

Apa jadinya,jika di dunia ini penuh dengan orang – orang yang hidup tanpa memahami arti keberadaanya di dunia:
Siapa dirinya?
Untuk apa dia hidup?
Apa jadinya jika dalam suatu peradaban, orang-orangnya telah terlatih untuk sebesar-besarya menumpahkan hasrat proyektif, interpelasi, hasutan?
Jawabannya, Ya seperti sekarang ini!
Saya jadi teringat pada keluh kesah Ki Ageng Soerjomentaram, seperti yang dikutip Darmanto Djatman:”Seprana-Seprene, aku durung tau ketemu wong” (dari dulu hingga sekarang, aku belum pernah bertemu orang).
Saya menekankan kata wong (orang) dari kalimat yang diucapkan dalam bahasa jawa tersebut. Dalam bahasa jawa sendiri, sejauh yang saya tahu, terdapat dua tanda bahasa yang menjelaskan manusia, yaitu: Jalmo dan manungso/wong. Manungso/wong, adalah tanda bahasa untuk menyebut orang yang benar-benar orang. Untuh. Otentik. Sedangkan jalmo, adalah tanda bahasa yang merujuk pada suatu entitas yang “mirip” manusia. Jalmo, hari ini lebih diidentikkan dengan makhluk halus, seperti jin, setan, siluman, atau makhluk jadi-jadian yang perwujudannya (jalmo/menjelma) seperti manusia. Tetapi secara filosofis dapat kita pahami juga, bahwa konsep jalmo adalah keadaan manusia yang belum menyadari tugasnya di dunia ini, sehingga belum menjadi wong/manungso (manusia yang utuh. penuh. otentik). Sebagai suatu fase dimana manusia belum menyadari eksistensinya, dapat juga berarti manusia (jalmo) dalam proses mencari dirinya, atau lebih ekstrim, jalmo tersebut kehilangan dirinya; tidak mengenali dirinya; terasing dari dirinya, dan semacamnya.
Lantas terfikir, bahwa, apakah modal sejarah –entah itu berupa kapital, pendidikan, sosial, religi, dan semacamnya- yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi* yang menuju pada realisasi diri? Menurut penulis, bisa ‘iya’, bisa juga ‘tidak’.
Jawaban ‘tidak’ bila jalmo, selama trajektori hidupnya, telampau menginternalisasi faktor-faktor esoterik sehingga tidak dapat mendengarkan suara hati. Bahkan suara hati yang mencuat, yang tidak sesuai dengan paradigma kesadaran, dianggap sebagai ancaman bagi kesadaran -dianggap patologis, irasional, pathetic, useless. Adaptasi yang dilakukan telah sampai pada mengorbankan keragaman subjektif, meleburkan diri pada karakteristik umum, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lain-besar hingga jalmo kehilangan, terasing, dan tidak mengenali dirinya sendiri. Intinya, berbagai usaha sejarah seperti pendidikan, pengetahuan, capital, cita-cita, selera, diseragamkan pada pilihan-pilihan umum sehingga jalmo sulit menyingkap dirinya menjadi wong.
Jawaban ‘iya’ apabila sejarah dimaknai sebagai suatu ijtihad mencari makna terdalam dari kehidupan individu terkait (jalmo). Pencarian ini –dilakukan dengan jujur- mengarah ke dalam diri (endoterik) dimana suara hati membisikkan kearah dimana individu harus melanjutkan proses hidupnya. Di tambah lagi, secara misterius, pilihan-pilihan dari bisikan hati tersebut sinkron dengan fenomena-fenomena esoterik yang dijumpai individu terkait. Jung, menamakan fenomena ini sebagai synchronize; Keserempakan antara keadaan psikis dan fenomena fisik secara tak terduga; Kebetulan yang bukan kebetulan; Kebetulan yang penuh makna. Contohnya adalah mimpi/firasat yang menjadi kenyataan, ide yang terealisasikan, pertemuan-pertemuan tak terduga, dan semacamnya. Jung percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan, yang ada adalah manusia tidak tahu dan tidak dapat memahami misteri kosmis yang tak pernah tuntas. ‘kebetulan’ ini mempunyai value yang begitu-dalam membekas di hati maupun pikiran. Jika mau jujur, momen-momen synchronity sangat mempengaruhi pilihan hidup jalmo kemudian. Inilah proses jalmo menuju wong/manungso.
Kembali pada pertanyaan: apakah modal sejarah yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi yang menuju pada realisasi diri? Maka melalui penjelasan diatas tersirat bahwa synchronity juga merupakan semacam panduan dari hati, step-step dari proses individuasi menuju pada realisasi diri. Penemuan diri yang asli. Penuh. otentik. penyingkapan akan tugas jalmo berada di dunia ini. Terapi bagi individu-individu yang mengalami krisis eksistensial. Jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial; Siapa dirinya? Untuk apa dia hidup? Dan seterusnya.. dan seterusnya..
Suatu proses panjang, dari jalmo menuju manungso..
Note (*):
Individuasi: Adalah suatu proses yang dilalui seorang pribadi (jalmo) menuju menjadi individu yang psikologis: yaitu satu kesatuan atau keseluruhan psikologis yang tak terbatas dan terpisah dari yang lain.
Pada konsep teologis berbagai agama, dengan mudah dapat kita baca akan adanya suatu yang “super” yang kemudian umunya disebut sebagai Tuhan, atau dalam agama-agama dikenal sebagai Allah, Yahweh, Trimurti, Zeus, Sang Hyang Tunggal, atau apapun namanya. Pada agama-agama, sebagai petanda keimanan pemeluknya, tak jarang tuturan yang menggambarkan kebesaran Tuhan sering diucapkan. Misalnya dalam Islam (agama saya) frase ‘Allahu Akbar’ mempunyai tafsir resmi kurang lebih: Allah itu maha besar.
Hari-hari ini, tersirat seakan-akan yang maha besar hanya satu: Tuhan. Yang lain cukup dengan “besar” saja. Selesai. Tak ada pikiran lagi. Dari sinilah problem menyeruak.
Begini:
Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.
Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih-dari-besar .
So, Gunung= Tuhan?
Atau begini saja,
Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.
Gunung itu maha besar>Gunung itu lebih-dari-besar.
Jadi, Gunung= Tuhan?
Tentu saja tidak . Tuhan tidak equal dengan gunung, tak juga dengan galaksi atau alam semesta. BesarNya jauh lebih dari gunung, galaksi, ataupun semesta. Sepertiya mustahil bila Sang-pencipta = ciptaanNya. Maka dengan mudah dapat dimahami Tuhan lebih BESAR (besar dalam arti apapun) dari gunung,galaksi, atau apapun.
Silogisme semacam itu sangat beresiko. Saya kira penafsiran terhadap premis mayor (Allahu Akbar>Allah lebih dari besar) sangat problematik sehingga belum bisa diperoleh premis minor (Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih dari besar) dan konklusinya (Gunung=Allah). Saya mempermasalahkan premis mayor dalam hal penafsiran.
Nalar Pemuaian – Pemuaian nalar
Seperti halnya sifat kosmis. Segala sesuatu di alam semesta ini tumbuh/memuai. Dari galaksi, hingga sel-sel tumbuhan, semua memuai. Begitu pula dengan dunia kata. Ternyata dunia kata pun memuai, dalam artian seperti: semakin banyak sinonim, semakin beragam makna. Misalnya, gunung itu besar sekali; gunung itu besar banget; gunung itu sangat besar; gunung itu buesssaaarrrr. Kata-kata itu menunjukkan ukuran kalau gunung itu lebih-dari-besar (banget, sekali, sangat, menyangatkan). Bisa juga dikatakan “gunung itu maha besar”.
Hari ini, pemakaian frase “Allahu Akbar” tak lagi berarti “Allah maha besar”. Dalam pemahaman saya, penafsiran bahwa “Allah itu maha besar” hari ini kurang memadai. Esensi yang saya tangkap besarNya adalah teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya karena tidak terdefinisi oleh dunia kata. Sifat yang tak mungkin ditandai dalam kata-kata; melampaui dunia kata. Dunia kata itu ada batasnya, tetapi Dia tidak. Yang jelas apapun dan bagaimanapun definisinya, tidak ada yag lebih besar melebihi Tuhan. Namun esensinya tetap sama; Tuhan besarnya teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya tidak terdefinisi oleh kata-kata. Yang jelas, bagaimanapun definisiNya, tidak akan pernah mampu men-define-Nya penuh-seluruh. Dalam teori pemuaian, bukan berarti besar (Ukuran) Tuhan memuai, tetapi definisi, pemahaman dan pengenalan manusia terhadap Tuhan-lah yang memuai; semakin besar, semakin cair, semakin…..
Lebih dari semua itu, akhirnya saya sampai pada kesimpulan sementara: Sebaiknya kita tak perlu mendefinisikanNya, karena tak ada yang akan kita peroleh kecuali sia-sia belaka, termasuk apapun dalam tulisan ini yang berupaya mendefinsikanNya..
Di sabtu pagi yang cerah, diselimuti hawa sejuk, secangkir kopi, dan sebatang rokok...
Aku tak peduli badai ini
Aku tak peduli kabut ini
Sungguh, sungguh aku tak peduli
Aku akan tiba di tempatMu
...
Aku tahu di atas sana
Angin bertiup kencang
Aku tahu, di atas sana
Udara bertiup dingin membeku
Tetapi aku juga tahu
DiriMu di puncak sana
...
Akan kupanggul kerier ini
Akan kudaki gunung ini
Selangkah demi selangkah
Setapak demi setapak
Setiap tetes keringat yang mengucur
Seperti itu pula kerinduanku padaMu
Setiap hembusan nafasku yang memburu
Seperti itu pula keinginanku
merasakan indahMu
...
Tunggu, tunggulah aku…
Aku akan datang
Ke tempat DiriMu berada
Tunggu, tunggulah….
Aku akan datang
Memeluk mesra DiriMu
Tidur di pangkuanMu
Dibelai halus tanganMu
Di antara hamparan eidelweis
Di tengah – tengah taman surga.
Taoist: “Is there anything in the world more marvelous than the forces of Nature?”
Hui Hai (Zen Monastery): “There is..”
Taoist: “And what is that?”
Hui Hai: “The power of comprehending those natural forces.”
Jaman Kolobendu
Klasifikasi jaman yang pernah dituliskan Roggowarsito[1] dalam serat Joyoboyo[2], manusia akan melalui sebuah zaman yang disebut ‘zaman kolobendu’, yaitu zaman yang penuh dengan bencana, penjungkirbalikan, kerusakan dan pengrusakan serta berbagai macam kegilaan, sehingga muncul idiom “sing orang edan ora uman” (yang tidak edan tidak kebagian). Tidak heran jika Dostoevsky berpendapat, hari ini, kegilaan (edan) adalah sesuatu yang ’sexy’. Dan kita sepakati saja bahwa sekarang umat manusia sedang berada di tengah jaman kolobendu seperti prediksi Ronggowarsito. Pokoknya percaya dulu saja.
Jaman kolobendu diantaranya ditandai dengan banyaknya bencana. ’Bencana’ dalam pengertian apapun, dalam bentuk apapun. Dalam tulisan ini lebih difokuskan pada apa yang dimaksud bencana alam seperti Banjir, gunung meletus, Kekeringan, Badai, Gempa, tsunami, dan semacamnya. Tetapi, dalam kesempatan ini kita tidak akan mendiskusikan dampaknya bagi manusia dan peradabannya, melainkan membahas ontologi dari fenomena ’bencana alam’ ini.
Bahwasannya, alam ini telah terbentuk berjuta – juta tahun lamanya, bahkan konon, enam kali lebih lama sejak manusia pertama (homo sapien?) ada di bumi. Bermula dari asumsi bahwa dalam perjalanannya, alam (khususnya bumi) selalu mencari dan menuju suatu keseimbangan, asumsi ini akan penulis gunakan untuk mengupas ontologi ’bencana alam’. Misal seperti berikut ini;
v Wilayah disekitar gunung berapi berupa tanah labil nan subur adalah suatu keseimbangan karena pada saat erupsi, gunung memuntahkan berbagai material ”bergizi” bagi tumbuhan.
v Pohon – pohon di tanah yang miring sebagai penahan aliran air hujan dan media peresapan air ke dalam tanah adalah keseimbangan.
v Daerah katulistiwa lebih panas dan berbagai karakternya berbeda dengan daerah kutub adalah keseimbangan karena perbedaan intensi dan bidang penerimaan cahaya matahari.
v Ketika ada herbifora, maka ada karnifora dan omnifora serta pengurai adalah keseimbangan.
v Ketika jumlah tikus semakin banyak, penanda dari ular sebagai pemangsa alaminya mengalami penurunan jumlah adalah juga keseimbangan.
v Pun pada saat musim panas, debit air per-milimeter semakin sedikit dan pada saat musim hujan semakin banyak adalah keseimbangan.
v Ketika suhu bumi naik menyebabkan pulau – pulau es di kutub mencair berakibat pada permukaan air laut naik adalah keseimbangan.
Kembali ke ’bencana alam’. Mari kita lihat suatu fenomena yang oleh manusia disebut ’bencana alam’ dalam perspektif keseimbangan alam.
Pada Planet bumi, terdapat gravitasi. Segala keseimbangan alam akan tercipta manakala tidak bertentangan dengan gravitasinya;
v Misalnya benda yang terlempar setinggi apapun, selama masih dalam cakupan gravitasi, maka benda itu akan jatuh.
v Air mengalir, selalu mengalir menuju permukaan tanah yang lebih rendah.
v Jembatan yang tidak kuat lagi menahan beban maka akan ambrol.
v Benda yang volume dan massanya lebih besar, maka bobotnya lebih berat.
Fenomena di atas membuktikan bahwa bagaimanapun, keseimbangan alam berbanding lurus dengan gravitasi. Dalam proses pencapaian keseimbangan -entah apapun dan bagaimanapun konstelasi dan komposisi yang menyusunnya- dari awal terbentuknya bumi hingga entah sampai kapan, keseimbangan alam akan selalu menyertakan gravitasi dan tidak akan menghianatinya.
Manusia:Sang khalifah penggeser keseimbangan alam?
Dari sudut pandang evolusi, manusia adalah hewan berakal sehingga mereka mampu mengeksplorasi alam dengan akal/kecerdasannya. Hanya manusia yang berpotensi merekayasa, memodifikasi, memanage, meng-akal-i, menyulap, mengeksplorasi, hingga menggeser konstelasi keseimbangan alam. Realitanya dapat kita saksikan manakala hutan belantara diubah menjadi perkebunan, bahkan pemukiman dan kota – kota urban. Mengeruk, membelah bukit untuk lintasan jalan Tol, juga untuk mendapatkan mineral – mineral berharga. Menggunduli hutan dan gunung untuk penanaman hortikultura. Menyedot isi perut bumi untuk mendapatkan berbagai bahan bakar fosil. Dan berbagai macam eksplorasi alam lainnya.
Dari sudut pandang keseimbangan alam, hal ini jelas mengganggu keseimbangan. Hujan yang airnya dapat diserap hutan malah mengalir langsung dan membawa kompos yang menyuburkan tanah. Tebing – tebing curam akibat pengeprasan bukit sewaktu – waktu dapat longsor apabila tidak seimbang dalam menahan beban gravitasi, Penambangan yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan stabilitas bentuk/kontur permukaan tanah. Polusi akibat aktivitas manusia mengganggu stabilitas atmosfer. Menipisnya atmosfer akan mengurangi fiterisasi dari sinar matahari sehingga sinar kandungan UV semakin pekat. Semakin banyaknya CO2 di atmosfer menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi, akibatnya pulau – pulau es di kutub mencair dan permukaan air laut semakin tinggi. Rumah kaca yang memantulkan sinar matahari mengganggu sejumlah sinar matahari yang harusnya diserap bumi, juga sinr yang dipantulkan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas atmosfer.
Intinya, saya hendak menjelaskan bahwa aktivitas manusia terkait dengan alamnya disadari-tidak, sedikit-banyak, sebentar-lama kelamaan, mempengaruhi ’titik’ keseimbangan alam. Dan sebagaimana asumsi hukum alamiahnya diatas, bagaimanapun pergeseran yang terjadi, entah sebab proses alamiah atau karena tindakan manusia, alam akan selalu berusaha kembali menuju titik keseimbangannya.
Kepentingan alam vs kepentingan manusia
v Mana yang lebih penting: Kepentingan manusia atau kepentingan alam?
v Mana yang lebih mendasar: kekutan alam, atau kekuatan manusia dalam kehendaknya menguasai alam?
Jika seperti itu kategorinya, maka terdapat beberapa kemungkinan:
v Jika kepentingan manusia dan kekuatan manusia dalam kehendaknya untuk menguasai alam adalah lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, alam harus menuruti sejauh-jauh kehendak dan kepentingan manusia apapun itu, walaupun menggeser titik keseimbangan alam, sang alam harus tetap meladeni serta tetap tidak boleh mengganggu rutinitas kepentingan manusia.
v Jika kepentingan alam dan kekuatan alam lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, manusia walaupun berpotensi mengeksplorasi alam, tetap saja tidak boleh sampai overlapping dengan kepentingan alam. Dalam bahasa lain, manusia harus sadar dengan ’aturan-aturan alam’ yang tidak boleh di langgar manusia.
Dengan akal sehat yang paling dangkal pun kita dapat mencapai simpulan bahwa kepentingan alam jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada kepentingan manusia. Tetapi realitanya, seiring eksplorasi manusia terhadap alam, tampaknya kepentingan manusia telah melampaui batas kepentingan alam. Dengan dengan kata lain, manusia telah mengganggu kepentingan alam; kecenderungan alam untuk menuju keseimbangannya. Akibatnya apa jika manusia mengganggu kepentingan alam? Tak ayal lagi, akibatnya adalah kepentingan manusia tergilas, tergerus, terkena dampak dari kepentingan alam selama proses menuju keseimbangan. Inilah yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut bencana alam: dampak buruk yang dirasakan manusia akibat dari proses alam menuju keseimbangan alamiahnya:
v Air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah dan akhirnya ke laut. Jika manusia-manusia menempat-tinggali daerah yang akan dialiri air, maka manusia akan terkena dampak dari aliran air, apalagi bila debitnya jauh bertambah: biasa kita sebut bencana alam banjir.
v Pada daerah yang tanahnya labil, seharusnya manusia-manusia yang tinggal diwilayah tersebut menyadari bahwa mereka hampir bisa di pastikan terkena dampak buruk dari pergeseran atau labilnya tanah:dalam bahasa sehari kita sebut bencana alam tanah longsor, bencana alam gempa bumi, dsb.
v Api bila bertemu konduktor sangat potensial membesar kobarannya. Tapi bila api menggangu manusia dan kepentingannya, maka biasa kita sebut bencana alam kebakaran.
v Sirkulasi cuaca dalam perbedaan tekanan ekstrem tertentu dapat membentuk badai. Jika terdapat manusia di daerah yang dilanda badai, maka biasanya kita menyebutnya bencana alam badai.
v Cuaca peningkatan suhu iklim menyebabkan es kutub mencair, meningkatkan permukaan air laut dan perubahan iklim lainnya sebagai bentuk proses bumi menuju keseimbangannya. Jika ada manusia yang terkena dampak buruk dari perubahan iklim ini biasanya disebut korban bencana alam perubahan iklim.
Dan masih banyak lagi contoh lain yang mendeskripsikan dimana manusia telah melampaui batas-batas eksplorasi alam sehingga mengganggu stabilitas alam dan dampaknya kembali ke manusia.
Dalam batas-batas yang cukup primordial, bukankah bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan dari alam? Bahan baku manusia berasal dari alam. Sehingga muncul tesis bahwa manusia adalah mikrokosmos yang mewakili penjelasan bahwa dalam tubuh manusia terkandung seluruh zat yang tersebar di jagad raya (Makrokosmos) dan bumi adalah Mother Earth seluruh makhluk yang hidup di planetnya.
Dalam pemahaman ontis semacam ini rasanya penggunaan istilah bencana alam dirasa kurang tepat karena menurut penulis, sejatinya alam tidak pernah bermaksud membuat bencana, apalagi mencelakai manusia, alam ’bergerak’ sesuai dengan hukum-hukum yang melingkupi alam itu sendiri. tetapi manusia yang ternyata ’nakal’ dengan kepentingannya melanggar hukum-hukum keseimbangan alam. Dan manusia kalah, atau terkena dampak buruknya. Dalam bahasa kelirumologi-nya Jaya Suprana, istilah ’bencana alam’ mungkin termasuk simbol kata yang memiliki kesalahan logis yang mendasar menyangkut makna dan fungsi kata.
Menggunakan bahasa yang agak metaforis, eksplorasi manusia yang kebablasan tersebut layaknya anak nakal yang kelewat batas akan aturan-aturan ibunya sehingga sang ibu marah, atau menegur.
Akhirnya, dari penjelasan diatas, saya jadi berfikir: agaknya, pendapat Zen perlu direvisi..hmm,
[1] Ronggowarsito: Putra Raden Tumenggung Sastronegoro, lahir Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang
[2] Joyoboyo: Salah satu karya agung Ronggowarsito dimana dari awal kejadian alam semesta hingga kiamat, seluruhnya dibagi menjadi enam jaman.