Saturday, April 12, 2008

KAI VS ADAM AIR




Tulisan ini diilhami dari peristiwa yang ada disekitar penulis mengenai sarana trasportasi umum. Peristiwa ini membuat para pengguna jasa transpotrasi menjadi emosional, termasuk penulis sebagai pengguna jasa. Tetapi penulis akan mencoba menceritakan dengan seobjektif mungkin dengan bahasa penulis.

Baru2 ini khalayak dibuat melek dengan keputusan departemen perhubungan yang mencabut izin beroperasi salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi penerbangan. Yup, teman – teman sekalian pasti langsung mbatin ”Adam Air...!!”. Dari berbagai temuan, membuktikan kalau Adam Air (AA) tidak dapat memenuhi SOP yang telah ditetapkan departemen perhubungan. Kondisi pesawat yang entah bagaimana, skill pegawai (divisi pilot, pramugari, pemasaran) yang dipersoalkan investor, fungsi pengembangan yang tidak berjalan dengan baik, dll, dsb, dst...

Gosip2nya, awal 2007 kemarin (waktu salah satu pesawat AA hilang di perairan Sulawesi dan sampai sekarang tidak satupun jasad penumpang ditemukan), kalau nggak salah AA hampir mengalami kebangkrutan, tetapi mendapat suntikan dana dari investor ( saya lupa nama group investor tersebut) sehingga dapat beroperasi kembali. Setahun lebih berselang, peristiwa2 minor yang diberitakan media mengenai AA memahamkan publik perihal apa2 yang terjadi dalam ”tubuh” perusahaan tersebut.

Walaupun begitu, penerbangan ekonomis beresiko ala AA tetap ”terpaksa” digemari masyarakat konsumen yang ingin menempuh perjalanan udara dengan dana mepet. Dalam kancah kompetisi perusahaan penerbangan, tentu saja hal ini menjadi varian dengan segmentasi pasar yang tidak sedikit. Mungkin ada juga motif peruntungan dari konsumen, sehingga, ketika memutuskan naik AA tentu benar2 sadar resikonya dan kemudian terucap lirih doa ”ya Tuhan, semoga penerbangan ini lancar dan selamat sampai di tujuan tanpa kurang suatu apapun..amin..”

Di jaman perang modal sekarang ini memang diperlukan berbagai regulasi agar para kapitalis dapat tampil cantik dihadapan konsumen ,tentu saja, agar konsumen pun puas dalam mengkonsumsi produk barang maupun jasa. Termasuk perusahaan jasa penerbangan. Jadi, tepat kiranya jika pemerintah menjatuhkan sangsi pencabutan izin beroperasi perusahaan yang tidak dapat merias diri, atau bahkan membahayakan jiwa pengguna jasanya.

Sebagai rakyat jelata saya hanya bisa mendoakan dengan lirih ”Semoga engkau dilahirkan kembali dan dapat menjadi lebih humanis”.

Nah, itu tadi khan perusahaan swasta, tetapi apa jadinya jika perusahaan milik pemerintah (yang hanya satu – satunya, main monopoli, dan berwajah tidak ramah pada masyrakat konsumennya) beroperasi? Tak lain tak bukan, maksud saya adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api atau sakarang lebih dikenal dengan nama PT KAI (Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia).

Seperti kita ketahui, PT KAI beroperasi untuk memberikan pelayanan jasa transportasi publik dengan mesin angkutannya yang disebut kereta api. Angkutan publik ini laris manis bak pulsa HP antara lain karena harga tiketnya terjangkau dan efisiensi waktu dibandingkan berbagai jasa angkutan Bus atau transportasi darat tainnya. Tetapi, meski begitu, sebagai satu - satunya perusahaan jasa angkutan di bawah pemerintah, ternyata tidak dapat diartikan bahwa angkutan ini ”sempurna” dalam arti aman, nyaman, tepat waktu, terjangkau dan berorientasi pada kepuasan konsumen.

Penulis termasuk pengguna jasa angkutan ini untuk transportasi dari Semarang-Cepu Cepu-Semarang. Selama itu pula penulis biasa menggunakan kereta api kelas ekonomi Feeder dan KRD Express. Kereta kelas Ekonomi memang harganya jauh lebih murah sekitar sepuluh kali lipat dari tiket kereta kelas eksekutif. Hal ini dikarenakan penentuan tarif untuk kelas ekonomi ditentukan oleh pemerintah bersama DPR, dengan pertimbangan bahwa kereta api merupakan moda transportasi nasional yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat kelas bawah dengan harga tiket yang terjangkau. Sementara harga tiket untuk kelas eksekutif dan bisnis ditentukan oleh pihak kereta api, sehingga harganya bisa mencapai tiga atau empat kali lipat dari harga tiket kelas ekonomi.

Nah, selain harga yang murah, tentunya gerbong angkutan pun mempunyai spesifikasi fasilitas minimal sebagai penopang kenyamanan penumpang. Setahu penulis, dapat kita tilik dalam pasal 10 SK. MenHub no.8 tahun 2001. Disebutkan bahwa untuk kereta api ekonomi antar kota minimal dilengkapi dengan kipas angin, toilet, lampu penerangan, air sesuai dengan kebutuhan minimal perorang, fasilitas pemadam kebakaran, rak bagasi dan restorasi.

Tetapi peraturan tinggal peraturan. Pada kenyataannya dalam kereta Ekonomi, penulis menjumpai pintu kereta yang tidak berfungsi, kipas angin dan lampu tidak menyala walaupun hari sudah gelap, toilet yang rusak dan tidak ada airnya hingga penumpang tidak dapat buang hajat, jendela yang rusak karena kacanya pecah atau retak hingga penumpang kepanasan atau bahkan kehujanan. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelayanan pegawai PT KAI yang tidak ramah dan sama sekali tidak empatik.

Pengalaman penulis, suatu ketika pernah menumpang kereta feeder dari semarang-cepu yang penuh sesak bahkan banyak penumpang berdiri bahkan naik ke tas gerbong kereta. Dalam kondisi seperti itu tentunya kenyamanan penumpang sangat tidak terasa. Udara gerbong yang sesak, penat, lembab dan kotor di tambah bau toilet yang tidak keruan berpadu dengan kebisingan penumpang sedikit banyak melecut emosi penumpang kereta. Ini terlihat dari banyaknya umpatan yang terucap dari bibir penumpang. Pelayanan yang paling tidak ramah dan tidak empatik menurut penulis manakala kondektur memeriksa karcis penumpang. Beberapa penumpang mengeluh pada kondektur dengan kata kata yang emosional seperti “pak aku wis arep mati kepanasan koq keretane nembe mangkat tho?”, ada juga “Pak koq keretanya terlambat sih?” dan berbagai macam keluhan. Anehnya, kondektur tersebut stay cool seperti es batu, tersenyum pun tidak, apalagi menjawab. Dia dan hanya berkata “karcis…karcis…”. Mungkin dalam hati dia berujar “Sudah bagus dikasih harga murah, masih saja rewel..”. Pun dalam hati, saya berkata “ini tidak berbeda dengan di adam air kali yach ?”.

Tentu saja alasan tiket murah dan berakibat pelayanan “seadanya” pada kereta kelas ekonomi seperti di atas tidak dapat dijadikan alasan yang kuat. Kenyataan lain yang sering dijumpai adalah matinya AC pendingin pada kereta eksekutif sehingga penumpang kepanasan. Menu makanan yang tidak mencerminkan harga tiket, bahkan harga tiket restorasi yang sama dengan tiket kursi normal. Instalasi rel kereta api juga banyak bermasalah karena lapuk dimakan usia, dicuri warga sekitar rel, tanah labil dan lain sebagainya

Ini fakta, tanpa penelitian yang mendalam dapat kita simpulkan bahwasannya manajemen perkereta api-an di Indonesia dikelola secara monopolistik dan tradisional.

Tetapi kenapa Dengan segala ketidak humanisan tersebut pemerintah tidak mencabut izin beroperasi PT KAI, jika di lain pihak tidak serius mengembangkannya?

* Abdul Haris Fitrianto

Thursday, April 10, 2008

DILEMA EKSISTENSI MANUSIA (tinjauan psikologi marxian)

























Seperti filsafat dualisme yang selalu mempertentangkan tesa dan antitesa, akhirnya nanti akan memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya. Konflik eksistensi ini ada sejak manusia dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi

eksistensi manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, mereka berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan prestasi.

Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh.

Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padalah Setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan. Tetapi dia coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian.

Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis ini juga pernah dikatakan Erich Fromm(1973), bahwa selama ini manusia, disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia.

Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas tetapi untuk apa?

* Mahasiswa Psikologi UNNES