Showing posts with label konsumen. Show all posts
Showing posts with label konsumen. Show all posts

Tuesday, November 16, 2010

Existence Precedes Essence; A transformation from paper news to e-paper news review



It is been long time newspaper to be an information and news provider consumed by society; Newspaper has been being popular among society. We can buy newspaper easily in shop, store, or other place. In fact, there are many newspaper publishers such as Kompas, JawaPos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Tempo, Time, The Jakarta Post, etc. It could be a sign that our societies need much information and those publishers provide a various number of news. But, the latest phenomena, the popularity of the internet rises dramatically. We have already known that the internet also provides information and news. In the other word, I believe the rising popularity of the internet will take over newspaper popularity in not too distant future. I support my statement with these reasons: news substance orientation and mobility.

First of all, It is often claimed when we read some news, all of we need is its substance –information, knowledge, announcement, etc. News media whether paper or e-paper (one of news formats in internet) is just an equipment to deliver the news. With the rising popularity of the internet, I believe people prefer choose e-paper to newspaper.

Secondly, nowadays, the mobile of the device is under consideration. It is common that e-paper easily accessed. We can access it from mobile phone, i-pod, laptop, i-pad, etc. Otherwise, newspaper is less mobile than e-paper. For example, when I go riding public transportation such as train, I prefer access The Jakarta Post using my mobile phone because it has small size, but I can enjoy the news as well as read it in news paper format which has large enough size. Thus, a mobile thing must be useful.

In summary, internet era which is full of mobility is inevetably. Soon, Information and news through internet will take over newspaper edition/format because people realize that all they need is the essence -news and information- in whatever its format –whether paper or digital format.

Wednesday, April 28, 2010

BELAJAR MENGEJA LIBIDONOMI



..The sheen of silk. Draped across a mannequin..Oh, the smell of new Italian leather shoes.. Oh.. The rush you feel when you swipe your card.. And it’s approved, and it all belongs to you! The joy you feel when you’ve bought something, and it’s just you when you and the shopping. All you have to do is hand over a little card. ISN’T THAT THE BEST FEELING IN THE WORLD? Don’t you wanna shout it from the mountaintops? And you feel so confident.. alive.. And happy.. And warm..”


-Rebbecca, in Confession of shopaholic the movie-


Sistem ekonomi yang menjadikan eksplorasi libido sebagai komoditas utama untuk mendatangkan keuntungan/profit/income biasa disebut Libidonomi (Libidonomics).
Untuk menjelaskan libidonomi, kata kuncinya ada dua, yang pertama ‘ilbido’ dan yang kedua ‘ekonomi’. Pembahasan mengenai libido, banyak kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran Psikoanalisis Freudian. Sedangkan pembahasan sistem ekonomi lebih umum membicarakan kegiatan produksi,distribusi dan konsumsi.

Libido, Dan Penjungkirbalikan Superego
Tampaknya nalar ekonomi kapitalis sangat mahfum dalam memperlakukan komoditas yang tak habis-habisnya dieksplorasi; libido. Sedikit saja pendekatan Psikoanalisa; Libido adalah nama lain dari id. Hal ini adalah pangkal dari segala keinginan manusia. Tindakan manusia bermula dari libido yang loloske ranah praksis oleh keputusan ego yang sudah mendapat persetujuan superego. Pun dalam mempersepsikan kebutuhan. Hal ini tidak bisa lepas dari konsensus struktur id-ego-superego untuk memenuhi keinginannya, karenanya, kebutuhan bisa juga diartikulasikan sebagai hasrat libidinal (keinginan) yang disetujui ego dan superego untuk segera dipenuhi. Jadi, dalam tiap tindakan manusia, selalu ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ini adalah suatu peluang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan lain, menarik sekali menyimak pendapat Tung Desem Waringin (TDW), bahwa libido, tidak pernah berkata ‘tidak’ terhadap segala stimulus yang datang. Sifatnya liar, pemburu kenikmatan, hanya bisa berkata ‘ya’, dan selalu ingin dipenuhi dorongannya. Di sisi lain, hanya superego yang dapat mengatakan ‘tidak’ sehingga gejolak libidinal terlarang (karena ditolak superego) itu ditekan ego ke alam nirsadar yang entah selamanya disana, atau sewaktu-waktu dapat diakses kembali oleh ego.
Dari penjelasan diatas dapat juga diartikan, agar dorongan libido lebih leluasa mendapatkan akses pemenuhan, maka informasi-informasi oposisional yang mengkonstruk superego harus disesuaikan dengan kepentingan interpelatif ideologi (tergantung siapa/apa Subjeknya. Dalam hal ini Subjeknya adalah kapitalisme). Nah, dari titik inilah dapat mengintip proyek besar kapitalisme dalam membebaskan libido dengan cara menjungkirbalikkan superego yang semula menjadi cambuk bagi id, berbalik menjadi permisif/sekutu id.
Bagaimana caranya agar proyak besar ini bekerja? Dengan menguasai pos-pos strategis kebudayaan dan mengisinya dengan values budaya konsumtif: (1)Penguasaan terhadap pop culture. (2)penguasaan terhadap media massa. (3)perluasan pusat-pusat konsumtivisme, ditambah (4)kegilaan marketing yang siap memenuhi ruang hidup individu-individu kapanpun dan dimanapun. Jika ruang hidup telah dikuasai, disadari atau tidak, perlahan-lahan values yang dibawa budaya konsumtif menginfiltrasi values lain yang mengkonstruk superego. values yang tidak linier atau bahkan bertentangan dengan budaya konsumtif di-eliminir. Mudahnya, nilai-nilai budaya terdahulu yang mengkonstruk superego digantikan nilai-nilai budaya terkini; budaya konsumtif.
Jika konstruk nilai superego telah sesuai, atau relatif sesuai dengan kepentingan kapitalisme (budaya konsumtif), disitulah tanda keberhasilan kapitalisme menjungkirbalikkan superego konvensional (superego-kantian, kata Zizek).
Di saat konstruksi superego yang didominasi value budaya konsumtif, saat itulah konsensus id-ego-superego akan lebih mudah meloloskan dorongan libidinal sebagai kebutuhan. Sedangkan, di waktu yang sama, diluar, kapitalisme telah menunggu dengan menyediakan berbagai brand dan varian produk bagi dorongan tersebut. Semua produk seakan-akan bisa memuaskan dorongan libidinal. Semua itu “berpenampilan sexy” agar cepat direngkuh konsumen. Tetapi sebelumnya, semua itu butuh transaksi ekonomi.
Jika superego telah merestui kegilaan libidinal id, maka ego tinggal mengeksekusinya:Saatnya terjun dalam arena konsumsi!

Perangkap Jouissance!
Struktur kepribadian seperti inilah yang jadi lovely victim kapitalis; individu-individu bekerja keras mencari dan mengumpulkan uang untuk kemudian melampiaskan hasratnya dalam arena konsumsi. subjek-subjek semakin tenggelam dalam budaya konsumtif, dan kapitalis semakin menikmati added values-nya.
Karakteristik libidinal dapat dipahami ketika dorongan itu terproyeksi pada suatu objek. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, dorongan libidinal tidak pernah melekat tetap pada satu objek. Dia selalu berpendar-pendar pada berbagai macam objek dan juga terus menerus menuntut untuk dipenuhi. Ketika telah mendapatkan satu objek, kemudian muncul dorongan untuk mengkonsumsi objek lain.
Ini disebut jouissance. Memiliki, tetapi bersamaan dengan itu kehilangan. Isi, tetapi kosong.
Individu berusaha memenuhi suatu dorongan. ketika terpenuhi, dorongan terhadap objek itu hilang dan berganti dengan objek lain, yang belum terpenuhi. Begitu objek lain terpenuhi, di waktu yang sama, dorongan telah berpindah ke objek yang lainnya lagi. Jouissance, suatu keadaan yang seakan-akan telah mengkonsumsi untuk memuaskan dorongan kesenangan, tetapi sesungguhnya kehilangan karena objek dorongan telah berganti. Tidak ada kepuasan disini -kalaupun ada, hanya sedikit. Dan untuk menutupi perasan kecewa karena tidak puas (juga tidak senang), individu berusaha lagi dan lagi menuruti keliaran libido, namun lagi-lagi terperangkap jouissance. Seperti sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu untuk berlari mengejar fatamorgana-fatamorgana dan kemudian mendapati kekosongan. Berlari lagi, lagi dan...

Bersamaan dengan itu, sirkulasi uang masuk ke rekening pemilik mesin produksi massal dan stake holder yang terkait semakin cepat membesar, dan semakin cepat terurai lagi dalam aktivitas arena konsumsi.

Thursday, March 25, 2010

Motivator & Humanity




















Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso?

Siapa tidak kenal John C. Maxwell?


Mereka adalah beberapa dari tokoh – tokoh motivasi papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka (antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, memandang gap yang ada pada relita dan system untuk kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia (SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata – kata seperti ”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”berhasil..”, ”Semangat..” dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi. Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari berbagai soft dan hard skill. Tak ayal pada konteks kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil karya atau bahkan orangnya.


Jika memperhatikan momentum zaman, motivator memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan dan pengembangan (training and development); Sang motivator (trainer)[1] hadir di ruangan dengan bersenjatakan laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada trainee[2] melalui layar yang ditembakkan dari sinar LCD (Liquid Crystal Display). Tentu saja yang utama disamping perangkat tersebut adalah cara dan style penyampaian dari sang trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity. Ada yang menyebutnya Outbond[3]. Tujuan dari berbagai metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee dengan benar agar dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ’kira – kira’ menjadikan manusia ’seutuhnya’ manusia.


Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di jaman modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan, menguak potensi SDMnya dan diaktualisasikan dengan optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan ’suplemen’ yang dipercaya mampu memompa semangat serta kebugaran otot – otot altet agar tampil dalam kondisi maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal.


Dengan didukung manajemen strategis perusahaan, rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan pada grafik produksi dan pemasaran.


Industrialisasi-konsumerisme-motivator.

Modernitas dengan industrialisasinya telah melahirkan konsumerisme[4]. Berbagai perusahaan, dengan menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau brand.[5] Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal conditioning[6] jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas, budaya, dan primordialisme yang berbeda - beda. Dari sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.


Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya dalam hasil – hasil produksi perusahaan (karena memang itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-penawaran, Gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi. Menggenjot produksi berarti menyusun strategi agar volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg dalam kisaran tersebut maka dibutuhkan strategi kerja yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan. Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka tugas motivator (dan kebijakan direksi melalui HRD) adalah memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran motivator menjadi vital.


Dehumanisasi?

Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks industri telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan. Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi mendapatkan job dari perusahaan.


Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli program pelatihan dan pengembangan dengan harga murah, sementara para motivator (dengan lembaga pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka kondisi ini potensial memunculkan dilema; mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain, pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan ’nilai dan guna’.


Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target perusahaan. Sedikit mengingat cita –cita luhur humanis yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya, sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu menjurus pada dikategori dehumanisasi.


Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh pada prinsip – prinsip kemanusiaan?


Atau disandarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati?

Prinsip kemanusiaan yang ’disunat’?



hariez_zona@yahoo.com
pernah di post di "komunitasembunpagi.blogspot.com"

[1] Kata ”Motivator” digunakan untuk menyebut profesi, sedangkan ”trainer” digunakan manakala motivator sedang memberikan pelatihan.

[2] Istilah yang digunakan untuk Peserta pelatihan.

[3] Metode pelatihan dengan menggunakan alam sebagai sarana kelas.

[4] Gaya hidup yang memandang barang – baran (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan.

[5] Merek produk dan gunanya sesuai kebutuhan

[6] Sublimal Conditioning: Pengkondisian kognitif yang berlangsung dalam alam prasadar (setingkat di bawah kesadaran) personal.

Saturday, April 12, 2008

KAI VS ADAM AIR




Tulisan ini diilhami dari peristiwa yang ada disekitar penulis mengenai sarana trasportasi umum. Peristiwa ini membuat para pengguna jasa transpotrasi menjadi emosional, termasuk penulis sebagai pengguna jasa. Tetapi penulis akan mencoba menceritakan dengan seobjektif mungkin dengan bahasa penulis.

Baru2 ini khalayak dibuat melek dengan keputusan departemen perhubungan yang mencabut izin beroperasi salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi penerbangan. Yup, teman – teman sekalian pasti langsung mbatin ”Adam Air...!!”. Dari berbagai temuan, membuktikan kalau Adam Air (AA) tidak dapat memenuhi SOP yang telah ditetapkan departemen perhubungan. Kondisi pesawat yang entah bagaimana, skill pegawai (divisi pilot, pramugari, pemasaran) yang dipersoalkan investor, fungsi pengembangan yang tidak berjalan dengan baik, dll, dsb, dst...

Gosip2nya, awal 2007 kemarin (waktu salah satu pesawat AA hilang di perairan Sulawesi dan sampai sekarang tidak satupun jasad penumpang ditemukan), kalau nggak salah AA hampir mengalami kebangkrutan, tetapi mendapat suntikan dana dari investor ( saya lupa nama group investor tersebut) sehingga dapat beroperasi kembali. Setahun lebih berselang, peristiwa2 minor yang diberitakan media mengenai AA memahamkan publik perihal apa2 yang terjadi dalam ”tubuh” perusahaan tersebut.

Walaupun begitu, penerbangan ekonomis beresiko ala AA tetap ”terpaksa” digemari masyarakat konsumen yang ingin menempuh perjalanan udara dengan dana mepet. Dalam kancah kompetisi perusahaan penerbangan, tentu saja hal ini menjadi varian dengan segmentasi pasar yang tidak sedikit. Mungkin ada juga motif peruntungan dari konsumen, sehingga, ketika memutuskan naik AA tentu benar2 sadar resikonya dan kemudian terucap lirih doa ”ya Tuhan, semoga penerbangan ini lancar dan selamat sampai di tujuan tanpa kurang suatu apapun..amin..”

Di jaman perang modal sekarang ini memang diperlukan berbagai regulasi agar para kapitalis dapat tampil cantik dihadapan konsumen ,tentu saja, agar konsumen pun puas dalam mengkonsumsi produk barang maupun jasa. Termasuk perusahaan jasa penerbangan. Jadi, tepat kiranya jika pemerintah menjatuhkan sangsi pencabutan izin beroperasi perusahaan yang tidak dapat merias diri, atau bahkan membahayakan jiwa pengguna jasanya.

Sebagai rakyat jelata saya hanya bisa mendoakan dengan lirih ”Semoga engkau dilahirkan kembali dan dapat menjadi lebih humanis”.

Nah, itu tadi khan perusahaan swasta, tetapi apa jadinya jika perusahaan milik pemerintah (yang hanya satu – satunya, main monopoli, dan berwajah tidak ramah pada masyrakat konsumennya) beroperasi? Tak lain tak bukan, maksud saya adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api atau sakarang lebih dikenal dengan nama PT KAI (Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia).

Seperti kita ketahui, PT KAI beroperasi untuk memberikan pelayanan jasa transportasi publik dengan mesin angkutannya yang disebut kereta api. Angkutan publik ini laris manis bak pulsa HP antara lain karena harga tiketnya terjangkau dan efisiensi waktu dibandingkan berbagai jasa angkutan Bus atau transportasi darat tainnya. Tetapi, meski begitu, sebagai satu - satunya perusahaan jasa angkutan di bawah pemerintah, ternyata tidak dapat diartikan bahwa angkutan ini ”sempurna” dalam arti aman, nyaman, tepat waktu, terjangkau dan berorientasi pada kepuasan konsumen.

Penulis termasuk pengguna jasa angkutan ini untuk transportasi dari Semarang-Cepu Cepu-Semarang. Selama itu pula penulis biasa menggunakan kereta api kelas ekonomi Feeder dan KRD Express. Kereta kelas Ekonomi memang harganya jauh lebih murah sekitar sepuluh kali lipat dari tiket kereta kelas eksekutif. Hal ini dikarenakan penentuan tarif untuk kelas ekonomi ditentukan oleh pemerintah bersama DPR, dengan pertimbangan bahwa kereta api merupakan moda transportasi nasional yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat kelas bawah dengan harga tiket yang terjangkau. Sementara harga tiket untuk kelas eksekutif dan bisnis ditentukan oleh pihak kereta api, sehingga harganya bisa mencapai tiga atau empat kali lipat dari harga tiket kelas ekonomi.

Nah, selain harga yang murah, tentunya gerbong angkutan pun mempunyai spesifikasi fasilitas minimal sebagai penopang kenyamanan penumpang. Setahu penulis, dapat kita tilik dalam pasal 10 SK. MenHub no.8 tahun 2001. Disebutkan bahwa untuk kereta api ekonomi antar kota minimal dilengkapi dengan kipas angin, toilet, lampu penerangan, air sesuai dengan kebutuhan minimal perorang, fasilitas pemadam kebakaran, rak bagasi dan restorasi.

Tetapi peraturan tinggal peraturan. Pada kenyataannya dalam kereta Ekonomi, penulis menjumpai pintu kereta yang tidak berfungsi, kipas angin dan lampu tidak menyala walaupun hari sudah gelap, toilet yang rusak dan tidak ada airnya hingga penumpang tidak dapat buang hajat, jendela yang rusak karena kacanya pecah atau retak hingga penumpang kepanasan atau bahkan kehujanan. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelayanan pegawai PT KAI yang tidak ramah dan sama sekali tidak empatik.

Pengalaman penulis, suatu ketika pernah menumpang kereta feeder dari semarang-cepu yang penuh sesak bahkan banyak penumpang berdiri bahkan naik ke tas gerbong kereta. Dalam kondisi seperti itu tentunya kenyamanan penumpang sangat tidak terasa. Udara gerbong yang sesak, penat, lembab dan kotor di tambah bau toilet yang tidak keruan berpadu dengan kebisingan penumpang sedikit banyak melecut emosi penumpang kereta. Ini terlihat dari banyaknya umpatan yang terucap dari bibir penumpang. Pelayanan yang paling tidak ramah dan tidak empatik menurut penulis manakala kondektur memeriksa karcis penumpang. Beberapa penumpang mengeluh pada kondektur dengan kata kata yang emosional seperti “pak aku wis arep mati kepanasan koq keretane nembe mangkat tho?”, ada juga “Pak koq keretanya terlambat sih?” dan berbagai macam keluhan. Anehnya, kondektur tersebut stay cool seperti es batu, tersenyum pun tidak, apalagi menjawab. Dia dan hanya berkata “karcis…karcis…”. Mungkin dalam hati dia berujar “Sudah bagus dikasih harga murah, masih saja rewel..”. Pun dalam hati, saya berkata “ini tidak berbeda dengan di adam air kali yach ?”.

Tentu saja alasan tiket murah dan berakibat pelayanan “seadanya” pada kereta kelas ekonomi seperti di atas tidak dapat dijadikan alasan yang kuat. Kenyataan lain yang sering dijumpai adalah matinya AC pendingin pada kereta eksekutif sehingga penumpang kepanasan. Menu makanan yang tidak mencerminkan harga tiket, bahkan harga tiket restorasi yang sama dengan tiket kursi normal. Instalasi rel kereta api juga banyak bermasalah karena lapuk dimakan usia, dicuri warga sekitar rel, tanah labil dan lain sebagainya

Ini fakta, tanpa penelitian yang mendalam dapat kita simpulkan bahwasannya manajemen perkereta api-an di Indonesia dikelola secara monopolistik dan tradisional.

Tetapi kenapa Dengan segala ketidak humanisan tersebut pemerintah tidak mencabut izin beroperasi PT KAI, jika di lain pihak tidak serius mengembangkannya?

* Abdul Haris Fitrianto