..The sheen of silk. Draped across a mannequin..Oh, the smell of new Italian leather shoes.. Oh.. The rush you feel when you swipe your card.. And it’s approved, and it all belongs to you! The joy you feel when you’ve bought something, and it’s just you when you and the shopping. All you have to do is hand over a little card. ISN’T THAT THE BEST FEELING IN THE WORLD? Don’t you wanna shout it from the mountaintops? And you feel so confident.. alive.. And happy.. And warm..”
-Rebbecca, in Confession of shopaholic the movie-
Sistem ekonomi yang menjadikan eksplorasi libido sebagai komoditas utama untuk mendatangkan keuntungan/profit/income biasa disebut Libidonomi (Libidonomics).
Untuk menjelaskan libidonomi, kata kuncinya ada dua, yang pertama ‘ilbido’ dan yang kedua ‘ekonomi’. Pembahasan mengenai libido, banyak kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran Psikoanalisis Freudian. Sedangkan pembahasan sistem ekonomi lebih umum membicarakan kegiatan produksi,distribusi dan konsumsi.
Libido, Dan Penjungkirbalikan Superego
Tampaknya nalar ekonomi kapitalis sangat mahfum dalam memperlakukan komoditas yang tak habis-habisnya dieksplorasi; libido. Sedikit saja pendekatan Psikoanalisa; Libido adalah nama lain dari id. Hal ini adalah pangkal dari segala keinginan manusia. Tindakan manusia bermula dari libido yang loloske ranah praksis oleh keputusan ego yang sudah mendapat persetujuan superego. Pun dalam mempersepsikan kebutuhan. Hal ini tidak bisa lepas dari konsensus struktur id-ego-superego untuk memenuhi keinginannya, karenanya, kebutuhan bisa juga diartikulasikan sebagai hasrat libidinal (keinginan) yang disetujui ego dan superego untuk segera dipenuhi. Jadi, dalam tiap tindakan manusia, selalu ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ini adalah suatu peluang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan lain, menarik sekali menyimak pendapat Tung Desem Waringin (TDW), bahwa libido, tidak pernah berkata ‘tidak’ terhadap segala stimulus yang datang. Sifatnya liar, pemburu kenikmatan, hanya bisa berkata ‘ya’, dan selalu ingin dipenuhi dorongannya. Di sisi lain, hanya superego yang dapat mengatakan ‘tidak’ sehingga gejolak libidinal terlarang (karena ditolak superego) itu ditekan ego ke alam nirsadar yang entah selamanya disana, atau sewaktu-waktu dapat diakses kembali oleh ego.
Dari penjelasan diatas dapat juga diartikan, agar dorongan libido lebih leluasa mendapatkan akses pemenuhan, maka informasi-informasi oposisional yang mengkonstruk superego harus disesuaikan dengan kepentingan interpelatif ideologi (tergantung siapa/apa Subjeknya. Dalam hal ini Subjeknya adalah kapitalisme). Nah, dari titik inilah dapat mengintip proyek besar kapitalisme dalam membebaskan libido dengan cara menjungkirbalikkan superego yang semula menjadi cambuk bagi id, berbalik menjadi permisif/sekutu id.
Bagaimana caranya agar proyak besar ini bekerja? Dengan menguasai pos-pos strategis kebudayaan dan mengisinya dengan values budaya konsumtif: (1)Penguasaan terhadap pop culture. (2)penguasaan terhadap media massa. (3)perluasan pusat-pusat konsumtivisme, ditambah (4)kegilaan marketing yang siap memenuhi ruang hidup individu-individu kapanpun dan dimanapun. Jika ruang hidup telah dikuasai, disadari atau tidak, perlahan-lahan values yang dibawa budaya konsumtif menginfiltrasi values lain yang mengkonstruk superego. values yang tidak linier atau bahkan bertentangan dengan budaya konsumtif di-eliminir. Mudahnya, nilai-nilai budaya terdahulu yang mengkonstruk superego digantikan nilai-nilai budaya terkini; budaya konsumtif.
Jika konstruk nilai superego telah sesuai, atau relatif sesuai dengan kepentingan kapitalisme (budaya konsumtif), disitulah tanda keberhasilan kapitalisme menjungkirbalikkan superego konvensional (superego-kantian, kata Zizek).
Di saat konstruksi superego yang didominasi value budaya konsumtif, saat itulah konsensus id-ego-superego akan lebih mudah meloloskan dorongan libidinal sebagai kebutuhan. Sedangkan, di waktu yang sama, diluar, kapitalisme telah menunggu dengan menyediakan berbagai brand dan varian produk bagi dorongan tersebut. Semua produk seakan-akan bisa memuaskan dorongan libidinal. Semua itu “berpenampilan sexy” agar cepat direngkuh konsumen. Tetapi sebelumnya, semua itu butuh transaksi ekonomi.
Jika superego telah merestui kegilaan libidinal id, maka ego tinggal mengeksekusinya:Saatnya terjun dalam arena konsumsi!
Perangkap Jouissance!
Struktur kepribadian seperti inilah yang jadi lovely victim kapitalis; individu-individu bekerja keras mencari dan mengumpulkan uang untuk kemudian melampiaskan hasratnya dalam arena konsumsi. subjek-subjek semakin tenggelam dalam budaya konsumtif, dan kapitalis semakin menikmati added values-nya.
Karakteristik libidinal dapat dipahami ketika dorongan itu terproyeksi pada suatu objek. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, dorongan libidinal tidak pernah melekat tetap pada satu objek. Dia selalu berpendar-pendar pada berbagai macam objek dan juga terus menerus menuntut untuk dipenuhi. Ketika telah mendapatkan satu objek, kemudian muncul dorongan untuk mengkonsumsi objek lain.
Ini disebut jouissance. Memiliki, tetapi bersamaan dengan itu kehilangan. Isi, tetapi kosong.
Individu berusaha memenuhi suatu dorongan. ketika terpenuhi, dorongan terhadap objek itu hilang dan berganti dengan objek lain, yang belum terpenuhi. Begitu objek lain terpenuhi, di waktu yang sama, dorongan telah berpindah ke objek yang lainnya lagi. Jouissance, suatu keadaan yang seakan-akan telah mengkonsumsi untuk memuaskan dorongan kesenangan, tetapi sesungguhnya kehilangan karena objek dorongan telah berganti. Tidak ada kepuasan disini -kalaupun ada, hanya sedikit. Dan untuk menutupi perasan kecewa karena tidak puas (juga tidak senang), individu berusaha lagi dan lagi menuruti keliaran libido, namun lagi-lagi terperangkap jouissance. Seperti sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu untuk berlari mengejar fatamorgana-fatamorgana dan kemudian mendapati kekosongan. Berlari lagi, lagi dan...
Bersamaan dengan itu, sirkulasi uang masuk ke rekening pemilik mesin produksi massal dan stake holder yang terkait semakin cepat membesar, dan semakin cepat terurai lagi dalam aktivitas arena konsumsi.
Untuk menjelaskan libidonomi, kata kuncinya ada dua, yang pertama ‘ilbido’ dan yang kedua ‘ekonomi’. Pembahasan mengenai libido, banyak kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran Psikoanalisis Freudian. Sedangkan pembahasan sistem ekonomi lebih umum membicarakan kegiatan produksi,distribusi dan konsumsi.
Libido, Dan Penjungkirbalikan Superego
Tampaknya nalar ekonomi kapitalis sangat mahfum dalam memperlakukan komoditas yang tak habis-habisnya dieksplorasi; libido. Sedikit saja pendekatan Psikoanalisa; Libido adalah nama lain dari id. Hal ini adalah pangkal dari segala keinginan manusia. Tindakan manusia bermula dari libido yang loloske ranah praksis oleh keputusan ego yang sudah mendapat persetujuan superego. Pun dalam mempersepsikan kebutuhan. Hal ini tidak bisa lepas dari konsensus struktur id-ego-superego untuk memenuhi keinginannya, karenanya, kebutuhan bisa juga diartikulasikan sebagai hasrat libidinal (keinginan) yang disetujui ego dan superego untuk segera dipenuhi. Jadi, dalam tiap tindakan manusia, selalu ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ini adalah suatu peluang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan lain, menarik sekali menyimak pendapat Tung Desem Waringin (TDW), bahwa libido, tidak pernah berkata ‘tidak’ terhadap segala stimulus yang datang. Sifatnya liar, pemburu kenikmatan, hanya bisa berkata ‘ya’, dan selalu ingin dipenuhi dorongannya. Di sisi lain, hanya superego yang dapat mengatakan ‘tidak’ sehingga gejolak libidinal terlarang (karena ditolak superego) itu ditekan ego ke alam nirsadar yang entah selamanya disana, atau sewaktu-waktu dapat diakses kembali oleh ego.
Dari penjelasan diatas dapat juga diartikan, agar dorongan libido lebih leluasa mendapatkan akses pemenuhan, maka informasi-informasi oposisional yang mengkonstruk superego harus disesuaikan dengan kepentingan interpelatif ideologi (tergantung siapa/apa Subjeknya. Dalam hal ini Subjeknya adalah kapitalisme). Nah, dari titik inilah dapat mengintip proyek besar kapitalisme dalam membebaskan libido dengan cara menjungkirbalikkan superego yang semula menjadi cambuk bagi id, berbalik menjadi permisif/sekutu id.
Bagaimana caranya agar proyak besar ini bekerja? Dengan menguasai pos-pos strategis kebudayaan dan mengisinya dengan values budaya konsumtif: (1)Penguasaan terhadap pop culture. (2)penguasaan terhadap media massa. (3)perluasan pusat-pusat konsumtivisme, ditambah (4)kegilaan marketing yang siap memenuhi ruang hidup individu-individu kapanpun dan dimanapun. Jika ruang hidup telah dikuasai, disadari atau tidak, perlahan-lahan values yang dibawa budaya konsumtif menginfiltrasi values lain yang mengkonstruk superego. values yang tidak linier atau bahkan bertentangan dengan budaya konsumtif di-eliminir. Mudahnya, nilai-nilai budaya terdahulu yang mengkonstruk superego digantikan nilai-nilai budaya terkini; budaya konsumtif.
Jika konstruk nilai superego telah sesuai, atau relatif sesuai dengan kepentingan kapitalisme (budaya konsumtif), disitulah tanda keberhasilan kapitalisme menjungkirbalikkan superego konvensional (superego-kantian, kata Zizek).
Di saat konstruksi superego yang didominasi value budaya konsumtif, saat itulah konsensus id-ego-superego akan lebih mudah meloloskan dorongan libidinal sebagai kebutuhan. Sedangkan, di waktu yang sama, diluar, kapitalisme telah menunggu dengan menyediakan berbagai brand dan varian produk bagi dorongan tersebut. Semua produk seakan-akan bisa memuaskan dorongan libidinal. Semua itu “berpenampilan sexy” agar cepat direngkuh konsumen. Tetapi sebelumnya, semua itu butuh transaksi ekonomi.
Jika superego telah merestui kegilaan libidinal id, maka ego tinggal mengeksekusinya:Saatnya terjun dalam arena konsumsi!
Perangkap Jouissance!
Struktur kepribadian seperti inilah yang jadi lovely victim kapitalis; individu-individu bekerja keras mencari dan mengumpulkan uang untuk kemudian melampiaskan hasratnya dalam arena konsumsi. subjek-subjek semakin tenggelam dalam budaya konsumtif, dan kapitalis semakin menikmati added values-nya.
Karakteristik libidinal dapat dipahami ketika dorongan itu terproyeksi pada suatu objek. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, dorongan libidinal tidak pernah melekat tetap pada satu objek. Dia selalu berpendar-pendar pada berbagai macam objek dan juga terus menerus menuntut untuk dipenuhi. Ketika telah mendapatkan satu objek, kemudian muncul dorongan untuk mengkonsumsi objek lain.
Ini disebut jouissance. Memiliki, tetapi bersamaan dengan itu kehilangan. Isi, tetapi kosong.
Individu berusaha memenuhi suatu dorongan. ketika terpenuhi, dorongan terhadap objek itu hilang dan berganti dengan objek lain, yang belum terpenuhi. Begitu objek lain terpenuhi, di waktu yang sama, dorongan telah berpindah ke objek yang lainnya lagi. Jouissance, suatu keadaan yang seakan-akan telah mengkonsumsi untuk memuaskan dorongan kesenangan, tetapi sesungguhnya kehilangan karena objek dorongan telah berganti. Tidak ada kepuasan disini -kalaupun ada, hanya sedikit. Dan untuk menutupi perasan kecewa karena tidak puas (juga tidak senang), individu berusaha lagi dan lagi menuruti keliaran libido, namun lagi-lagi terperangkap jouissance. Seperti sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu untuk berlari mengejar fatamorgana-fatamorgana dan kemudian mendapati kekosongan. Berlari lagi, lagi dan...
Bersamaan dengan itu, sirkulasi uang masuk ke rekening pemilik mesin produksi massal dan stake holder yang terkait semakin cepat membesar, dan semakin cepat terurai lagi dalam aktivitas arena konsumsi.