Saturday, November 27, 2010

Imaginary Friend: a piece of my childhood psychology (an Adlerian perspective)




My childhood was lonely; I was a lonely child. I don’t really know why it was, but I think it occurred because my character tended to be superior. However, I tended to dominate my sociality. I tended to dominate my peer groups. It had no problem with friends who have similar age range to me, but it became a problem toward number of friends who are elder than me. They thought I would be dangerous person toward their domination in such peer group; therefore, they used to insult and bother me when I gathered to the group. Their behaviors very distressed me. Although I couldn’t remember how often, how many and how numerous were it, but I can even feel it and, surely, It really hurt my heart.

What I used to do then, I isolated myself from my social or peer groups. Yet, I enjoyed being alone. I played my toys, made reliefs using sand and clay, watched TV alone. In my loneliness, as the matter of fact, I realized that I created an imaginary friend in order to company me within my days. The name of my imaginary friend is Batuk. I realized I gave it name to him and I don’t even know how I got it name. It just came to my mind, I gave it to him then he smile to me. Moreover, I simply realized that Batuk wasn’t real; he didn’t exist even though his appearance was so real, so obvious for me. It was just my imagination but I enjoyed when I had a play with him. In addition, I also created some imaginary friends soon after I created Batuk.

I don’t know why I added more imaginary friends. Maybe it caused by feeling that I really enjoy play with someone who never insults me, and always knows what I want. They used to company and entertain me anytime and anywhere I want. They kept me away for being lonely. I used to play something while imagine Batuk sitting next to me, even so, the other imaginary friends also play surrounding me and batuk. Actually, it was just my imagination and I was a loner who always lonely and did something alone. I forget how many imaginary friends I had created besides Batuk.

Thus, in my earlier social pattern age, I had a thought: If I involved in a group, I always tended to dominate it, but if I can’t dominate, it’d be better if I out of that group than become a follower within. The imaginary friend’s episode was emerged in my earlier life (when I was three years old).

My imaginary friends include batuk were gradually disappeared from my consciousness when I entered kindergarten. It is easy why they were gone; because I had new friends in my kindergarten. I felt joyful when I played with my kindergarten friend; hence, my willingness for having an ideal sociality through my imagination has completely gone.

For me, it’s easy to get superiority legitimation in school such as kindergarten and elementary school: get higher academic scores and be the top three pupils’/students’ rank. If I get those prestigious ranks, other students will give me a hood, and admit me as the clever student (this is my superiority complex pattern when I was in kindergarten and earlier time at elementary school). From those superiority complex experiences, I became more confident to join in any peer group and my big family.

I lately become aware that the profound character of mine tends to be dominance and won’t to be inferior.



Tuesday, November 16, 2010

Existence Precedes Essence; A transformation from paper news to e-paper news review



It is been long time newspaper to be an information and news provider consumed by society; Newspaper has been being popular among society. We can buy newspaper easily in shop, store, or other place. In fact, there are many newspaper publishers such as Kompas, JawaPos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Tempo, Time, The Jakarta Post, etc. It could be a sign that our societies need much information and those publishers provide a various number of news. But, the latest phenomena, the popularity of the internet rises dramatically. We have already known that the internet also provides information and news. In the other word, I believe the rising popularity of the internet will take over newspaper popularity in not too distant future. I support my statement with these reasons: news substance orientation and mobility.

First of all, It is often claimed when we read some news, all of we need is its substance –information, knowledge, announcement, etc. News media whether paper or e-paper (one of news formats in internet) is just an equipment to deliver the news. With the rising popularity of the internet, I believe people prefer choose e-paper to newspaper.

Secondly, nowadays, the mobile of the device is under consideration. It is common that e-paper easily accessed. We can access it from mobile phone, i-pod, laptop, i-pad, etc. Otherwise, newspaper is less mobile than e-paper. For example, when I go riding public transportation such as train, I prefer access The Jakarta Post using my mobile phone because it has small size, but I can enjoy the news as well as read it in news paper format which has large enough size. Thus, a mobile thing must be useful.

In summary, internet era which is full of mobility is inevetably. Soon, Information and news through internet will take over newspaper edition/format because people realize that all they need is the essence -news and information- in whatever its format –whether paper or digital format.

Sunday, November 14, 2010

Penggerak yang Tak Digerakkan



Pemikiran ini berawal dari aksioma bahwa dalam jagad raya ini terdapat dua kosmos, yaitu makro kosmos, dam mikro kosmos. Makro kosmos adalah kesatuan system – system raksasa di belantara jagad raya yang interdependen satu sama lain. Sedangkan mikro kosmos adalah manusia sebagai individu utuh, dimana padanya terdapat kesatuan system – system yang membentuk manusia sebagai individu yang otonom tetapi sekaligus terkait dengan system makro di sekelilingnya (interdependen).

Memang ini bukan hal yang baru, dan dengan mudah dapat kita jumpai dalam teks – teks Quraniyah, filsafat timur, maupun psikoanalitik.

Kemudian yang akan dibahas dalam kesempatan ini adalah;
Apa kesamaan dari makro dan mikro kosmos?
Apa inti dari kosmos – kosmos tersebut?



MAKRO KOSMOS
Kosmos adalah sebuah harmoni. Suatu rangkuman orkestrasi semesta dimana setiap entitas di dalamnya berfungsi dengan penuh dengan berpusat pada suatu ordinat.
Galaksi, suatu entitas – entitas raksasa jagad raya yang berbentuk cenderung melingkar atau cakra, dengan wilayah pusat yang terletak di tengahnya, merangkum dan dan menggerakkan berbagai entitas dalam suatu tempo yang rumit namun harmonis.
Dalam galaksi terdapat ribuan system solar. Salah satu system solar di Bima Sakti adalah rangkuman planet – planet dan berbagai entitas ruang angkasa yang terpusat pada sebuah bintang yang di sebut Matahari; Bintang yang menjadi polar dari planet, satelit, meteor, asteroid, komet, dan lain sebagainya (entitas ruang angkasa) merangkum semua itu dalam suatu pola harmonis dimana masing – masing berputar pada titik orbitnya.

Bahkan, atom, satuan terkecil entitas fisik, dalam kondisi normal membentuk suatu harmoni dimana electron setia mengelilingi protonnya.
Kurang lebih, seperti itulah pola – pola yang tampak dari berbagai kompleks jagad makro kosmos. Entitas yang lebih besar menjadi pusat dari entitas – entitas kecil di sekelilingnya. Entitas yang lebih kecil pun menjadi pusat dari entitas-entitas yanglebih kecil lagi disekitarnya. Terdapat kompleks – kompleks entitas yang mengelilingi titik tengah/ pusat dimana entitas lain bergerak dalam harmoni.

So, jika dari entitas terkecil (katakanlah atom) bergerak mengelilingi entitas yang lebih besar, maka pertanyaanya, entitas apakah yang terbesar -yang dikelilingi seluruh entitas - entitas sejagad raya?


MIKRO KOSMOS
Seperti penulis tulis diatas, mikro kosmos adalah menyangkut tentang pusat system psikis dalam diri manusia. Bertolak dari pola makro kosmos, penulis berspekulasi bahwa realita mikro kosmos-pun menyerupai pola – pola makro kosmosnya.

Terdapat berbagai entitas yang otonom, yang beragam, yang semuanya dirangkum oleh suatu titik yang membentuk pola – pola harmonis. Titik sebagai pusat ini memimpin kompleks mikrokosmos, mengatur entitas – entitas otonom dalam pola – pola yang memungkinkan semuanya terangkum dalam suatu irama yang harmonis.

Dalam psikoanalitik Jung, Keseluruhan realitas psikis terdiri dari kompleks-kompleks arketipal yang dirangkum oleh arketip Self. Self merangkum seluruh kesadaran, persona, shadow, anima, animus, dan sebagainya dalam suatu orkestrasi psike yang otonom tetapi sekaligus terhubung dengan pusat semesta/makro kosmos.



Melalui pendekatan Qur’aniyah, pola mikro kosmos nampak pada struktur jiwa dimana Qalb sebagai inti jiwa yang merangkum eksistensi nafs, kemudian misykat (pada lapisan terluar) sabagai kesatuan individual tak terpisahkan.




TITIK SENTRAL
Struktur makro kosmos dan mikro kosmos mempunyai harmoni, pola-pola, dan kerumitan – kerumitannya sendiri, juga entitas-entitas pembentuk yang berbeda satu sama lain. Tetapi dari pola dan struktur tersebut, persamaannya adalah adanya entitas-entitas yang interdependen satu sama lain, yang dirangkum memusat pada satu titik sebagai core-nya. Hanya ada satu core, sedangkan entintas – entitas yang terjalin mengitarinya jumlahnya sangat relative, walaupun begitu, jumlah tersebut selalu diasumsikan sebagai jumlah yang selalu lengkap (tidak kurang, tidak lebih). Pusat kosmos inilah yang memegang peran vital, menjaga stabilitas, harmoni, dan unite dari kosmos. Lantas apakah yang menjadi pusat dari makro dan mikro kosmos?

Penulis mencoba mendekati hal ini dari artefak budaya. Dalam hal ini, artefak hindu berupa patung dewa kresna dimana jari telunjuknya menyangga sebuah Chakra. Cakra disini bukan diartikan sebagai senjata untuk berperang atau melindungi diri, tetapi sebagai suatu miniature makro kosmos. Bidang cakra diinterpretasikan sebagai suatu teritori makro kosmos dari pinggir hingga ke tengah. Pada bagian tengah inilah pusat chakra; tempat dimana jari telunjukk kresna menyangga chakra, sehingga chakra dapat berputar pada orbitnya. Yang dapat juga diartikan bahwa pusat kosmos (chakra) adalah dewa. Dalam hal ini dewa khresna mengatur skenario bagaimana kosmos berlangsung; khresna bertanggung jawab atas penyelenggaraan kosmos.


Artefak yang hampir sama, juga tampak pada patung dewi Kwan Im (perlambangan dari sosok sumber kesejahteraan, kesuburan, kebajikan, dll, bagi makhluk hidup) yang berdiri di tengah bunga teratai. Bunga teratai ini disebut juga mandala; lambang rangkaian keseluruhan kosmos. bulat. penuh. Totok. Jadi, sumber kehidupan kosmos berada pada inti orkestrasi kosmis tersebut bekerja.



Artefak budaya yang juga melambangkan makro kosmos ada pada misitikus sufi. adalah tarian whirling dari Rumi. Tarian ini memperlihatkan seorang penari yang melakukan gerakan berputar seperti gangsing dengan memanjatkan ayat – ayat, dan kalimat indah kepada Allah (dalam cara islam). Penulis menginterpretasikan gerakan berputar seperti gangsing ini sebagai suatu gerakan kosmos dalam harmoninya. Sedangkan doa-doa yang dipanjatkan selama menari adalah semacam ijin pada-Nya agar penari dapat berputar-putar dalam waktu lama (yang tidak mungkin dilakukan seseorang dalam keadaan kesadaran yang biasanya). Dalam arti lain, kemampuan seorang penari untuk melakukan whirling dalam waktu yang lama (kurang lebih 30 menit) adalah berkat ijin yang diberikanNya. Bekaitan dengan makro kosmos, hal ini dapat diartikan bahwa Allah adalah dari pusat dan pemilik kosmos, karena Dialah yang mengadakan dan memberi ijin bagi kosmos untuk berputar dalam harmoninya.


Mengenai mikro kosmos, secara fisik memang adalah bagian dari makro kosmos, tetapi secara utuh, mikro kosmos mempunyai teritori dan konten sendiri yang mengelilingi inti kosmos.
Pendekatan mikro kosmos ini sebagian telah penulis jelaskan dari konsep jiwa psikoanalitik dan Qur’aniyah. Dalam psikoanalitik, Self adalah pusat dari kosmos jiwa, tetapi di dalam self bersemayam arketipe imago dei; yaitu arketipe yang menghubungkan mikro kosmos pada penguasa makro kosmos; arketipe yang memungkinkan manusia terhubung dengan Tuhan; dengan Penguasanya. Dari pendekataan Qur’aniyah, qalb menjadi pusat dari struktur kejiwaan dimana kompleks nafs dan misykat menjadi entitas – entitas terhubung dan mengelilinginya. Qalb, didalamnya mengandung Ruh al-Quds, yaitu utusan-Nya di dalam diri/self, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini.

Pendekatan Psikoanalitik ataupun Qur’aniyah menekankan adanya eksistensi mikro kosmos yang berpusata pada semacam entitas Illahiah yang tertanam dalam pusat jiwa. Pusat mikro kosmos. Inilah sifat interdependen sang mikro kosmos; Fisikaly, manusia tidak seberapa dibanding realitas jagad raya makro kosmos, tetapi, manusia adalah jagad mikro kosmos yang dapat langsung terhubung dengan Tuhan. Sang Penguasa makro kosmos. So, walaupun secara struktur dan konten, mikrokosmos mempunyai eksistensinya sendiri dan otonom. Tetapi mikro kosmos dan makro kosmos berpusat pada core yang sama; Tuhan. Sang Penggerak yang tak digerakkan.

Friday, November 5, 2010

Dari Jalmo ke Manungso


Apa jadinya,jika di dunia ini penuh dengan orang – orang yang hidup tanpa memahami arti keberadaanya di dunia:

Siapa dirinya?

Untuk apa dia hidup?

Apa jadinya jika dalam suatu peradaban, orang-orangnya telah terlatih untuk sebesar-besarya menumpahkan hasrat proyektif, interpelasi, hasutan?

Jawabannya, Ya seperti sekarang ini!

Saya jadi teringat pada keluh kesah Ki Ageng Soerjomentaram, seperti yang dikutip Darmanto Djatman:”Seprana-Seprene, aku durung tau ketemu wong” (dari dulu hingga sekarang, aku belum pernah bertemu orang).

Saya menekankan kata wong (orang) dari kalimat yang diucapkan dalam bahasa jawa tersebut. Dalam bahasa jawa sendiri, sejauh yang saya tahu, terdapat dua tanda bahasa yang menjelaskan manusia, yaitu: Jalmo dan manungso/wong. Manungso/wong, adalah tanda bahasa untuk menyebut orang yang benar-benar orang. Untuh. Otentik. Sedangkan jalmo, adalah tanda bahasa yang merujuk pada suatu entitas yang “mirip” manusia. Jalmo, hari ini lebih diidentikkan dengan makhluk halus, seperti jin, setan, siluman, atau makhluk jadi-jadian yang perwujudannya (jalmo/menjelma) seperti manusia. Tetapi secara filosofis dapat kita pahami juga, bahwa konsep jalmo adalah keadaan manusia yang belum menyadari tugasnya di dunia ini, sehingga belum menjadi wong/manungso (manusia yang utuh. penuh. otentik). Sebagai suatu fase dimana manusia belum menyadari eksistensinya, dapat juga berarti manusia (jalmo) dalam proses mencari dirinya, atau lebih ekstrim, jalmo tersebut kehilangan dirinya; tidak mengenali dirinya; terasing dari dirinya, dan semacamnya.

Lantas terfikir, bahwa, apakah modal sejarah –entah itu berupa kapital, pendidikan, sosial, religi, dan semacamnya- yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi* yang menuju pada realisasi diri? Menurut penulis, bisa ‘iya’, bisa juga ‘tidak’.

Jawaban ‘tidak’ bila jalmo, selama trajektori hidupnya, telampau menginternalisasi faktor-faktor esoterik sehingga tidak dapat mendengarkan suara hati. Bahkan suara hati yang mencuat, yang tidak sesuai dengan paradigma kesadaran, dianggap sebagai ancaman bagi kesadaran -dianggap patologis, irasional, pathetic, useless. Adaptasi yang dilakukan telah sampai pada mengorbankan keragaman subjektif, meleburkan diri pada karakteristik umum, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lain-besar hingga jalmo kehilangan, terasing, dan tidak mengenali dirinya sendiri. Intinya, berbagai usaha sejarah seperti pendidikan, pengetahuan, capital, cita-cita, selera, diseragamkan pada pilihan-pilihan umum sehingga jalmo sulit menyingkap dirinya menjadi wong.

Jawaban ‘iya’ apabila sejarah dimaknai sebagai suatu ijtihad mencari makna terdalam dari kehidupan individu terkait (jalmo). Pencarian ini –dilakukan dengan jujur- mengarah ke dalam diri (endoterik) dimana suara hati membisikkan kearah dimana individu harus melanjutkan proses hidupnya. Di tambah lagi, secara misterius, pilihan-pilihan dari bisikan hati tersebut sinkron dengan fenomena-fenomena esoterik yang dijumpai individu terkait. Jung, menamakan fenomena ini sebagai synchronize; Keserempakan antara keadaan psikis dan fenomena fisik secara tak terduga; Kebetulan yang bukan kebetulan; Kebetulan yang penuh makna. Contohnya adalah mimpi/firasat yang menjadi kenyataan, ide yang terealisasikan, pertemuan-pertemuan tak terduga, dan semacamnya. Jung percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan, yang ada adalah manusia tidak tahu dan tidak dapat memahami misteri kosmis yang tak pernah tuntas. ‘kebetulan’ ini mempunyai value yang begitu-dalam membekas di hati maupun pikiran. Jika mau jujur, momen-momen synchronity sangat mempengaruhi pilihan hidup jalmo kemudian. Inilah proses jalmo menuju wong/manungso.

Kembali pada pertanyaan: apakah modal sejarah yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi yang menuju pada realisasi diri? Maka melalui penjelasan diatas tersirat bahwa synchronity juga merupakan semacam panduan dari hati, step-step dari proses individuasi menuju pada realisasi diri. Penemuan diri yang asli. Penuh. otentik. penyingkapan akan tugas jalmo berada di dunia ini. Terapi bagi individu-individu yang mengalami krisis eksistensial. Jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial; Siapa dirinya? Untuk apa dia hidup? Dan seterusnya.. dan seterusnya..

Suatu proses panjang, dari jalmo menuju manungso..

Note (*):

Individuasi: Adalah suatu proses yang dilalui seorang pribadi (jalmo) menuju menjadi individu yang psikologis: yaitu satu kesatuan atau keseluruhan psikologis yang tak terbatas dan terpisah dari yang lain.