-nilai abstrak yang sebelumnya di pilih SQ.
Tampaknya, dialektika ini diakomodir oleh Ary Ginanjar dengan memperkenalkan konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient), dimana ide-ide dasar Islam seperti Tauhid, Rukun Iman, Rukun Islam (165 way) dijadikan ide dasar. Ginanjar Yakin bahwa nilai-niai dasar yang dibawa islam dapat membangkitkan potensi tertinggi seseorang. Membangkitkan corak emosi yang sehat guna merengkuh kesuksesan.
Nah, tepat pada titik inilah, penulis memberanikan untuk ‘memotong’ paradigma ESQ Ary Ginanjar untuk memberikan alternatif, membentangkan realita, membuka kemungkinan-kemingkinan pada yang-lain, bahwa ide-ide dasar selain yang dikandung islam -apakah itu ideology, falsafah, atau aliran kepercayan dapat- dijadikan nilai-nilai dasar. Belief, atau kearifan, tidak hanya tunggal pada satu agama, tetapi juga pada agama – agama lain. Bahkan juga dalam sistem kepercayaan misalnya ideologi, ritus adat, aliran filsafat, teologi, dll.
Demikian, konstruk pemkiran di atas akan penulis gunakan untuk mengurai fenomena ESQ hari ini

SQ = INDUSTRI “SPIRITUAL”?
SQ hari ini telah menjadi kebutuhan. Dunia Industri merupakan salah satu ranah besar yang mengaplikasikannya. Persaingin dunia industry yang semakin tegang mendorong perusahaan swasta dan negeri menerapkan training-training EQ, SQ, atau ESQ dengan berbagai varian training lainnya untuk mengoptimalkan SDM dan meningkatkan kinerja karyawannya, Tujuannya jelas; agar sukses meningkatan oplah perusahaan. Bagi Individu, ESQ, menjadi salah satu referensi penting agar sukses mencapai tujuan-tujuannya.
EQ (Emotional Quotient) dipercaya dapat mengantarkan seseorang pada kesuksesan. Demikian kira-kira jargon marketingnya. Sering kali dalam berbagai alamat web, varian training dan buku-buku motivasi yang laris-manis -yang membanjiri toko buku, perpustakaaan dan koleksi buku orang-orang modern- dicontohkan mereka yang memiliki kecerdasan ESQ mencapai kesuksesan luar biasa seperti kolonel sanders, Bill gates, Donald Trumph, Bob Sadino, dll. Atau dalam kata yang berbeda, kesuksesan, dilekatkan pada mereka yang ultra kaya, trilyuner, orang-orang yang mempunyai kekayaan finansial luar biasa. mereka model orang-orang sukses. Itulah kesuksesan. Kira-kira, jika anda ingin seperti Donald Trumph; Kaya raya, maka anda harus memiliki kecerdasan emosi.
Berbondong-bondong, mereka yang ingin sukses, mengkonsumsi informasi seperti training dan buku-buku ESQ. Harga buku-buku dan training pun tidak bisa dibilang murah, hal ini berbanding lurus dengan brand sang penulis atau trainer. Semakin dipercaya brand-nya, maka harga buku atau training-nya semakin mahal. Bisa diartikan, jika ingin menjadi individu yang memiliki ESQ tinggi maka anda harus punya banyak uang (dan tekad yang kuat,tentunya). Dengan bahasa lain, orang-orang ‘berada’lah yang paling mungkin mengkonsumsinya, paling mungkin menjadi orang yang berESQ tinggi, paling mungkin menjadi orang-orang yang ‘sukses’. Well, seperti kalimat wisdom :kesuksesan memang ada ‘harga’nya.

KRITIK PARADIGMA ESQ HARI INI
Telah dibahas di atas, bahwa EQ adalah semacam metode untuk menggapai 'kesuksesan'. 80% kesuksesan adalah karena EQ, dan sisanya adalah IQ, demikian kata Goleman. Disini, penulis menafsirkan apa yang dikatakan Goleman (dengan konsep kecerdasan emosinya), sebagai bentuk penerimaan begitu saja terhadap tujuan ‘kesuksesan’ tanpa menelaah konstruksi kesuksesan tersebut. Tujuan kesuksesan yang terpampang didepan subjek diterima begitu saja, diinternalisasi, dimasukkan dalam alam nirsadar, dijadikan nilai-nilai dasar serta dimanifestasikan dalam tindakan dan pencapaian-pencapaian. Dengan kata lain, konsep IQ/EQ/ lebih konsen pada programming potensi manusia untuk mempercanggih metode pencapaian. Sedangkan SQ, yang beroperasi pada komplek nilai-nilai yang diperjuangkan, menempatkan suatu nilai tertentu sebagai shared value.
Dari tujuan kesuksesan yang ‘diam-diam’ diterima begitu saja oleh Goleman, penulis mencoba menghadirkan telaah mengenai konstruksi kesuksesan tersebut.
Dalam konteks ini, ‘kesuksesan’ menjadi ideologinya; menjadi nilai-nilai dasar yang diyakini benar. ’Sukses’, menjadi jalan hidup. Nah, ‘sukses’ yang bagaimana? Dalam konteks ini pula, yang penulis maksud ‘sukses’ adalah kompleks nilai-nilai dasar yang dibangun dalam paradigma materialis. Tentu saja pemaknaan sukses sedemikian rupa, tidak hadir dengan sendirinya, tetapi sebentuk perayaan kemenangan kapitalis dalam menyematkan ide dibalik signifier ‘sukses’ dalam pergulatannya dengan ide-ide lain.
Ideologi kesuksesan-materi ini dilembagakan melalui institusi-institusi kapitalistik yang menjamur, meng-hegemoni, memenuhi ruang hidup sampai pada ruang-ruang yang paling privat dan tabu. Melalui aparatus ideologisnya seperti perusahaan, biro iklan, artis, trainer/motivator, bank, ilmu pengetahuan, dsb, membentuk jejaring kuasa dan memahamkan individu bahwa kesuksesan identik dengan perolehan-perolehan materi. Mimpi-mimpi mengenai kebebasan finansial, selalu up to date, terbelinya segala keinginan-keinginan dan terlampiaskannya hasrat-hasrat duniawi menjadi gugus nilai yang pantas untuk diperjuangkan. Suatu jabatan/karier pun juga diartikan sebagai penumpukan materi.
Aparatus represif, disini bekerja dengan halus melalui symbol-simbol cultural seperti rumah megah, Mercedes S-Class, Pakaian G.Armani, Dolce & Gabbana, Gelar akademik, Profesi kerja, gaya hidup, dsb. Batas represinya, individu-individu yang melenceng dari mindstream ini, tidak mempunyai mobil, jabatan, status sosial, dan berbagai atribut materi, tidak tergolong dalam hierarki orang-orang sukses! ide-ide kesuksesan yang lain menjadi terpinggirkan.
Ideologi Kesuksesan a la materialisme demikian dominan, demikian hegemonik. Inilah paradigma dibelakang kata ‘Sukses’. Membahas kesuksesan, berarti membahas perolehan dalam satuan materi. Ini narasi besarnya.

Ideologi ini telah membentuk corak/pola tindakan dalam suatu lingkaran materialis determinis. Dakwah aparatus ideologis yang sangat populer salah satunya adalah melalui berbagai training, buku-buku, dan komunitas-kominutas EQ/SQ/ESQ. yang paling terasa adalah dalam konsep EQ (umumnya EQ lebih terkenal daripada ESQ). Berbagai wacana menyatakan bahwa EQ efektif untuk menggapai kesuksesan; Dan ide-ide kesuksesan langsung dilekatkan pada model/tokoh trilyuner seperti Donald Trumph.
Pada titik ini kemampuan alamiah seseorang dalam rangka memilih dan menginternalisasi ide-ide diintervensi (Secara ‘memikat’ dibujuk untuk meyakini ide-ide kesuksesan tersebut). Ideologi personal dibentuk dari ideologi massa, Ideologi yang sedang populer.

DISKUSI
Jika EQ menjadi metode, dan SQnya adalah Kesuksesan materi, maka implikasi yang-lain adalah ide-ide dasar lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dsb akan menjadi instrument/metode untuk meraih ‘kesuksesan’. Misalnya, berbagai ayat-ayat adi kodrati disitir seperlunya, dijadikan legitimasi untuk meraih ‘kesuksesan’. Perkembangan ilmu pengetahuan pun diam-diam mengikuti fantasmagoria ‘kesuksesan’. Imbasnya, ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai komoditas yang dapat dikonsumsi untuk meraih ‘kesuksesan’ perlahan-lahan mati. Budaya yang tidak selaras dengan paradigma ‘kesuksesan’ pun terancam punah.


-1st picture was downloaded from: http://saysthesinglegirl.com/2009/marry-for-money/
-2nd picture was downloaded from: http://wisnuku.blogspot.com/2011/07/masalah-kemiskinan-di-indonesia.html
-3rd picture was downloaded from: http://acidcow.com/pics/14395-faces-of-poverty-33-pics.html

Sunday, November 13, 2011

Mengusir Hampa



Aku: hampa, kenapa engkau terus bersamaku?



Hampa: karena aku bertugas menandai pengetahuan-pengetahuanmu yang kusembunyikan di luar ambang sadarmu



Aku: Mengapa engkau berbuat seperti itu kepadaku?



Hampa: untuk membatasi pikiranmu, supaya engkau tak banyak memikirkan apa-apa yang tak seharusnya menjadi pikiranmu sekarang..



Aku: maksudmu?



Hampa: Hmmm... Begini, aku sebenarnya membantumu untuk konsen memikirkan apa-apa yang tidak kusembunyikan dari kesadaranmu. Itulah yang patut kau pikirkan, kau ambil sikap, dan tindakan. hanya itu.


Aku: Begini, hampa.. Aku membutuhkan pengetahuan-pengetahuanku yang kau sembunyikan itu, tolong.. kembalikan, buka tabir kehampaanmu..



Hampa: Untuk apa sih? pemilahan kesadaran semacam ini justru yang terbaik untukmu saat ini, kau terikat berbagai kesepakatan dan tanggungjawab sehingga kau berada pada titik dimana kau sekarang berdiri.. Pengetahuan-pengetahuan yang kusembunyikan rapat-rapat ini sangat membantumu untuk diet pikiran, kau bisa konsentrasi penuh pada kewajiban dan tanggungjawabmu sekarang.. Coba bayangkan, jika seleramu pada pengetahuan-pengetahuan tersebut tak dikeluarkan dari kesadaranmu, kau akan sibuk bertamasya ke berbagai dimensi pemikiran yang tidak jelas, semu, dan tanpa tujuan-tujuan pragmatis. Dengan kesadaran seperti itu, kau sibuk dengan alam pikiranmu sendiri dan tidak akan dapat bekerja dengan baik. Efeknya jelas, kau tidak bisa mendapatkan posisi sosialmu sekarang.. apalagi coba?



Aku: Tetapi keadaan sadar yang seperti ini sering membuatku muak, tiap saat, jam, hari, minggu, aku harus mengulang-ulang hal yang sama. semua itu membuat aku merasa kerdil. terpenjara dalam kesadaran seperti ini sungguh menjadikan aku bukan sebagai aku, aku telah terpisah dari diriku. Dan kau,Hampa! kau lah yang paling bersalah atas semua ini. Kembalikan sekarang juga! Aku membutuhkan pengetahuan-pengetahuanku yang kau sembunyikan untuk mematik inspirasi. untuk membentangkan akal sehatku. membuatku kembali lagi menjadi diriku. kau tak seharusnya membatasi! memisahkan! kau tak seharusnya disini.. enyahlah kau hampaaaa!!!



hampaa?!



hampa?



hampa




*picture was downloaded from http://rizkymygift.wordpress.com/2010/04/07/self-esteem-make-it-min/

Saturday, November 27, 2010

Imaginary Friend: a piece of my childhood psychology (an Adlerian perspective)




My childhood was lonely; I was a lonely child. I don’t really know why it was, but I think it occurred because my character tended to be superior. However, I tended to dominate my sociality. I tended to dominate my peer groups. It had no problem with friends who have similar age range to me, but it became a problem toward number of friends who are elder than me. They thought I would be dangerous person toward their domination in such peer group; therefore, they used to insult and bother me when I gathered to the group. Their behaviors very distressed me. Although I couldn’t remember how often, how many and how numerous were it, but I can even feel it and, surely, It really hurt my heart.

What I used to do then, I isolated myself from my social or peer groups. Yet, I enjoyed being alone. I played my toys, made reliefs using sand and clay, watched TV alone. In my loneliness, as the matter of fact, I realized that I created an imaginary friend in order to company me within my days. The name of my imaginary friend is Batuk. I realized I gave it name to him and I don’t even know how I got it name. It just came to my mind, I gave it to him then he smile to me. Moreover, I simply realized that Batuk wasn’t real; he didn’t exist even though his appearance was so real, so obvious for me. It was just my imagination but I enjoyed when I had a play with him. In addition, I also created some imaginary friends soon after I created Batuk.

I don’t know why I added more imaginary friends. Maybe it caused by feeling that I really enjoy play with someone who never insults me, and always knows what I want. They used to company and entertain me anytime and anywhere I want. They kept me away for being lonely. I used to play something while imagine Batuk sitting next to me, even so, the other imaginary friends also play surrounding me and batuk. Actually, it was just my imagination and I was a loner who always lonely and did something alone. I forget how many imaginary friends I had created besides Batuk.

Thus, in my earlier social pattern age, I had a thought: If I involved in a group, I always tended to dominate it, but if I can’t dominate, it’d be better if I out of that group than become a follower within. The imaginary friend’s episode was emerged in my earlier life (when I was three years old).

My imaginary friends include batuk were gradually disappeared from my consciousness when I entered kindergarten. It is easy why they were gone; because I had new friends in my kindergarten. I felt joyful when I played with my kindergarten friend; hence, my willingness for having an ideal sociality through my imagination has completely gone.

For me, it’s easy to get superiority legitimation in school such as kindergarten and elementary school: get higher academic scores and be the top three pupils’/students’ rank. If I get those prestigious ranks, other students will give me a hood, and admit me as the clever student (this is my superiority complex pattern when I was in kindergarten and earlier time at elementary school). From those superiority complex experiences, I became more confident to join in any peer group and my big family.

I lately become aware that the profound character of mine tends to be dominance and won’t to be inferior.