Taoist: “Is there anything in the world more marvelous than the forces of Nature?”
Hui Hai (Zen Monastery): “There is..”
Taoist: “And what is that?”
Hui Hai: “The power of comprehending those natural forces.”
Jaman Kolobendu
Klasifikasi jaman yang pernah dituliskan Roggowarsito[1] dalam serat Joyoboyo[2], manusia akan melalui sebuah zaman yang disebut ‘zaman kolobendu’, yaitu zaman yang penuh dengan bencana, penjungkirbalikan, kerusakan dan pengrusakan serta berbagai macam kegilaan, sehingga muncul idiom “sing orang edan ora uman” (yang tidak edan tidak kebagian). Tidak heran jika Dostoevsky berpendapat, hari ini, kegilaan (edan) adalah sesuatu yang ’sexy’. Dan kita sepakati saja bahwa sekarang umat manusia sedang berada di tengah jaman kolobendu seperti prediksi Ronggowarsito. Pokoknya percaya dulu saja.
Jaman kolobendu diantaranya ditandai dengan banyaknya bencana. ’Bencana’ dalam pengertian apapun, dalam bentuk apapun. Dalam tulisan ini lebih difokuskan pada apa yang dimaksud bencana alam seperti Banjir, gunung meletus, Kekeringan, Badai, Gempa, tsunami, dan semacamnya. Tetapi, dalam kesempatan ini kita tidak akan mendiskusikan dampaknya bagi manusia dan peradabannya, melainkan membahas ontologi dari fenomena ’bencana alam’ ini.
Bahwasannya, alam ini telah terbentuk berjuta – juta tahun lamanya, bahkan konon, enam kali lebih lama sejak manusia pertama (homo sapien?) ada di bumi. Bermula dari asumsi bahwa dalam perjalanannya, alam (khususnya bumi) selalu mencari dan menuju suatu keseimbangan, asumsi ini akan penulis gunakan untuk mengupas ontologi ’bencana alam’. Misal seperti berikut ini;
v Wilayah disekitar gunung berapi berupa tanah labil nan subur adalah suatu keseimbangan karena pada saat erupsi, gunung memuntahkan berbagai material ”bergizi” bagi tumbuhan.
v Pohon – pohon di tanah yang miring sebagai penahan aliran air hujan dan media peresapan air ke dalam tanah adalah keseimbangan.
v Daerah katulistiwa lebih panas dan berbagai karakternya berbeda dengan daerah kutub adalah keseimbangan karena perbedaan intensi dan bidang penerimaan cahaya matahari.
v Ketika ada herbifora, maka ada karnifora dan omnifora serta pengurai adalah keseimbangan.
v Ketika jumlah tikus semakin banyak, penanda dari ular sebagai pemangsa alaminya mengalami penurunan jumlah adalah juga keseimbangan.
v Pun pada saat musim panas, debit air per-milimeter semakin sedikit dan pada saat musim hujan semakin banyak adalah keseimbangan.
v Ketika suhu bumi naik menyebabkan pulau – pulau es di kutub mencair berakibat pada permukaan air laut naik adalah keseimbangan.
Kembali ke ’bencana alam’. Mari kita lihat suatu fenomena yang oleh manusia disebut ’bencana alam’ dalam perspektif keseimbangan alam.
Pada Planet bumi, terdapat gravitasi. Segala keseimbangan alam akan tercipta manakala tidak bertentangan dengan gravitasinya;
v Misalnya benda yang terlempar setinggi apapun, selama masih dalam cakupan gravitasi, maka benda itu akan jatuh.
v Air mengalir, selalu mengalir menuju permukaan tanah yang lebih rendah.
v Jembatan yang tidak kuat lagi menahan beban maka akan ambrol.
v Benda yang volume dan massanya lebih besar, maka bobotnya lebih berat.
Fenomena di atas membuktikan bahwa bagaimanapun, keseimbangan alam berbanding lurus dengan gravitasi. Dalam proses pencapaian keseimbangan -entah apapun dan bagaimanapun konstelasi dan komposisi yang menyusunnya- dari awal terbentuknya bumi hingga entah sampai kapan, keseimbangan alam akan selalu menyertakan gravitasi dan tidak akan menghianatinya.
Manusia:Sang khalifah penggeser keseimbangan alam?
Dari sudut pandang evolusi, manusia adalah hewan berakal sehingga mereka mampu mengeksplorasi alam dengan akal/kecerdasannya. Hanya manusia yang berpotensi merekayasa, memodifikasi, memanage, meng-akal-i, menyulap, mengeksplorasi, hingga menggeser konstelasi keseimbangan alam. Realitanya dapat kita saksikan manakala hutan belantara diubah menjadi perkebunan, bahkan pemukiman dan kota – kota urban. Mengeruk, membelah bukit untuk lintasan jalan Tol, juga untuk mendapatkan mineral – mineral berharga. Menggunduli hutan dan gunung untuk penanaman hortikultura. Menyedot isi perut bumi untuk mendapatkan berbagai bahan bakar fosil. Dan berbagai macam eksplorasi alam lainnya.
Dari sudut pandang keseimbangan alam, hal ini jelas mengganggu keseimbangan. Hujan yang airnya dapat diserap hutan malah mengalir langsung dan membawa kompos yang menyuburkan tanah. Tebing – tebing curam akibat pengeprasan bukit sewaktu – waktu dapat longsor apabila tidak seimbang dalam menahan beban gravitasi, Penambangan yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan stabilitas bentuk/kontur permukaan tanah. Polusi akibat aktivitas manusia mengganggu stabilitas atmosfer. Menipisnya atmosfer akan mengurangi fiterisasi dari sinar matahari sehingga sinar kandungan UV semakin pekat. Semakin banyaknya CO2 di atmosfer menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi, akibatnya pulau – pulau es di kutub mencair dan permukaan air laut semakin tinggi. Rumah kaca yang memantulkan sinar matahari mengganggu sejumlah sinar matahari yang harusnya diserap bumi, juga sinr yang dipantulkan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas atmosfer.
Intinya, saya hendak menjelaskan bahwa aktivitas manusia terkait dengan alamnya disadari-tidak, sedikit-banyak, sebentar-lama kelamaan, mempengaruhi ’titik’ keseimbangan alam. Dan sebagaimana asumsi hukum alamiahnya diatas, bagaimanapun pergeseran yang terjadi, entah sebab proses alamiah atau karena tindakan manusia, alam akan selalu berusaha kembali menuju titik keseimbangannya.
Kepentingan alam vs kepentingan manusia
v Mana yang lebih penting: Kepentingan manusia atau kepentingan alam?
v Mana yang lebih mendasar: kekutan alam, atau kekuatan manusia dalam kehendaknya menguasai alam?
Jika seperti itu kategorinya, maka terdapat beberapa kemungkinan:
v Jika kepentingan manusia dan kekuatan manusia dalam kehendaknya untuk menguasai alam adalah lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, alam harus menuruti sejauh-jauh kehendak dan kepentingan manusia apapun itu, walaupun menggeser titik keseimbangan alam, sang alam harus tetap meladeni serta tetap tidak boleh mengganggu rutinitas kepentingan manusia.
v Jika kepentingan alam dan kekuatan alam lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, manusia walaupun berpotensi mengeksplorasi alam, tetap saja tidak boleh sampai overlapping dengan kepentingan alam. Dalam bahasa lain, manusia harus sadar dengan ’aturan-aturan alam’ yang tidak boleh di langgar manusia.
Dengan akal sehat yang paling dangkal pun kita dapat mencapai simpulan bahwa kepentingan alam jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada kepentingan manusia. Tetapi realitanya, seiring eksplorasi manusia terhadap alam, tampaknya kepentingan manusia telah melampaui batas kepentingan alam. Dengan dengan kata lain, manusia telah mengganggu kepentingan alam; kecenderungan alam untuk menuju keseimbangannya. Akibatnya apa jika manusia mengganggu kepentingan alam? Tak ayal lagi, akibatnya adalah kepentingan manusia tergilas, tergerus, terkena dampak dari kepentingan alam selama proses menuju keseimbangan. Inilah yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut bencana alam: dampak buruk yang dirasakan manusia akibat dari proses alam menuju keseimbangan alamiahnya:
v Air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah dan akhirnya ke laut. Jika manusia-manusia menempat-tinggali daerah yang akan dialiri air, maka manusia akan terkena dampak dari aliran air, apalagi bila debitnya jauh bertambah: biasa kita sebut bencana alam banjir.
v Pada daerah yang tanahnya labil, seharusnya manusia-manusia yang tinggal diwilayah tersebut menyadari bahwa mereka hampir bisa di pastikan terkena dampak buruk dari pergeseran atau labilnya tanah:dalam bahasa sehari kita sebut bencana alam tanah longsor, bencana alam gempa bumi, dsb.
v Api bila bertemu konduktor sangat potensial membesar kobarannya. Tapi bila api menggangu manusia dan kepentingannya, maka biasa kita sebut bencana alam kebakaran.
v Sirkulasi cuaca dalam perbedaan tekanan ekstrem tertentu dapat membentuk badai. Jika terdapat manusia di daerah yang dilanda badai, maka biasanya kita menyebutnya bencana alam badai.
v Cuaca peningkatan suhu iklim menyebabkan es kutub mencair, meningkatkan permukaan air laut dan perubahan iklim lainnya sebagai bentuk proses bumi menuju keseimbangannya. Jika ada manusia yang terkena dampak buruk dari perubahan iklim ini biasanya disebut korban bencana alam perubahan iklim.
Dan masih banyak lagi contoh lain yang mendeskripsikan dimana manusia telah melampaui batas-batas eksplorasi alam sehingga mengganggu stabilitas alam dan dampaknya kembali ke manusia.
Dalam batas-batas yang cukup primordial, bukankah bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan dari alam? Bahan baku manusia berasal dari alam. Sehingga muncul tesis bahwa manusia adalah mikrokosmos yang mewakili penjelasan bahwa dalam tubuh manusia terkandung seluruh zat yang tersebar di jagad raya (Makrokosmos) dan bumi adalah Mother Earth seluruh makhluk yang hidup di planetnya.
Dalam pemahaman ontis semacam ini rasanya penggunaan istilah bencana alam dirasa kurang tepat karena menurut penulis, sejatinya alam tidak pernah bermaksud membuat bencana, apalagi mencelakai manusia, alam ’bergerak’ sesuai dengan hukum-hukum yang melingkupi alam itu sendiri. tetapi manusia yang ternyata ’nakal’ dengan kepentingannya melanggar hukum-hukum keseimbangan alam. Dan manusia kalah, atau terkena dampak buruknya. Dalam bahasa kelirumologi-nya Jaya Suprana, istilah ’bencana alam’ mungkin termasuk simbol kata yang memiliki kesalahan logis yang mendasar menyangkut makna dan fungsi kata.
Menggunakan bahasa yang agak metaforis, eksplorasi manusia yang kebablasan tersebut layaknya anak nakal yang kelewat batas akan aturan-aturan ibunya sehingga sang ibu marah, atau menegur.
Akhirnya, dari penjelasan diatas, saya jadi berfikir: agaknya, pendapat Zen perlu direvisi..hmm,
[1] Ronggowarsito: Putra Raden Tumenggung Sastronegoro, lahir Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang
[2] Joyoboyo: Salah satu karya agung Ronggowarsito dimana dari awal kejadian alam semesta hingga kiamat, seluruhnya dibagi menjadi enam jaman.