Thursday, March 25, 2010

Hiperrealita Hajjah (sebuah tinjauan psikologi)




Membuka – buka dan membaca lagi, apa yang tertuang di buku harian memang menyenangkan, lucu, getir, ataupun kagum dengan kenaifan diri kita sendiri. Tulisan dibawah ini sempat penulis sarikan di buku harian beberapa waktu lalu. Nah, karena stres dan shok disebabkan dosbing yang tidak bisa membimbing selama seminggu (2-8Feb) sementara deadline untuk wisuda april semakin dekat, maka untuk melepaskan stressor ini penulis menyublimasikannya dengan menulis artikel.

Ini cerita manakala penulis berinteraksi dengan keluarga seorang hajjah. Terdiri dari hajjah itu sendiri dan seorang anak tiri (Bunga:nama samaran) perempuan berusia dua puluh tahun. Cerita ini ada karena awalnya penulis sebelumnya bermaksud melakukan pendekatan (ta’arruf??) dengan putri tirinya itu. Tetapi cerita yang terjadi sungguh menarik. Disini penulis ingin mengupas fenomena seorang hajjah yang penulis ragukan status hajjah dan kemabrurannya.


:>
Seperti halnya kerja persona yang tampak selaras dan menyenangkan dengan kondisi sosial, pertama penulis diterima dengan sangat ramah oleh sang hajjah (selanjutnya penulis gunakan nama: Bunda). Terjadilah tanya-jawab dan interaksi yang membuat penulis dekat tidak hanya dengan Bunga, tetapi juga dengan Bunda. Seiring berjalannya waktu, penulis merasa ada yang agak berbeda dengan Bunda, setelah penulis perhatikan, penulis jarang menjumpai buku – buku, pun yang berbau agama. Hanya sedikit. Perbincangan penulis dengan Bunda pun tidak pernah menyentuh relung – relung agama secara mendalam, entah itu mengenai syariat, tarbiyah, sejarah islam, atau semacamnya. Mentok – mentoknya ya berulang – ulang cerita mengenai pengalamannya ke tanah suci Mekkah dan dampak sosial setelah Bunda melaksanakan ibadah haji (suasana di sekitar ka’bah dan hajar aswat, pulang membawa banyak oleh - oleh dibagi – bagi untuk sekampung, kepuasan setelah ibadah haji, dll), menjalankan ibadah rukun islam, sehingga penulis mempunyai hipotesis banyak keyakinan agamanya didasarkan pada harapan dan ketakutan akan: pahala-dosa serta surga-neraka. Menurut penulis, ini semacam pandangan agama yang tradisional-konservatif, tidak mendalam, dan cenderung mistik.

Dari keraguan itu, penulis tertarik untuk menyelidiki dan mengupas kualitas hajjah serta kemabrurannya. Untuk itu penulis mencari informasi dari beberapa tetangga Bunda. Penulis bertanya ikhwal kehajjahan Bunda pada teman penulis yang juga tetangganya, katakanlah namanya Kris. Ternyata, Kris pun sempat mempertanyakan status kehajjahan tetangganya itu. Dahulu sebelum Bunda berangkat ibadah haji, Kris mengenalnya sebagai wanita yang mandiri, tidak menikah, cenderung tertutup dan jarang bersosialisasi dengan tetangga, tidak mau disalahkan, dan berkeprbadian paradoks bipolar (kadang – kadang sangat baik, tetapi bersamaan dengan itu, bisa juga berubah sebaliknya). Intinya, Bunda baik jika seseorang, sesuatu atau suasana tertentu sesuai dengan kehendaknya. Kris pernah menanyakan juga ikhwal kehajjahan tersebut pada ayahnya (ketua RT di lingkungan situ), dan ayahnya menjawab berikut (mengikuti gaya penuturan Kris) “yo ngono kuwi…..” suatu jawaban mengambang yang penulis tafsirkan cenderung negatif. Masih informasi dari Kris, ia seakan - akan tidak percaya jika tetangganya itu hendak menunaikan ibadah haji. Ada suatu harapan dalam hati Kris, semoga sepulang dari tanah suci ada perbedaan dalam diri Bunda. Tetapi tampaknya harapan Kris itu tinggal harapan karena tidak ada perubahan yang signifikan dari Bunda.

Orang kedua yang penulis ambil informasinya adalah Bunga, anak tiri Bunda. Bunga -yang kuliah di sebuat STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) jurusan Tarbiyah di sebuah kota sepanjang pantura- menyebutkan, adalah fakta bahwa ibunya hajjah karena telah melaksanakan ibadah ke tanah suci Mekkah. Tetapi sebagai hajjah, tasawuf iBu tirinya tersebut tidak lebih baik dari orang – orang yang belum pernah ibadah haji.

Berawal dari keragu-raguan tersebut, penulis semakin menarik untuk mengupas fenomena ini. Informasi yang lebih mendalam penulis dapatkan dari Bunga, anak tirinya. Bunga berpendapat bahwa iBundanya lebih dan sangat mementingkan status sosialnya daripada substansi hajjah, bahkan lebih penting daripada anak tirinya sekalipun. Penulis akan mengupas hal ini lebih banyak dibawah.

Sejarah menempatkan seseorang dengan status haji/hajjah pada posisi yang dihormati, ini aksioma, dan ini yang terjadi pada umat islam dalam konteks budaya masyarakat jawa. Sebuah perpaduan yang indah sejak sejarah walisongo, dimana citra haji/hajjah begitu dihormati sebagai seorang yang taat dan kuat secara agama, bijaksana, islamnya sempurna, memberikan energi positif pada lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Begitu kuat citra yang melekat pada status haji/hajjah sehingga penunaian ibadah haji dari indonesia dari tahun ke tahun selalu ramai.

Dalam konteks Bunda, penulis menggunakan pendekatan deduktif dengan premis bahwa; disadari atau tidak, diakui atau tidak, langkah Bunda menunaikan ibadah haji lebih berat pada usaha untuk medongkrak status sosialnya daripada sebagai ibadah untuk menyempurnakan keislamannya. Bunda adalah wanita yang tidak menikah, tinggal sendirian, dalam gelombang budaya yang mementingkan citra – citra, tentu sebuah problematika dengan beban yang tidak ringan. Belum lagi persepsi masyarakat mengenai masalalu Bunda yang kelam dan sejumlah priblematika lainnya, tentu saja hal ini menekan eksistensi dan memperburuk citranya.

Sebagai seorang muslimin (minimal KTPnya tertulis islam), sebatang kara, dan mulai berumur, tentunya tidak ada sandaran hati, dan tempat mengadu selain kepada Allah SWT. Nah, dalam ketidakberdayaannya ini Bunda menunaikan ibadah haji. Haji, idealnya memang untuk menyempurnakan rukun sebagai muslim dan muslimin. Tetapi tentu saja tidak bisa dipukul rata bahwa semua haji/hajjah mempunyai motivasi yang sama semacam itu. Banyak motivasi lainnya. Dalam konteks Bunda, kepergiannya ke tanah suci adalah untuk mengadukan ketidakberdayaan eksistensinya pada apa yang ia pahami sebagai Allah SWT melalui simbol – simbol Ka’bah, Hajar Aswat, wukuf, lempar jumrah dll.

Sebuah ritual pemujaan terhadap simbol – simbol “petanda” agama bisa juga melupakan”penanda”nya, atau biasa disebut fetishisme agama (Religion fethisism). Kepuasan pengidap fetishisme agama ini akan terasa setelah dia berhasil memuja bahkan memiliki simbol – simbol agama. Dalam konteks Bunda, sepulang dari tanah suci dan menyandang gelar hajjah, hilanglah suatu perasaan inferior dan siap menyandang status baru dalam masyarakat (tentunya lebih terhormat:hajjah). Suatu eksistensi dengan superioritas simbol budaya+keagamaan yang mampu mengubah struktur disekitarnya.

Demikian, status hajjah menjadi ideologi bagi Bunda. Ideologi ini pula yang menjadi modal sosial untuk mendongkrak keberadaannya. Berbagai usaha dilakukan Bunda asalkan selaras dengan citranya sebagai hajjah, dan berbagai upaya yang akan merusak nama baik Bunda sebagai hajjah akan dimurkainya. Dari pengalaman penulis berinteraksi dengan Bunda, dari banyak statemen yang dikemukakannya, terasa sekali penekanannya sebagai seorang hajjah. Selalu ada frase “…Saya ini kan hajjah, mas…”.dan seterusnya dan seterusnya…….. Juga penekanan kesenangan manakala ada kolega dan tetangga yang datang bertamu dengan mengucapkan “..nikmatnya…nikmatnya….” sebuah luapan kesenangan dari seorang yang hidup sendirian dan ingin keberadaannya diakui. Atau mungkin juga ketakterhubungan bunda secara sexual terbayarkan dengan persetubuhan antara sublimasi dan keinginan untuk mengAda dalam bingkai citra hajjah.

Dalam kehidupan keluarga, berdua dengan Bunga, putri tirinya, otoritas Bunda terasa begitu kuat dan berlebihan. Misalnya, beliau malu kalau Bunga dekat dengan laki – laki tanpa ada hubungan yang jelas karena ini akan merugikan nama baiknya. Bertolak dari itu pula, Bunga yang -secara personal- sebelumnya tidak pernah dekat (kurang bergaul/berinteraksi) dengan laki – laki namun kemudian berpacaran dengan kumbang mendapat perhatian kelewat serius dari Bunda. Kumbang seorang laki – laki yang sudah cukup umur, sarjana, sudah bekerja, dan beriman. Mungkin kumbang adalah karakter dengan modal yang disukai Bunda untuk mendampingi Bunga. Karena itu, daripada persepsi masyarakat menjadi negatif, dengan segera (untuk tidak mengatakan terburu – buru dan gegabah) kumbang dan keluarganya diminta Bunda untuk melamar Bunga. Bunga yang sebenarnya tidak menginginkan perjodohannya secepat itu -karena dia baru setahun tahun kuliah dan masih terlalu muda- tak kuasa menolak karena otoritas ibunya yang terlalu kuat. Maka, Bunga pun menerima lamaran itu.

Contoh lain, obsesi superioritas Bunda tampak pada keptidakpercayaan pada anak tirinya dengan menekan Bunga untuk kuliah di Batang saja. Itupun dengan mengambil jurusan yang dikehendaki Bunda:Tarbiyah. Sebuah jurusan yang tidak diminati Bunga, namun dipaksakan (kata Bunga:daripada tidak kuliah) karena ini akan memperkuat cintranya sebagai keluarga hajjah. Pola asuh yang otoriter ini tampak pada pembatasan kebebasan Bunga untuk bersosialisasi, pembatasan Bunga untuk berinteraksi dengan laki – laki yang bukan muhrimnya, pembatasan Bunga untuk menilai dan mengambil keputusan tentang seseorang, sesuatu dan suasana tertentu, serta banyak pembatasan lainnya.

Pembatasan – pembatasan ini tentu saja tidak menguntungkan perkembangan Bunga. Dalam ketidak berdayaannya diasuh ibu tiri, Bunga tumbuh menjadi anak yang penurut (atau terpaksa menuruti?), lemah dalam logika, sulit untuk berpikir panjang dan berpikir serius, susah mengendalikan emosi (gampang marah dan cengeng), bahkan ada simptom distress pada Bunga yang mengarah pada tindakan bunuh diri bila mendapat tekanan luar biasa. Beberapa kalimat yang sempat Bunga ucapkan sangat mengarah pada suatu keadaan depresif, tidak berdaya, dan agresif pada diri sendiri. Berikut adalah beberapa diantaranya “..Biarin! mungkin ini sms terakhirku.. jika setelah ini aku tidak sms lagi berarti aku sudah mati ketabrak [truk] tronton..”. Kalimat lainnya “..enak sekali punya oranag tua kandung..” dan, “..memang ada Bunda..tetapi rasanya pasti beda..enak sekali punya orang tua kandung” juga kalimat ini “Ibu kalau muncul egoisnya, tidak memperhatikan aku..padahal aku masih sakit, tetapi disuruh mengantarnya ke pasar..”. Dari beberapa kalimat di atas, ada kecenderungan Bunga untuk memberontak (agresif eksternal), tetapi adanya rasa ketidakberdayaan menyebabkan Bunga lebih banyak nrimo dan mengarahkan agresi pada diri sendiri (agresi internal) seperti kecenderungan bunuh diri itu. Hal ini diperparah dengan sikap dua kakak kandung Bunga yang tidak mempedulikannya (Bunga punya dua kakak, semuanya sudah berkeluarga, salah satu ada di sebuah kabupaten di jawa tengah bagian pantura dan satunya lagi ada di sebuah kota besar di sebelah barat Jawa).

Kembali ke Bunda. Sampai disini seakan muncul pola - pola dimana Bunga dijadikan alat untuk memenuhi obsesi Bunda, terlepas bagaimana pemahaman Bunda akan kondisi kejiwaan pitri tirinya tersebut. Pada saat murka, tidak jarang Bunda mengata - ngatai anak tirinya tersebut (maaf) Lonte.Itu yang paling ringan, perkataan lain yang lebih agresif pun akan keluar dari mulutnya. Silahkan pikir sendiri kata- kata apa saja yang lebih parah dari (maaf) Lonte. Sebuah teror psikis yang luar biasa traumatic bagi pertumbuhan anak perempuan sebatang kara dan tak berdaya seperti Bunga.

Kalimat yang bisa mewakili, mungkin seperti ini "Bunga sudah mati. Yang ada sekarang tinggal boneka perempuan yang harus menuruti ambisi - ambisi Ibu tirinya."
Kasihan juga Bunga, Ahh... Bunga...

hariez_zona@yahoo.com
pernah di post di komunitasembunpagi.blogspot.com

Masyarakat Phlegmatic (Phlegmatisasi)





Tipologi Kepribadian Hippocrates

Konon, dalam studi kepribadian klasik tercatat, Hippocrates(1) menggolongkan kepribadian manusia ke dalam empat kepribadian saja, yaitu Melankolic (sempurna), Phlegmatic (tenang/damai), Sanguinic (populer)dan Korelic (kuat). Masing – masing kepribadian memiliki ciri khasnya masing – masing. 

Melankolic
, Karena dia seorang yang cenderung ”sempurna” maka biasanya dia dikenal sebagai seorang idealis, kurang suka berkompromi, kadang cenderung introvert, Suka segala sesuatu berjalan rapih, teratur, karena itu kadang – kadang terlihat agak kaku. Mempunyai impian yang besar/tinggi. Dalam tingkat kecerdasan yang sama dengan tipe kepribadian lain, sosok melankolis cenderung lebih terlihat unggul karena kecenderungannya akan sesuatu hal yang ideal.

Phlegmatic, Orang dengan kecenderungan ini, perilaku aktualnya adalah tenang, mengalir, menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan konon damai adalah tujuan tertinggi tipe kepribadian ini.

Sanguinic, Orang dengan kecenderungan sanguinis ini mempunyai perilaku yang menarik di mata orang lain. Tipe kepribadian ini memperlihatkan pribadi yang disukai banyak orang: ceria, riang, suka berinteraksi dengan orang lain, menghidupkan suasana, bersemangat, suka dipuji, dan ekspresif.

Korelic, adalah tipe kepribadian yang meledak – ledak, kuat, mempunyai kemauan yang keras, sulit dikendalikan, kadang terlihat otoriter, kurang suka basa – basi.



Empat tipologi kepribadian dan kombinasi - kombinasinya ini diyakini Hippocrates mampu menafsirkan pola – pola kepribadian seseorang. Misal, jika seseorang mempunyai kecenderungan kuat pada Phlegmatis, maka tiga kecenderungan yang lain tidak sekuat kecenderungan pada phlegmatis, tetapi bukan berarti tidak ada tiga kecenderungan yang lain itu.



Masyarakat Phlegmatis


Kepribadian adalah suatu bentuk kesatuan jiwa yang di bawahnya terdapat berbagai subsistem yang mengkonstuknya (misal das Es, das Ich, dan das Ueber Ich-nya Freud), Maka pola – pola/kecenderungan kepribadian yang nampak adalah produk dari suatu komposisi yang menggambarkan dinamika susbsistem kepribadian tersebut. Ini jika kepribadian ditujukan untuk menafsirkan gejala kejiwaan seseorang.

Apabila konsep ini dielaborasi dengan mengganti objek ”individu” dengan ”masyarakat” (selanjutnya tanpa tanda petik <”>), maka akan diperoleh suatu tafsiran kepribadian, yaitu kepribadian masyarakat. Kepribadian masyarakat dapat diartikan sebagai deskripsi kejiwaan masyarakat yang pola – polanya terkonstruk oleh dinamika subsistem kepribadian dengan komposisi tertentu yang menunjukkan ciri khas masyarakat tersebut.

Masyarakat Phlegmatis dapat diartikan sebagai gambaran dari suatu masyarakat dengan karakter tenang, mengalir, memilih menghindari/mengakhiri konflik, menghindari suasana yang membuat tidak nyaman, mendamaikan sesuatu yang berseteru, dan cinta damai/aman. Namun, karakter ini bukan penulis pakai untuk menggambarkan kepribadian masyarakat yang terkonstruk sedemikian rupa hingga berkarakter phlegmatis. Tetapi penulis mencoba mengambarkan proses phlegmatisasi masyarakat sebagai suatu proses yang membentuk, bahkan (disadari atau tidak) memaksa masyarakat sehingga tampak phlegmatis. Berikut adalah beberapa hal yang penulis curigai mempuyai peran besar dalam membentuk phlegmatisasi masyarakat



Konsep masyarakat positif

Konsep masyarakat positif ini merujuk pada pemikiran Auguste Comte(2). Ciri masyarakat positif adalah mereka telah mengganti gaya berpikir spekulatif dengan gaya berpikir rasional empiris. Logika ini didesakkan pada seluruh sendi kehidupan dengan semana – mena. Konsep ini akan menghasilkan pengetahuan yang instrumentalis. Masyarakat/individu dibekali dengan metode sains yang memungkinkan memiliki penguasaan alam dan lingkungan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Dengan keadaan semacam ini, agama harus bersedia menyerahkan diri hegemoninya -seperti pasukan yang kalah perang- pada ilmu pengetahuan empiris. Tempat – tempat peribadatan agama yang dahulu menjadi jantung peradaban manusia, kini, pada masa masyarakat positif telah digantikan Bank, Universitas, dan Industrialisasi. Dengan konstruk semacam itu, maka segala hal yang utama adalah yang dapat diukur, dikendalikan, bahkan dimanipulasi. Hal – hal yang bersifat materiil dan pragmatis (manfaatnya dengan cepat dapat dirasakan) menjadi hal prioritas. Sedangkan hal – hal yang sifatnya spekulatif dan tidak dapat diukur (mistis, agama, bahkan, Tuhan) akhirnya terpinggirkan.

Ciri masyarakat positif berikutnya adalah kehilangan makna. Revolusi di bidang sains (iptek), perubahan sistem kenegaraan, transportasi, teknologi informasi, komunikasi, rekayasa biologis, bidang produksi, dll semakin memudahkan hidup masnusia. Seakan – akan segala kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan landasan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi berlarut – larut pada masyarakat positif, pada zaman modern ini. Segala cita – cita diwujudkan secara instrumentalis, hingga pada saatnya muncullah imagi tentang robot. Penulis mengartikan robot adalah lambang supremasi positivistik, bahwa setiap “inci” dari manusia dapat diukur dan kemudian dibuat replikanya dalam bentuk robot. Tetapi bersamaan dengan itu, robot adalah lambang kegagalan manusia dalam memanusiakan dirinya, lambang kegagalan manusia dalam usahanya mencari makna. Karena itulah sains -bagi masyarakat positif- sebagai sandaran utama telah gagal dalam memecahkan berbagai permasalahan. Gagal dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan manusia dalam krisis makna, krisis spiritual yang mendera. Dengan sains manusia dapat menciptakan apa saja sejauh itu dapat diukur, dengan sains pula manusia dapat kaya raya, berlimpah materi, tetapi bersamaan dengan itu, manusia dan masyarakat positif mengalami krisis tentang kebermaknaan, dahaga spitirual yang berlarut – larut.

Carl Gustav Jung(3), bercerita bahwa kebanyakan pasiennya adalah berasal dari masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke atas dengan usia 30 tahun – 45 tahun. Tentu saja secara pendidikan adalah terpelajar, kehidupan mereka telah mapan, bahkan konon sebagian adalah golongan masyarakat high-class. Tetapi dari pasien – pasien tersebut Jung menemukan persamaan bahwa keluhan – keluhan yang mereka bawa tidak lain tidak bukan selalu berhubungan dengan basic value, filsafat hidup, tentang kebermaknaan; atau dengan kata kata lain mereka mengalami krisis spiritual. Masyarakat positif bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut. Hal ini, antara lain disebabkan karena sumber keyakinan, makna, dan spirit hidup hanya dimiliki oleh agama dan kepercayaan; bukan sains.

Sementara sains telah ”disucikan” dari pengaruh nilai – nilai agama dan dijadikan sandaran peradaban, agama dan kepercayaan itu sendiri telah dipinggirkan, karena tidak terukur dan tidak nyata/secara langsung dapat dirasakan kebermanfatannya (tidak masuk dalam prinsip – prinsip pragmatis). Dengan demikian masyarakat positif, dengan karakternya ini, membutuhkan basic value, filsafat hidup, kebermaknaan, spiritualisme yang sifatnya pragmatis: motivasi. Akhirnya Phlegmatisasi masyarakat menemukan bentuknya dengan menghindari perasaan kurang nyaman karena krisis makna dengan solusi berupa motivasi – motivasi sebagai penambalnya. Tidak peduli dari mana motivasi tersebut, asal (paling tidak) individu – individu dalam masyarakat positif tersebut merasa damai.



Kebijakan kekuasaan

Erich Fromm4 pernah berbaik hati dengan berpesan bahwa untuk menjadi pribadi yang sehat dapat dilakukan dengan mencapai kebebasannya walau betapapun sulitnya, proses dan perjuangan mencapai kebebasan tanpa henti adalah suatu ciri pribadi yang sehat. Hal ini tampaknya telah dipahami oleh para pemangku kebijakan (Pemerintah) sehingga sebisa mungkin mereka menghindari kebijakan yang tampak otoriter. Tetapi bagaimanapun, sifat kekuasaan adalah cenderung memembuat segala sesuatunya teratur, rapi, dan sistematis (setidaknya, seperti yang diinginkan kekuasaan). Maka, ketika pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang tampaknya membebaskan, sesungguhnya kebijakan tersebut tetaplah otoriter. Perbedaannya, mungkin ada pada keluasan, kenyamanan dan kelenturan ruang yang ditawarkan kebijakan tersebut. Maka, dari sini tampak kesalahan dalam mengartikulasikan kata ”bebas” dan ”aman”.

Jika Bebas diartikan keadaan tanpa ada determinasi, maka Aman diartikan sebagai keadaan nyaman dalam determinasi. Dan pemerintah tampaknya lebih condong pada yang kedua. Jadi, artikulasi bebas menurut pemerintah tidak lain tidak bukan adalah membuat nyaman masyarakat dalam berbagai determinasi yang dibuat pemerintah itu sendiri. Dari sini, secara tidak langsung pemerintah berpesan; jadilah waga negara yang aman, karena (secara tidak langsung pula) bebas belum tentu aman, bahkan dari otoritas pemerintah itu sendiri. Berarti, dalam kebijakan semacam inilah, pemerintah menghendaki masyarakat untuk berperilaku phlegmatis.

Kemerosotan kualitas hidup

Konstruksi masyarakat phlegmatis semakin lengkap dengan adanya alienasi5. Biaya hidup semakin hari semakin mahal tanpa diikuti pendapatan yang semakin meningkat. Dalam hal ini sistem ekonomi dan kebijakan pemerintah turut memegang peran penting. Ketika dalam hal ekonomi masyarakat golongan atas semakin kaya, masyarakat golongan bawah semakin miskin, dan masyarakat golongan tengah semakin tertekan dan terpolar (ke atas/bawah).

Penakanannya disini adalah pada masyarakat dalam strata ekonomi menengah ke bawah.

Masyarakat tidak bertindak macem – macem karena mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Yang penting bisa hidup aman dan nyaman. Kualitas hidup golongan menengah ke bawah semakin merosot, orientasi pada kebutuhan – kebutuhan dasar (makan-minum, sex, istirahat, bernafas, dll) dan kebutuhan keamanan (fisik maupun psikis) telah memaksa golongan masyarakat ini untuk melakukan apa saja. Asal kebutuhan tersebut terpenuhi.

Dalam paradigma Maslow6, sekarang, setiap kebutuhan terasa semakin tinggi dan mahal untuk dijangkau. Kebutuhan merosot hingga pada kebutuhan untuk keamanan dan kebutuhan untuk bertahan hidup (kebutuhan dasar). Sedangkan kebutuhan akan cinta dan saling memiliki, kebutuhan akan esteem, bahkan aktualisasi potensi diri dipraktikkan sebagai ungkapan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keamanan.

Dengan kata lain, kebutuhan – kebutuhan dasar dan kebutuhan akan keamanan menjadi lebih tinggi dan mahal sehingga kebutuhan – kebutuhan lain menjadi subsider bagi tercapainya kebutuhan – kebutuhan ini.



Masyarakat phlegmatis, yang cederung mengalir, tenang, teduh, tidak suka cari masalah, suka damai dan mendamaikan adalah gambaran masyarakat ideal. Mungkin, ini semacam seragam yang dikehendaki penguasa dalam mengatur rakyatnya. Dan, tentu saja keadaan ini menimbulkan banyak implikasi..



Wallahu a’lam bissshowab..









1 Hippocrates (460-377 SM), pemikir yunani klasik yang juga mendapat sebutan “bapak kedokteran”

2 August Comte (1798-1857 M): Pemikir asal Perancis, dikenal sebagai “bapak pemikir Positivisme” yang kemudian berkembang sebagai pola pikir masyarakat ilmiah pada umumnya.

3 Carl Gustav Jung (1875-1961): seorang pakar Psikoanalitic dari Swiss. Konsep Jung yang terkenal dan kontroversial adalah tentang collective unconsciousness, dimana ketidaksadaran ini adalah gudangnya puncak – puncak potensi manusia.

4 Erich Fromm (1900-1980): Salah satu Tokoh neoFreudian yang juga seorang Marxis. Fromm mencoba mengawinkan pandangan Freud dan Marx tentang manusia.

5 Teori Alienasi (Karl Marx): Pemindahan hak milik kepada orang lain; Pengambilalihan hasil kerja (upah/gaji) para pekerja oleh para pemilik alat – alat produksi, sehingga gaji yang diterima pekerja tidak sesuai dengan kerja yang dilakukan.

6 Abraham Maslow (1908-1970): Pemikir Psikologi Mazhab III (Humanis). Teori hierarky kebutuhan Maslow an sich adalah upaya manusia mencapai kebutuhan – kebutuhannya dari kebutuhan yang terendah (dasar) hingga yang tertinggi. Dari yang terendah: 1)Kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan rasa aman. 3) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki-dimiliki. 4) Kebutuhan Harga diri. 5) Kebutuhan Aktualisasi diri.

Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan bahwasannya Aktualisasi diri tidak selalu berada diatas dan kebutuhan – kebutuhan lain tidak selalu berada di urutannya, tetapi kontekstual. Bahkan dalam tahun – tahu terakhirnya, Maslow memodifikasi teori ini, dimana kebutuhan tertinggi bukanlah Aktualisasi diri, tetapi diatasnya ada kebutuhan akan spiritualisme; kebutuhan akan keyakinan terhadap dunia transenden.



hariez_zona@yahoo.com

mahasiwa Psikologi

Guyonan Sapi!












Socialisme :

Kau punya dua sapi, kau berikan satu untuk tetanggamu

Komunisme :
Kau punya dua sapi, negara mengambil alih kedua – duanya dan memberimu dua kaleng susu.

Facisme :
Kau punya dua sapi, negara mengambil alih keduanya dan menjual susu kepadamu.

Nazisme :
Kau punya dua sapi, negara mengambil alih keduanya dan menembakmu.

Beureucratism :
Kau punya dua sapi, negara mengaambilnya, yang satu ditembak dan yang satu diperah susunya terus dibuang.

Surrealism :
Kau punya dua jerapah, pemerintah memintamu untuk kursus piano dan sepak bola.

An American Corporation :
Kau punya dua sapi, kau jual satu, yang satunya kau paksa untuk memproduksi susu sebanyak empat sapi. Kemudian kau sewa konsultan untuk mengidentifikasi mengapa sapimu itu mati.

The Cak Kholil Corporation :
Kau punya dua sapi, Kau cincang kedua – duanya.

A Germain Corporation :
Kau punya dua sapi, kau merekayasa mereka supaya dapat hidup lebih dari 100 tahun, makan cukup sekali sebulan, dan mereka bisa saling memerah susu sendiri.

An Italian Corporation :
Kau punya dua sapi, yang satu mili Silvio Berlusconi dan yang satunya milik Masimo Morrati. Mereka kau latih main bola agar dapat menang melawan kesebelasan gajah dari thailand.

A Chinesse Corporation :
Kau punya dua sapi, kau kerjakan 300 orang untuk memerah susunya dan menyatakan tidak ada pengangguran serta nilai produksi susu tinggi. Kau menangkap wartawan yang melaporkan kenyataannya.

Korean Corporation :

Kau punya peternakan sapi yang sangat besar, di atas proyek nuklirmu.

An Iran Corporation :
Kau punya 2000 pasang sapi, kemudian kau pakaikan cadar pada yang betina.

British Corporation :
Kau punya dua sapi, dua – duanya sapi gila.

An Iraq Corporation :
Semua orang berpikir kau punya banyak sapi, kau bilang pada mereka hanya mempunyai satu sapi. Tak ada yang percaya, mereka mengebom daerahmu dan menginvasi negaramu. Kini kau tak punya sapi satupun, tetapi setidaknya sekarang kau adalah bagian dari “demokrasi”.

An Argentine Corporation :

Kau punya lima pasang sapi, kemudian kau melatihnya tango dance.

An Indian Corporation :
Kau punya dua sapi, kau sembah mereka.

Indonesian Corporation :
Kau punya dua sapi, dua – duanya curian, lalu kau jual. Uang dari hasil penjualan tersebut kau simpan pada account non-budgeter yang tak jelas. Kemudian kaugunakan beberapa untuk membiayai partaimu. Tapi sebagian kau simpan untuk keluarga besar, anak dan cucumu.

Malaysian Corporation :

Kau punya dua sapi, dua – duanya kau curi dari Indonesia.


Hariez,
Pernah di post pada komunitasembunpagi.blogspot.com