Saturday, November 27, 2010

Imaginary Friend: a piece of my childhood psychology (an Adlerian perspective)




My childhood was lonely; I was a lonely child. I don’t really know why it was, but I think it occurred because my character tended to be superior. However, I tended to dominate my sociality. I tended to dominate my peer groups. It had no problem with friends who have similar age range to me, but it became a problem toward number of friends who are elder than me. They thought I would be dangerous person toward their domination in such peer group; therefore, they used to insult and bother me when I gathered to the group. Their behaviors very distressed me. Although I couldn’t remember how often, how many and how numerous were it, but I can even feel it and, surely, It really hurt my heart.

What I used to do then, I isolated myself from my social or peer groups. Yet, I enjoyed being alone. I played my toys, made reliefs using sand and clay, watched TV alone. In my loneliness, as the matter of fact, I realized that I created an imaginary friend in order to company me within my days. The name of my imaginary friend is Batuk. I realized I gave it name to him and I don’t even know how I got it name. It just came to my mind, I gave it to him then he smile to me. Moreover, I simply realized that Batuk wasn’t real; he didn’t exist even though his appearance was so real, so obvious for me. It was just my imagination but I enjoyed when I had a play with him. In addition, I also created some imaginary friends soon after I created Batuk.

I don’t know why I added more imaginary friends. Maybe it caused by feeling that I really enjoy play with someone who never insults me, and always knows what I want. They used to company and entertain me anytime and anywhere I want. They kept me away for being lonely. I used to play something while imagine Batuk sitting next to me, even so, the other imaginary friends also play surrounding me and batuk. Actually, it was just my imagination and I was a loner who always lonely and did something alone. I forget how many imaginary friends I had created besides Batuk.

Thus, in my earlier social pattern age, I had a thought: If I involved in a group, I always tended to dominate it, but if I can’t dominate, it’d be better if I out of that group than become a follower within. The imaginary friend’s episode was emerged in my earlier life (when I was three years old).

My imaginary friends include batuk were gradually disappeared from my consciousness when I entered kindergarten. It is easy why they were gone; because I had new friends in my kindergarten. I felt joyful when I played with my kindergarten friend; hence, my willingness for having an ideal sociality through my imagination has completely gone.

For me, it’s easy to get superiority legitimation in school such as kindergarten and elementary school: get higher academic scores and be the top three pupils’/students’ rank. If I get those prestigious ranks, other students will give me a hood, and admit me as the clever student (this is my superiority complex pattern when I was in kindergarten and earlier time at elementary school). From those superiority complex experiences, I became more confident to join in any peer group and my big family.

I lately become aware that the profound character of mine tends to be dominance and won’t to be inferior.



Tuesday, November 16, 2010

Existence Precedes Essence; A transformation from paper news to e-paper news review



It is been long time newspaper to be an information and news provider consumed by society; Newspaper has been being popular among society. We can buy newspaper easily in shop, store, or other place. In fact, there are many newspaper publishers such as Kompas, JawaPos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Tempo, Time, The Jakarta Post, etc. It could be a sign that our societies need much information and those publishers provide a various number of news. But, the latest phenomena, the popularity of the internet rises dramatically. We have already known that the internet also provides information and news. In the other word, I believe the rising popularity of the internet will take over newspaper popularity in not too distant future. I support my statement with these reasons: news substance orientation and mobility.

First of all, It is often claimed when we read some news, all of we need is its substance –information, knowledge, announcement, etc. News media whether paper or e-paper (one of news formats in internet) is just an equipment to deliver the news. With the rising popularity of the internet, I believe people prefer choose e-paper to newspaper.

Secondly, nowadays, the mobile of the device is under consideration. It is common that e-paper easily accessed. We can access it from mobile phone, i-pod, laptop, i-pad, etc. Otherwise, newspaper is less mobile than e-paper. For example, when I go riding public transportation such as train, I prefer access The Jakarta Post using my mobile phone because it has small size, but I can enjoy the news as well as read it in news paper format which has large enough size. Thus, a mobile thing must be useful.

In summary, internet era which is full of mobility is inevetably. Soon, Information and news through internet will take over newspaper edition/format because people realize that all they need is the essence -news and information- in whatever its format –whether paper or digital format.

Sunday, November 14, 2010

Penggerak yang Tak Digerakkan



Pemikiran ini berawal dari aksioma bahwa dalam jagad raya ini terdapat dua kosmos, yaitu makro kosmos, dam mikro kosmos. Makro kosmos adalah kesatuan system – system raksasa di belantara jagad raya yang interdependen satu sama lain. Sedangkan mikro kosmos adalah manusia sebagai individu utuh, dimana padanya terdapat kesatuan system – system yang membentuk manusia sebagai individu yang otonom tetapi sekaligus terkait dengan system makro di sekelilingnya (interdependen).

Memang ini bukan hal yang baru, dan dengan mudah dapat kita jumpai dalam teks – teks Quraniyah, filsafat timur, maupun psikoanalitik.

Kemudian yang akan dibahas dalam kesempatan ini adalah;
Apa kesamaan dari makro dan mikro kosmos?
Apa inti dari kosmos – kosmos tersebut?



MAKRO KOSMOS
Kosmos adalah sebuah harmoni. Suatu rangkuman orkestrasi semesta dimana setiap entitas di dalamnya berfungsi dengan penuh dengan berpusat pada suatu ordinat.
Galaksi, suatu entitas – entitas raksasa jagad raya yang berbentuk cenderung melingkar atau cakra, dengan wilayah pusat yang terletak di tengahnya, merangkum dan dan menggerakkan berbagai entitas dalam suatu tempo yang rumit namun harmonis.
Dalam galaksi terdapat ribuan system solar. Salah satu system solar di Bima Sakti adalah rangkuman planet – planet dan berbagai entitas ruang angkasa yang terpusat pada sebuah bintang yang di sebut Matahari; Bintang yang menjadi polar dari planet, satelit, meteor, asteroid, komet, dan lain sebagainya (entitas ruang angkasa) merangkum semua itu dalam suatu pola harmonis dimana masing – masing berputar pada titik orbitnya.

Bahkan, atom, satuan terkecil entitas fisik, dalam kondisi normal membentuk suatu harmoni dimana electron setia mengelilingi protonnya.
Kurang lebih, seperti itulah pola – pola yang tampak dari berbagai kompleks jagad makro kosmos. Entitas yang lebih besar menjadi pusat dari entitas – entitas kecil di sekelilingnya. Entitas yang lebih kecil pun menjadi pusat dari entitas-entitas yanglebih kecil lagi disekitarnya. Terdapat kompleks – kompleks entitas yang mengelilingi titik tengah/ pusat dimana entitas lain bergerak dalam harmoni.

So, jika dari entitas terkecil (katakanlah atom) bergerak mengelilingi entitas yang lebih besar, maka pertanyaanya, entitas apakah yang terbesar -yang dikelilingi seluruh entitas - entitas sejagad raya?


MIKRO KOSMOS
Seperti penulis tulis diatas, mikro kosmos adalah menyangkut tentang pusat system psikis dalam diri manusia. Bertolak dari pola makro kosmos, penulis berspekulasi bahwa realita mikro kosmos-pun menyerupai pola – pola makro kosmosnya.

Terdapat berbagai entitas yang otonom, yang beragam, yang semuanya dirangkum oleh suatu titik yang membentuk pola – pola harmonis. Titik sebagai pusat ini memimpin kompleks mikrokosmos, mengatur entitas – entitas otonom dalam pola – pola yang memungkinkan semuanya terangkum dalam suatu irama yang harmonis.

Dalam psikoanalitik Jung, Keseluruhan realitas psikis terdiri dari kompleks-kompleks arketipal yang dirangkum oleh arketip Self. Self merangkum seluruh kesadaran, persona, shadow, anima, animus, dan sebagainya dalam suatu orkestrasi psike yang otonom tetapi sekaligus terhubung dengan pusat semesta/makro kosmos.



Melalui pendekatan Qur’aniyah, pola mikro kosmos nampak pada struktur jiwa dimana Qalb sebagai inti jiwa yang merangkum eksistensi nafs, kemudian misykat (pada lapisan terluar) sabagai kesatuan individual tak terpisahkan.




TITIK SENTRAL
Struktur makro kosmos dan mikro kosmos mempunyai harmoni, pola-pola, dan kerumitan – kerumitannya sendiri, juga entitas-entitas pembentuk yang berbeda satu sama lain. Tetapi dari pola dan struktur tersebut, persamaannya adalah adanya entitas-entitas yang interdependen satu sama lain, yang dirangkum memusat pada satu titik sebagai core-nya. Hanya ada satu core, sedangkan entintas – entitas yang terjalin mengitarinya jumlahnya sangat relative, walaupun begitu, jumlah tersebut selalu diasumsikan sebagai jumlah yang selalu lengkap (tidak kurang, tidak lebih). Pusat kosmos inilah yang memegang peran vital, menjaga stabilitas, harmoni, dan unite dari kosmos. Lantas apakah yang menjadi pusat dari makro dan mikro kosmos?

Penulis mencoba mendekati hal ini dari artefak budaya. Dalam hal ini, artefak hindu berupa patung dewa kresna dimana jari telunjuknya menyangga sebuah Chakra. Cakra disini bukan diartikan sebagai senjata untuk berperang atau melindungi diri, tetapi sebagai suatu miniature makro kosmos. Bidang cakra diinterpretasikan sebagai suatu teritori makro kosmos dari pinggir hingga ke tengah. Pada bagian tengah inilah pusat chakra; tempat dimana jari telunjukk kresna menyangga chakra, sehingga chakra dapat berputar pada orbitnya. Yang dapat juga diartikan bahwa pusat kosmos (chakra) adalah dewa. Dalam hal ini dewa khresna mengatur skenario bagaimana kosmos berlangsung; khresna bertanggung jawab atas penyelenggaraan kosmos.


Artefak yang hampir sama, juga tampak pada patung dewi Kwan Im (perlambangan dari sosok sumber kesejahteraan, kesuburan, kebajikan, dll, bagi makhluk hidup) yang berdiri di tengah bunga teratai. Bunga teratai ini disebut juga mandala; lambang rangkaian keseluruhan kosmos. bulat. penuh. Totok. Jadi, sumber kehidupan kosmos berada pada inti orkestrasi kosmis tersebut bekerja.



Artefak budaya yang juga melambangkan makro kosmos ada pada misitikus sufi. adalah tarian whirling dari Rumi. Tarian ini memperlihatkan seorang penari yang melakukan gerakan berputar seperti gangsing dengan memanjatkan ayat – ayat, dan kalimat indah kepada Allah (dalam cara islam). Penulis menginterpretasikan gerakan berputar seperti gangsing ini sebagai suatu gerakan kosmos dalam harmoninya. Sedangkan doa-doa yang dipanjatkan selama menari adalah semacam ijin pada-Nya agar penari dapat berputar-putar dalam waktu lama (yang tidak mungkin dilakukan seseorang dalam keadaan kesadaran yang biasanya). Dalam arti lain, kemampuan seorang penari untuk melakukan whirling dalam waktu yang lama (kurang lebih 30 menit) adalah berkat ijin yang diberikanNya. Bekaitan dengan makro kosmos, hal ini dapat diartikan bahwa Allah adalah dari pusat dan pemilik kosmos, karena Dialah yang mengadakan dan memberi ijin bagi kosmos untuk berputar dalam harmoninya.


Mengenai mikro kosmos, secara fisik memang adalah bagian dari makro kosmos, tetapi secara utuh, mikro kosmos mempunyai teritori dan konten sendiri yang mengelilingi inti kosmos.
Pendekatan mikro kosmos ini sebagian telah penulis jelaskan dari konsep jiwa psikoanalitik dan Qur’aniyah. Dalam psikoanalitik, Self adalah pusat dari kosmos jiwa, tetapi di dalam self bersemayam arketipe imago dei; yaitu arketipe yang menghubungkan mikro kosmos pada penguasa makro kosmos; arketipe yang memungkinkan manusia terhubung dengan Tuhan; dengan Penguasanya. Dari pendekataan Qur’aniyah, qalb menjadi pusat dari struktur kejiwaan dimana kompleks nafs dan misykat menjadi entitas – entitas terhubung dan mengelilinginya. Qalb, didalamnya mengandung Ruh al-Quds, yaitu utusan-Nya di dalam diri/self, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (amr) si nafs di dunia ini.

Pendekatan Psikoanalitik ataupun Qur’aniyah menekankan adanya eksistensi mikro kosmos yang berpusata pada semacam entitas Illahiah yang tertanam dalam pusat jiwa. Pusat mikro kosmos. Inilah sifat interdependen sang mikro kosmos; Fisikaly, manusia tidak seberapa dibanding realitas jagad raya makro kosmos, tetapi, manusia adalah jagad mikro kosmos yang dapat langsung terhubung dengan Tuhan. Sang Penguasa makro kosmos. So, walaupun secara struktur dan konten, mikrokosmos mempunyai eksistensinya sendiri dan otonom. Tetapi mikro kosmos dan makro kosmos berpusat pada core yang sama; Tuhan. Sang Penggerak yang tak digerakkan.

Friday, November 5, 2010

Dari Jalmo ke Manungso


Apa jadinya,jika di dunia ini penuh dengan orang – orang yang hidup tanpa memahami arti keberadaanya di dunia:

Siapa dirinya?

Untuk apa dia hidup?

Apa jadinya jika dalam suatu peradaban, orang-orangnya telah terlatih untuk sebesar-besarya menumpahkan hasrat proyektif, interpelasi, hasutan?

Jawabannya, Ya seperti sekarang ini!

Saya jadi teringat pada keluh kesah Ki Ageng Soerjomentaram, seperti yang dikutip Darmanto Djatman:”Seprana-Seprene, aku durung tau ketemu wong” (dari dulu hingga sekarang, aku belum pernah bertemu orang).

Saya menekankan kata wong (orang) dari kalimat yang diucapkan dalam bahasa jawa tersebut. Dalam bahasa jawa sendiri, sejauh yang saya tahu, terdapat dua tanda bahasa yang menjelaskan manusia, yaitu: Jalmo dan manungso/wong. Manungso/wong, adalah tanda bahasa untuk menyebut orang yang benar-benar orang. Untuh. Otentik. Sedangkan jalmo, adalah tanda bahasa yang merujuk pada suatu entitas yang “mirip” manusia. Jalmo, hari ini lebih diidentikkan dengan makhluk halus, seperti jin, setan, siluman, atau makhluk jadi-jadian yang perwujudannya (jalmo/menjelma) seperti manusia. Tetapi secara filosofis dapat kita pahami juga, bahwa konsep jalmo adalah keadaan manusia yang belum menyadari tugasnya di dunia ini, sehingga belum menjadi wong/manungso (manusia yang utuh. penuh. otentik). Sebagai suatu fase dimana manusia belum menyadari eksistensinya, dapat juga berarti manusia (jalmo) dalam proses mencari dirinya, atau lebih ekstrim, jalmo tersebut kehilangan dirinya; tidak mengenali dirinya; terasing dari dirinya, dan semacamnya.

Lantas terfikir, bahwa, apakah modal sejarah –entah itu berupa kapital, pendidikan, sosial, religi, dan semacamnya- yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi* yang menuju pada realisasi diri? Menurut penulis, bisa ‘iya’, bisa juga ‘tidak’.

Jawaban ‘tidak’ bila jalmo, selama trajektori hidupnya, telampau menginternalisasi faktor-faktor esoterik sehingga tidak dapat mendengarkan suara hati. Bahkan suara hati yang mencuat, yang tidak sesuai dengan paradigma kesadaran, dianggap sebagai ancaman bagi kesadaran -dianggap patologis, irasional, pathetic, useless. Adaptasi yang dilakukan telah sampai pada mengorbankan keragaman subjektif, meleburkan diri pada karakteristik umum, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lain-besar hingga jalmo kehilangan, terasing, dan tidak mengenali dirinya sendiri. Intinya, berbagai usaha sejarah seperti pendidikan, pengetahuan, capital, cita-cita, selera, diseragamkan pada pilihan-pilihan umum sehingga jalmo sulit menyingkap dirinya menjadi wong.

Jawaban ‘iya’ apabila sejarah dimaknai sebagai suatu ijtihad mencari makna terdalam dari kehidupan individu terkait (jalmo). Pencarian ini –dilakukan dengan jujur- mengarah ke dalam diri (endoterik) dimana suara hati membisikkan kearah dimana individu harus melanjutkan proses hidupnya. Di tambah lagi, secara misterius, pilihan-pilihan dari bisikan hati tersebut sinkron dengan fenomena-fenomena esoterik yang dijumpai individu terkait. Jung, menamakan fenomena ini sebagai synchronize; Keserempakan antara keadaan psikis dan fenomena fisik secara tak terduga; Kebetulan yang bukan kebetulan; Kebetulan yang penuh makna. Contohnya adalah mimpi/firasat yang menjadi kenyataan, ide yang terealisasikan, pertemuan-pertemuan tak terduga, dan semacamnya. Jung percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan, yang ada adalah manusia tidak tahu dan tidak dapat memahami misteri kosmis yang tak pernah tuntas. ‘kebetulan’ ini mempunyai value yang begitu-dalam membekas di hati maupun pikiran. Jika mau jujur, momen-momen synchronity sangat mempengaruhi pilihan hidup jalmo kemudian. Inilah proses jalmo menuju wong/manungso.

Kembali pada pertanyaan: apakah modal sejarah yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi yang menuju pada realisasi diri? Maka melalui penjelasan diatas tersirat bahwa synchronity juga merupakan semacam panduan dari hati, step-step dari proses individuasi menuju pada realisasi diri. Penemuan diri yang asli. Penuh. otentik. penyingkapan akan tugas jalmo berada di dunia ini. Terapi bagi individu-individu yang mengalami krisis eksistensial. Jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial; Siapa dirinya? Untuk apa dia hidup? Dan seterusnya.. dan seterusnya..

Suatu proses panjang, dari jalmo menuju manungso..

Note (*):

Individuasi: Adalah suatu proses yang dilalui seorang pribadi (jalmo) menuju menjadi individu yang psikologis: yaitu satu kesatuan atau keseluruhan psikologis yang tak terbatas dan terpisah dari yang lain.

Friday, June 18, 2010

"tuhan" Yang Memuai


Engkaulah gulita,
yang menghapus segala batasan dan alasan...

Engkaulah jalan,
menuju palung kekosongan dalam samudera terkelam...

Engkaulah sayap tepi,
yang membentang menuju tempat tak bernama...

(Dee: Supernova "Akar")


Tuhan dalam Silogisme

Pada konsep teologis berbagai agama, dengan mudah dapat kita baca akan adanya suatu yang “super” yang kemudian umunya disebut sebagai Tuhan, atau dalam agama-agama dikenal sebagai Allah, Yahweh, Trimurti, Zeus, Sang Hyang Tunggal, atau apapun namanya. Pada agama-agama, sebagai petanda keimanan pemeluknya, tak jarang tuturan yang menggambarkan kebesaran Tuhan sering diucapkan. Misalnya dalam Islam (agama saya) frase ‘Allahu Akbar’ mempunyai tafsir resmi kurang lebih: Allah itu maha besar.

Hari-hari ini, tersirat seakan-akan yang maha besar hanya satu: Tuhan. Yang lain cukup dengan “besar” saja. Selesai. Tak ada pikiran lagi. Dari sinilah problem menyeruak.


Begini:

Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.

Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih-dari-besar .

So, Gunung= Tuhan?

Atau begini saja,

Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.

Gunung itu maha besar>Gunung itu lebih-dari-besar.

Jadi, Gunung= Tuhan?


Tentu saja tidak . Tuhan tidak equal dengan gunung, tak juga dengan galaksi atau alam semesta. BesarNya jauh lebih dari gunung, galaksi, ataupun semesta. Sepertiya mustahil bila Sang-pencipta = ciptaanNya. Maka dengan mudah dapat dimahami Tuhan lebih BESAR (besar dalam arti apapun) dari gunung,galaksi, atau apapun.


Silogisme semacam itu sangat beresiko. Saya kira penafsiran terhadap premis mayor (Allahu Akbar>Allah lebih dari besar) sangat problematik sehingga belum bisa diperoleh premis minor (Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih dari besar) dan konklusinya (Gunung=Allah). Saya mempermasalahkan premis mayor dalam hal penafsiran.


Nalar Pemuaian – Pemuaian nalar

Seperti halnya sifat kosmis. Segala sesuatu di alam semesta ini tumbuh/memuai. Dari galaksi, hingga sel-sel tumbuhan, semua memuai. Begitu pula dengan dunia kata. Ternyata dunia kata pun memuai, dalam artian seperti: semakin banyak sinonim, semakin beragam makna. Misalnya, gunung itu besar sekali; gunung itu besar banget; gunung itu sangat besar; gunung itu buesssaaarrrr. Kata-kata itu menunjukkan ukuran kalau gunung itu lebih-dari-besar (banget, sekali, sangat, menyangatkan). Bisa juga dikatakan “gunung itu maha besar”.


Hari ini, pemakaian frase “Allahu Akbar” tak lagi berarti “Allah maha besar”. Dalam pemahaman saya, penafsiran bahwa “Allah itu maha besar” hari ini kurang memadai. Esensi yang saya tangkap besarNya adalah teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya karena tidak terdefinisi oleh dunia kata. Sifat yang tak mungkin ditandai dalam kata-kata; melampaui dunia kata. Dunia kata itu ada batasnya, tetapi Dia tidak. Yang jelas apapun dan bagaimanapun definisinya, tidak ada yag lebih besar melebihi Tuhan. Namun esensinya tetap sama; Tuhan besarnya teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya tidak terdefinisi oleh kata-kata. Yang jelas, bagaimanapun definisiNya, tidak akan pernah mampu men-define-Nya penuh-seluruh. Dalam teori pemuaian, bukan berarti besar (Ukuran) Tuhan memuai, tetapi definisi, pemahaman dan pengenalan manusia terhadap Tuhan-lah yang memuai; semakin besar, semakin cair, semakin…..


Lebih dari semua itu, akhirnya saya sampai pada kesimpulan sementara: Sebaiknya kita tak perlu mendefinisikanNya, karena tak ada yang akan kita peroleh kecuali sia-sia belaka, termasuk apapun dalam tulisan ini yang berupaya mendefinsikanNya..


Di sabtu pagi yang cerah, diselimuti hawa sejuk, secangkir kopi, dan sebatang rokok...

Wednesday, May 26, 2010

KERINDUAN PADA GUNUNG


Aku tak peduli badai ini

Aku tak peduli kabut ini

Sungguh, sungguh aku tak peduli

Aku akan tiba di tempatMu

...

Aku tahu di atas sana

Angin bertiup kencang

Aku tahu, di atas sana

Udara bertiup dingin membeku

Tetapi aku juga tahu

DiriMu di puncak sana

...

Akan kupanggul kerier ini

Akan kudaki gunung ini

Selangkah demi selangkah

Setapak demi setapak

Setiap tetes keringat yang mengucur

Seperti itu pula kerinduanku padaMu

Setiap hembusan nafasku yang memburu

Seperti itu pula keinginanku
merasakan indahMu

...

Tunggu, tunggulah aku…

Aku akan datang

Ke tempat DiriMu berada

Tunggu, tunggulah….

Aku akan datang

Memeluk mesra DiriMu

Tidur di pangkuanMu

Dibelai halus tanganMu

Di antara hamparan eidelweis

Di tengah – tengah taman surga.

Friday, May 21, 2010

FABULOUS SUNRISE PICTURES OVER THE MOUNTAINS IN JAVA ISLAND OF INDONESIA


It's a well-known fact that Indonesia, as Tropical-Archipelago country, has lots of mountains either active or not. People call it "ring of fire" because Indonesia lies on Earth's active volcano line. You can re-check it In Indonesia Map. There are around one thousand mountains lies extend along Indonesia territory. As we known, the landscape sight over the mountain is majestic. You can see the clouds under your feet, take a look to the land over the mountain summit, touching edelweiss; the everlasting-flower, going through Pine forest by foot, facing uncategorized flora and fauna, and also enjoy sunrise and sunset over the mountain.

Especially for sunrise and sunset, I'd stress that those are very beautiful moments with very beautiful views. Likewise mountains in Indonesia, the sunrise and sunset are very panoramic sight. I convince that you would be stupefied when you would have watched the sun ascending or descending over the horizon.

Moreover, one of my hobbies is mountaineering. The main activity of mountaineering is capturing sunrise and sunset pictures. It was very exciting activity to take a beautiful picture. I love to take landscape pictures much. Now, I’d like to show you some of sunrise and sunset pictures I had ever taken couple years ago. Here we are:


This picture had been taken from Bubrah summit of Merapi Mt. when I went there,



This Sunset view was taken when I was climbing Merbabu Mt.,




I took this picture when I had almost reached Sumbing Mt. peak.



It was taken from a shelter (camping ground) on Sindoro Mt. Slope.



I captured it from Penanjakan summit of Tengger Caldera, near from Bromo Mt.



Cette photo a été prise alors que j'étais debout sur le troisième sommet du Mt Merbabu.




Je aime bien cette photo. Je l'ai pris quand j'étais debout dans Ungaran Mt. en Indonésie


Whenever you're ready, l suggest you to visit and climb Indonesia's mountains.. I bet you'll be stunned with its fabulous landscapes..

absolutely, those experiences are simply unforgetable memories for me..

Wednesday, April 28, 2010

BELAJAR MENGEJA LIBIDONOMI



..The sheen of silk. Draped across a mannequin..Oh, the smell of new Italian leather shoes.. Oh.. The rush you feel when you swipe your card.. And it’s approved, and it all belongs to you! The joy you feel when you’ve bought something, and it’s just you when you and the shopping. All you have to do is hand over a little card. ISN’T THAT THE BEST FEELING IN THE WORLD? Don’t you wanna shout it from the mountaintops? And you feel so confident.. alive.. And happy.. And warm..”


-Rebbecca, in Confession of shopaholic the movie-


Sistem ekonomi yang menjadikan eksplorasi libido sebagai komoditas utama untuk mendatangkan keuntungan/profit/income biasa disebut Libidonomi (Libidonomics).
Untuk menjelaskan libidonomi, kata kuncinya ada dua, yang pertama ‘ilbido’ dan yang kedua ‘ekonomi’. Pembahasan mengenai libido, banyak kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran Psikoanalisis Freudian. Sedangkan pembahasan sistem ekonomi lebih umum membicarakan kegiatan produksi,distribusi dan konsumsi.

Libido, Dan Penjungkirbalikan Superego
Tampaknya nalar ekonomi kapitalis sangat mahfum dalam memperlakukan komoditas yang tak habis-habisnya dieksplorasi; libido. Sedikit saja pendekatan Psikoanalisa; Libido adalah nama lain dari id. Hal ini adalah pangkal dari segala keinginan manusia. Tindakan manusia bermula dari libido yang loloske ranah praksis oleh keputusan ego yang sudah mendapat persetujuan superego. Pun dalam mempersepsikan kebutuhan. Hal ini tidak bisa lepas dari konsensus struktur id-ego-superego untuk memenuhi keinginannya, karenanya, kebutuhan bisa juga diartikulasikan sebagai hasrat libidinal (keinginan) yang disetujui ego dan superego untuk segera dipenuhi. Jadi, dalam tiap tindakan manusia, selalu ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ini adalah suatu peluang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan lain, menarik sekali menyimak pendapat Tung Desem Waringin (TDW), bahwa libido, tidak pernah berkata ‘tidak’ terhadap segala stimulus yang datang. Sifatnya liar, pemburu kenikmatan, hanya bisa berkata ‘ya’, dan selalu ingin dipenuhi dorongannya. Di sisi lain, hanya superego yang dapat mengatakan ‘tidak’ sehingga gejolak libidinal terlarang (karena ditolak superego) itu ditekan ego ke alam nirsadar yang entah selamanya disana, atau sewaktu-waktu dapat diakses kembali oleh ego.
Dari penjelasan diatas dapat juga diartikan, agar dorongan libido lebih leluasa mendapatkan akses pemenuhan, maka informasi-informasi oposisional yang mengkonstruk superego harus disesuaikan dengan kepentingan interpelatif ideologi (tergantung siapa/apa Subjeknya. Dalam hal ini Subjeknya adalah kapitalisme). Nah, dari titik inilah dapat mengintip proyek besar kapitalisme dalam membebaskan libido dengan cara menjungkirbalikkan superego yang semula menjadi cambuk bagi id, berbalik menjadi permisif/sekutu id.
Bagaimana caranya agar proyak besar ini bekerja? Dengan menguasai pos-pos strategis kebudayaan dan mengisinya dengan values budaya konsumtif: (1)Penguasaan terhadap pop culture. (2)penguasaan terhadap media massa. (3)perluasan pusat-pusat konsumtivisme, ditambah (4)kegilaan marketing yang siap memenuhi ruang hidup individu-individu kapanpun dan dimanapun. Jika ruang hidup telah dikuasai, disadari atau tidak, perlahan-lahan values yang dibawa budaya konsumtif menginfiltrasi values lain yang mengkonstruk superego. values yang tidak linier atau bahkan bertentangan dengan budaya konsumtif di-eliminir. Mudahnya, nilai-nilai budaya terdahulu yang mengkonstruk superego digantikan nilai-nilai budaya terkini; budaya konsumtif.
Jika konstruk nilai superego telah sesuai, atau relatif sesuai dengan kepentingan kapitalisme (budaya konsumtif), disitulah tanda keberhasilan kapitalisme menjungkirbalikkan superego konvensional (superego-kantian, kata Zizek).
Di saat konstruksi superego yang didominasi value budaya konsumtif, saat itulah konsensus id-ego-superego akan lebih mudah meloloskan dorongan libidinal sebagai kebutuhan. Sedangkan, di waktu yang sama, diluar, kapitalisme telah menunggu dengan menyediakan berbagai brand dan varian produk bagi dorongan tersebut. Semua produk seakan-akan bisa memuaskan dorongan libidinal. Semua itu “berpenampilan sexy” agar cepat direngkuh konsumen. Tetapi sebelumnya, semua itu butuh transaksi ekonomi.
Jika superego telah merestui kegilaan libidinal id, maka ego tinggal mengeksekusinya:Saatnya terjun dalam arena konsumsi!

Perangkap Jouissance!
Struktur kepribadian seperti inilah yang jadi lovely victim kapitalis; individu-individu bekerja keras mencari dan mengumpulkan uang untuk kemudian melampiaskan hasratnya dalam arena konsumsi. subjek-subjek semakin tenggelam dalam budaya konsumtif, dan kapitalis semakin menikmati added values-nya.
Karakteristik libidinal dapat dipahami ketika dorongan itu terproyeksi pada suatu objek. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, dorongan libidinal tidak pernah melekat tetap pada satu objek. Dia selalu berpendar-pendar pada berbagai macam objek dan juga terus menerus menuntut untuk dipenuhi. Ketika telah mendapatkan satu objek, kemudian muncul dorongan untuk mengkonsumsi objek lain.
Ini disebut jouissance. Memiliki, tetapi bersamaan dengan itu kehilangan. Isi, tetapi kosong.
Individu berusaha memenuhi suatu dorongan. ketika terpenuhi, dorongan terhadap objek itu hilang dan berganti dengan objek lain, yang belum terpenuhi. Begitu objek lain terpenuhi, di waktu yang sama, dorongan telah berpindah ke objek yang lainnya lagi. Jouissance, suatu keadaan yang seakan-akan telah mengkonsumsi untuk memuaskan dorongan kesenangan, tetapi sesungguhnya kehilangan karena objek dorongan telah berganti. Tidak ada kepuasan disini -kalaupun ada, hanya sedikit. Dan untuk menutupi perasan kecewa karena tidak puas (juga tidak senang), individu berusaha lagi dan lagi menuruti keliaran libido, namun lagi-lagi terperangkap jouissance. Seperti sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu untuk berlari mengejar fatamorgana-fatamorgana dan kemudian mendapati kekosongan. Berlari lagi, lagi dan...

Bersamaan dengan itu, sirkulasi uang masuk ke rekening pemilik mesin produksi massal dan stake holder yang terkait semakin cepat membesar, dan semakin cepat terurai lagi dalam aktivitas arena konsumsi.

PEOPLE WITH EXHIBITION SYNDROME



Some of us may have unusual experiences like this: Sometimes, when you are take a walk, or ride the bike from a place to another place, but on the middle of your trip, in a side of the street, suddenly someone appear and stand up while showing their private parts to you. Other sample: Once upon a day, a couple expressly open up their room windows when they making love inside. That causing someone other can watch their activity whenever pass besides. Another one: Deliberately someone wear off their underwear, or wear off their bra, so that we can see the privates shape over their clothes. Have you ever got that situation? If you ever, That are some typical behaviors of a man with Exhibition Syndrome Diseases. Exhibition Syndrome is a kind of psychical diseases that the sufferers tent to show up their genital organ to someone other in common places, or another else that similars. It is very unexpected psychically disorder. We have to understand than will solve it.

Exhibition Syndrome Diseases caused by traumatic moment of sexual experiences such as: humiliations, diffidentness, and discontentedness of sexual experiences. Almost people would pleased if they have good sexual ability. But if they get humiliating about their sexual ability as a rule they will disappoint than repressed. Some people have diffident feeling about their privates because they did not have proportional size. They believe the myth that someone acquire small-size genital thing, their sexual activities would be nasty. Almost of Exhibition Syndrome diseases caused by discontentedly from sexual experiences. Discontented feelings repressed more and more, than assembled into unconsciousness become a “traumatic complex”. So, This nastily experiences leave a traumatic sexual experience complex than construct a sexual disorders behavior.

Secondly, Every disease, illness, and sickness having typical pattern, and so it is with Exhibition Syndrome diseases. Most of the Exhibition Syndrome sufferer are male, although some of them are female. But it is rarely. Man with Exhibition Syndrome (Exhibition Syndrome sufferer) usually using common places to find their victims. High way, sidewalk, city park, movie theater room, and cafe are several place that sometime utilize by exhibition syndrome sufferer to perform their disorder behavior. Exhibition Syndrome sufferer would happy, proud, satisfy, and reach incredible orgasm when the victim wander, scare away, frightful, or panic with their (exhibition) activity. Otherwise, Exhibition Syndrome sufferer disappoint if the victim have a careless manner. Therefore, man with Exhibition Syndrome tend to approve their sexual ability to the other.

We can find solutions to solve the disease and recovery the sufferer’s condition. Guidance and counseling therapy it’s a good choice to repair their attitude and have sex-educations. Second solutions, we can using Hypnotherapy. This therapy taking over the consciousness into unconsciousness to repair the memories that contain “traumatic-complex” such as humiliation, diffindentness, and discontentedness of sexual experiences. Another significant part beside therapist are changing the environment. As we know, environment is a significant factor that determined our mind, attitude, and behavior. Sexual disorder behavior seems like Exhibition Syndrome could appear because of environmental pressure. Humiliation, incorrectly sex information, peer group, and myth of sex are several of environment part that have tension to arrange sexual disorder seems like exhibition Syndrome Diseases. So, several therapist methods could work to solve Exhibition Syndrome problem.

Overall, this explanation bring us to conclusion that we should know, people with Exhibition Syndrome Diseases are not our enemies, but they are people who needs help to repair their conditions become normal people again. People with Exhibition Syndrome are same with us, they need affection.

ENGLISH VILLAGE PARE - KEDIRI



















Every place, village, town, or city has their own history. Including Pare. On geographical view, Pare is located in Kediri Regency, East Java,Indonesia. Pare is a town. It is exist very long time before Kediri became a regency. As a village, Pare is known as English Village at Tulungrejo district. English Village began since two decade ago. This is a simple history about English Village, So it can explain that Pare is a place which has “English Village” in Kediri, East Java.

Nowadays, Pare has significant development, especially for its English Village in Tulungrejo. There are so many courses, such as ACCESS, BEC, The Daffodiles, Smart, etc., And figures: Mr.Kallen, Mr.Ramdan, Mr.Putut, Mr.Edi, Mr.Ten, etc., Camps: ACCESS, Marvelous, GLOBAL, Mahesa, etc. Students in Pare from not only around Java but also Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok, Papua, and other place in Indonesia. A few student also inative Indonesian: Arabian. They are in Pare to study English. The students study English in camps/class that is suitable with their needs and purposes, such as general English, speaking, writing, reading, Listening, translating, grammar, pronunciation, Expression, Idiom,TOEFL, IELTS, First Certificate, English Culture etc. However figures, courses, students, and alumnus contribute in Pare’s development recently.

People always change all the time. Talking about “changing” we should discus globalization. Global challenge era implicates International roles, Politic, Economic, Culture, Interest, language, etc. Globalization is derived from the word “global” having similar to “international”. It means people are to learn English for global communications, interactions, interest. English skill are an obligation to face globalization. Pare as an English Village provides the strategic position to learn English. In Pare, people can speak English through various methods. So, English is a must. English is an obligation when globalization comes true, and study English in Pare is a right choice to face globalization. As an English Village, Pare has more effective and efficient methods than others place.

HEART APOCALYPSE



Sayangku..
Mendekatlah..
Mendekatlah ke sumber cahaya
Agar engkau tak menggigil kedinginan

Mendekatlah pada pijar yang menghangatkanmu
Bersama wangi secangkir teh

Sayangku..
Cahaya itu tak ada di luar sana
Cahaya itu bukanlah sesuatu atau sosok diluarmu
Cahaya itu ada dalam dirimu,
Hatimu..

Dan aku?
Aku hanyalah suara-suara..
Suara yang mengajakmu mendekat pada cahaya itu
Pada hatimu..

Sayangku..
Keberanian-hidup bukan tentang,
Seberapa cerdas engkau
Seberapa tumpuk teori-teori yang kau punya
Ada berapa buku-buka motivasi-mu
Atau berapa nominal ATMmu

Keberanian-hidup, bukan di kepalamu
Sayangku.. Keberanian-hidup bersarang di hati
Rasakan.. Pijarnya kan menghangatkanmu

Dan aku?
Aku akan berkata:
“mendekat.. mendekatlah pada hatimu
Rasakan hangat yang menjalari tubuhmu, dan..
Katakan ‘YA’ pada hidupmu”


Thursday, March 25, 2010

Kepentingan Alam Vs Kepentingan Manusia



Taoist: “Is there anything in the world more marvelous than the forces of Nature?”

Hui Hai (Zen Monastery): “There is..”

Taoist: “And what is that?”

Hui Hai: “The power of comprehending those natural forces.”

 

Jaman Kolobendu

Klasifikasi jaman yang pernah dituliskan Roggowarsito[1] dalam serat Joyoboyo[2], manusia akan melalui sebuah zaman yang disebut ‘zaman kolobendu’, yaitu zaman yang penuh dengan bencana, penjungkirbalikan, kerusakan dan pengrusakan serta berbagai macam kegilaan, sehingga muncul idiom “sing orang edan ora uman” (yang tidak edan tidak kebagian). Tidak heran jika Dostoevsky berpendapat, hari ini, kegilaan (edan) adalah sesuatu yang ’sexy’. Dan kita sepakati saja bahwa sekarang umat manusia sedang berada di tengah jaman kolobendu seperti prediksi Ronggowarsito. Pokoknya percaya dulu saja.

Jaman kolobendu diantaranya ditandai dengan banyaknya bencana. ’Bencana’ dalam pengertian apapun, dalam bentuk apapun. Dalam tulisan ini lebih difokuskan pada apa yang dimaksud bencana alam seperti Banjir, gunung meletus, Kekeringan, Badai, Gempa, tsunami, dan semacamnya. Tetapi, dalam kesempatan ini kita tidak akan mendiskusikan dampaknya bagi manusia dan peradabannya, melainkan membahas ontologi dari fenomena ’bencana alam’ ini.

Bahwasannya, alam ini telah terbentuk berjuta – juta tahun lamanya, bahkan konon, enam kali lebih lama sejak manusia pertama (homo sapien?) ada di bumi. Bermula dari asumsi bahwa dalam perjalanannya, alam (khususnya bumi) selalu mencari dan menuju suatu keseimbangan, asumsi ini akan penulis gunakan untuk mengupas ontologi ’bencana alam’. Misal seperti berikut ini;

v     Wilayah disekitar gunung berapi berupa tanah labil nan subur adalah suatu keseimbangan karena pada saat erupsi, gunung memuntahkan berbagai material ”bergizi” bagi tumbuhan.

v     Pohon – pohon di tanah yang miring sebagai penahan aliran air hujan dan media peresapan air ke dalam tanah adalah keseimbangan.

v     Daerah katulistiwa lebih panas dan berbagai karakternya berbeda dengan daerah kutub adalah keseimbangan karena perbedaan intensi dan bidang penerimaan cahaya matahari.

v     Ketika ada herbifora, maka ada karnifora dan omnifora serta pengurai adalah keseimbangan.

v     Ketika jumlah tikus semakin banyak, penanda dari ular sebagai pemangsa alaminya mengalami penurunan jumlah adalah juga keseimbangan.

v     Pun pada saat musim panas, debit air per-milimeter semakin sedikit dan pada saat musim hujan semakin banyak adalah keseimbangan.

v     Ketika suhu bumi naik menyebabkan pulau – pulau es di kutub mencair berakibat pada permukaan air laut naik adalah keseimbangan.

Kembali ke ’bencana alam’. Mari kita lihat suatu fenomena yang oleh manusia disebut ’bencana alam’ dalam perspektif keseimbangan alam.

Pada Planet bumi, terdapat gravitasi. Segala keseimbangan alam akan tercipta manakala tidak bertentangan dengan gravitasinya;

v     Misalnya benda yang terlempar setinggi apapun, selama masih dalam cakupan gravitasi, maka benda itu akan jatuh.

v     Air mengalir, selalu mengalir menuju permukaan tanah yang lebih rendah.

v     Jembatan yang tidak kuat lagi menahan beban maka akan ambrol.

v     Benda yang volume dan massanya lebih besar, maka bobotnya lebih berat.

Fenomena di atas membuktikan bahwa bagaimanapun, keseimbangan alam berbanding lurus dengan gravitasi. Dalam proses pencapaian keseimbangan -entah apapun dan bagaimanapun konstelasi dan komposisi yang menyusunnya-  dari awal terbentuknya bumi hingga entah sampai kapan, keseimbangan alam akan selalu menyertakan gravitasi dan tidak akan menghianatinya.

 

Manusia:Sang khalifah penggeser keseimbangan alam?

Dari sudut pandang evolusi, manusia adalah hewan berakal sehingga mereka mampu mengeksplorasi alam dengan akal/kecerdasannya. Hanya manusia yang berpotensi merekayasa, memodifikasi, memanage, meng-akal-i, menyulap, mengeksplorasi, hingga menggeser konstelasi keseimbangan alam. Realitanya dapat kita saksikan manakala hutan belantara diubah menjadi perkebunan, bahkan pemukiman dan kota – kota urban. Mengeruk, membelah bukit  untuk lintasan jalan Tol, juga untuk mendapatkan mineral – mineral berharga. Menggunduli hutan dan gunung untuk penanaman hortikultura. Menyedot isi perut bumi untuk mendapatkan berbagai bahan bakar fosil. Dan berbagai macam eksplorasi alam lainnya.

            Dari sudut pandang keseimbangan alam, hal ini jelas mengganggu keseimbangan. Hujan yang airnya dapat diserap hutan malah mengalir langsung dan membawa kompos yang menyuburkan tanah. Tebing – tebing curam akibat pengeprasan bukit sewaktu – waktu dapat longsor apabila tidak seimbang dalam menahan beban gravitasi, Penambangan yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan stabilitas bentuk/kontur permukaan tanah. Polusi akibat aktivitas manusia mengganggu stabilitas atmosfer. Menipisnya atmosfer akan mengurangi fiterisasi dari sinar matahari sehingga sinar kandungan UV semakin pekat. Semakin banyaknya CO2 di atmosfer menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi, akibatnya pulau – pulau es di kutub mencair dan permukaan air laut semakin tinggi. Rumah kaca yang memantulkan sinar matahari mengganggu sejumlah sinar matahari yang harusnya diserap bumi, juga sinr yang dipantulkan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas atmosfer.

            Intinya, saya hendak menjelaskan bahwa aktivitas manusia terkait dengan alamnya disadari-tidak, sedikit-banyak, sebentar-lama kelamaan, mempengaruhi ’titik’ keseimbangan alam. Dan sebagaimana asumsi hukum alamiahnya diatas, bagaimanapun pergeseran yang terjadi, entah sebab proses alamiah atau karena tindakan manusia, alam akan selalu berusaha kembali menuju titik keseimbangannya.

 

Kepentingan alam vs kepentingan manusia

v     Mana yang lebih penting: Kepentingan manusia atau kepentingan alam?

v     Mana yang lebih mendasar: kekutan alam, atau kekuatan manusia dalam kehendaknya menguasai alam?

Jika seperti itu kategorinya, maka terdapat beberapa kemungkinan:

v     Jika kepentingan manusia dan kekuatan manusia dalam kehendaknya untuk menguasai alam adalah lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, alam harus menuruti sejauh-jauh kehendak dan kepentingan manusia apapun itu, walaupun menggeser titik keseimbangan alam, sang alam harus tetap meladeni serta tetap tidak boleh mengganggu rutinitas kepentingan manusia.

v     Jika kepentingan alam dan kekuatan alam lebih penting dan mendasar, konsekuensinya, manusia walaupun berpotensi mengeksplorasi alam, tetap saja tidak boleh sampai overlapping dengan kepentingan alam. Dalam bahasa lain, manusia harus sadar dengan ’aturan-aturan alam’ yang tidak boleh di langgar manusia.

 

Dengan akal sehat yang paling dangkal pun kita dapat mencapai simpulan bahwa kepentingan alam jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada kepentingan manusia. Tetapi realitanya, seiring eksplorasi manusia terhadap alam, tampaknya kepentingan manusia telah melampaui batas kepentingan alam. Dengan dengan kata lain, manusia telah mengganggu kepentingan alam; kecenderungan alam untuk menuju keseimbangannya. Akibatnya apa jika manusia mengganggu kepentingan alam? Tak ayal lagi, akibatnya adalah kepentingan manusia tergilas, tergerus, terkena dampak dari kepentingan alam selama proses menuju keseimbangan. Inilah yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut bencana alam: dampak buruk yang dirasakan manusia akibat dari proses alam menuju keseimbangan alamiahnya:

v     Air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah dan akhirnya ke laut. Jika manusia-manusia menempat-tinggali daerah yang akan dialiri air, maka manusia akan terkena dampak dari aliran air, apalagi bila debitnya jauh bertambah: biasa kita sebut bencana alam banjir.

v     Pada daerah yang tanahnya labil, seharusnya manusia-manusia yang tinggal diwilayah tersebut menyadari bahwa mereka hampir bisa di pastikan terkena dampak buruk dari pergeseran atau labilnya tanah:dalam bahasa sehari kita sebut bencana alam tanah longsor, bencana alam gempa bumi, dsb.

v     Api bila bertemu konduktor sangat potensial membesar kobarannya. Tapi bila api menggangu manusia dan kepentingannya, maka biasa kita sebut bencana alam kebakaran.

v     Sirkulasi cuaca dalam perbedaan tekanan ekstrem tertentu dapat membentuk badai. Jika terdapat manusia di daerah yang dilanda badai, maka biasanya kita menyebutnya bencana alam badai.

v     Cuaca peningkatan suhu iklim menyebabkan es kutub mencair, meningkatkan permukaan air laut dan perubahan iklim lainnya sebagai bentuk proses bumi menuju keseimbangannya. Jika ada manusia yang terkena dampak buruk dari perubahan iklim ini biasanya disebut korban bencana alam perubahan iklim.

Dan masih banyak lagi contoh lain yang mendeskripsikan dimana manusia telah melampaui batas-batas eksplorasi alam sehingga mengganggu stabilitas alam dan dampaknya kembali ke manusia.

Dalam batas-batas yang cukup primordial, bukankah bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan dari alam? Bahan baku manusia berasal dari alam. Sehingga muncul tesis bahwa manusia adalah mikrokosmos yang mewakili penjelasan bahwa dalam tubuh manusia terkandung seluruh zat yang tersebar di jagad raya (Makrokosmos) dan bumi adalah Mother Earth seluruh makhluk yang hidup di planetnya.

Dalam pemahaman ontis semacam ini rasanya penggunaan istilah bencana alam dirasa kurang tepat karena menurut penulis, sejatinya alam tidak pernah bermaksud membuat bencana, apalagi mencelakai manusia, alam ’bergerak’ sesuai dengan hukum-hukum yang melingkupi alam itu sendiri. tetapi manusia yang ternyata ’nakal’ dengan kepentingannya melanggar hukum-hukum keseimbangan alam. Dan manusia kalah, atau terkena dampak buruknya. Dalam bahasa kelirumologi-nya Jaya Suprana, istilah ’bencana alam’ mungkin termasuk simbol kata yang memiliki kesalahan logis yang mendasar menyangkut makna dan fungsi kata.

Menggunakan bahasa yang agak metaforis, eksplorasi manusia yang kebablasan tersebut layaknya anak nakal yang kelewat batas akan aturan-aturan ibunya sehingga sang ibu marah, atau menegur.

 

Akhirnya, dari penjelasan diatas, saya jadi berfikir: agaknya, pendapat Zen perlu direvisi..hmm,


[1] Ronggowarsito: Putra Raden Tumenggung Sastronegoro, lahir Pada hari Senin Legi tanggal 10 Zulkaidah tahun Jawa 1728 atau tanggal 15 Maret 1802 Masehi kurang lebih jam 12.00 siang

[2] Joyoboyo: Salah satu karya agung Ronggowarsito dimana dari awal kejadian alam semesta hingga kiamat, seluruhnya dibagi menjadi enam jaman.


Catatan Surveyor I




Hari-hari ini, aku benar-benar menjadi salah satu pecandu Facebook (FB) yang sehat karena tiap hari,bangun tidur,langsung buka facebook padahal muka masih ngantook (lho..lho.. malah berkicau). Ya, begitulah, kadang sampai tak sadar kalau credit balance sudah habis hingga loading mode-nya enggak berhenti-berhenti petanda enggak bisa mengakses koneksi GPRS. Haha.. tetapi Alhamdulillah pagi tadi bisa mengakses FB lagi. Lewat HP.

Kutekan kursor ke bawah, dan otomatis kulihat beberapa status dan tautan berderet rapi di beranda, ada teman status teman SMP yang metal abis, ada adik kelas kuliahan yang upload foto lagi narsis sama selingkuhannya, ada announcement kuis ngawur berjudul “Umpatan apa yang paling cocok buat kamu?”, ada status cinta-cintaan, ada status keluhan-keluhan (yang salah tempat dan sasaran), ada, yang statusnya seperti puisi enggak jelas, serta ada juga status pelayanan (untuk tidak menyebutnya propaganda).

Huaaahhmm.. (bentar, tk nyruput kopi.. -slruurlph.. akh.. hrrrghh!-)

Untuk jenis status yang terakhir, di beranda-ku banyak tuh yahg kayak gitu. Sung! misalnya pagi ini nih, begini katanya :

”ungkapan Bangsat,’pateni’ ketidakjujuran menunjukkan cara berpolitik yang memundurkan peradaban…(banyak yang salah pilih);;2014 jangan salah pilih lagi. Jadilah pemilih yang cerdas”

Emangnya peradaban itu maju,mundur, meninggi, menurun, bergerak kesamping, melompat-lompat, meluas, mendalam, atau menciut? Ahh, sudahlah..
Nah, ku ‘paste’ persis seperti aslinya, sampai tanda ‘titik-koma’ tercetak dobel pun kubuat demikian. Ya, tapi.. males amat sih mau komen, lha wong 2014 masih lama kok. Apalagi 2012 besok konon katanya kiamat.. hehe tapi akhirnya ku kasih ‘jempol’ dah.. ya itung-itung yang nulis status tuh orang penting yang gatel, kemudian nyeberang dari kiri ke kanan.. Akh, gpp-lah. Gitu-gitu juga manusia.. sorry juga nih,enggak nyebut merek. Ntr malah terjerat UUITE, piye jal?

Emang sih, ga tak ksi komen.. tp mlh bikin ngelindur..
Uhm, kembali ke statusnya. Kalau mau di telisik, mau di kupas, mau ditafsirkan dengan kerangka teori manapun, dengan metode secanggih apa juga, bisa. Tapi untuk apa? Wong saya lagi ngelindur kok.

Akan tetapi dalam kondisi ‘tidur-tidur ayam’ ini, seakan-akan status itu memicu ingatan saya tentang perjalanan ke sebuah desa miskin di sepanjang teritorial pantura, jawa tengah -namun orang-orang dan bahasa yang di pakai ternyata diimpor dari jawa barat. Desa ini tertelak di tengah-tengah persawahan milik tuan-tuan tanah yang bukan penduduk desa itu. Sebut saja desa ‘Pakenton’ (atau apalah,sesuka anda).

Kepentingan saya dolan ke desa Pakenton adalah untuk keperluan survey menjelang Election Party membawa bendera sebuah lembaga survey terkemuka yang dipimpin ahli statistik lulusan luar negeri (keren enggak tuh?). Tp kemarin di tuduh aktivis LSM Bendera, kata mereka, lembaga ini menerima kucuran dana dari Bank Century (Century-Gate. Tapi sepertinya ga benar yak?).

Salah satu konsentrasi survey adalah untuk mengetahui kesiapan masyarakat menjelang pemilu. Ada beberapa ingatan yang mengalir pelan ke bantal tentang hal ini. Saya ingat ada yang penuh emosional mendukung partai ‘kambing hitam’ karena kemarin baru diberi stiker-nya oleh sang cucu. Benar-benar hanya stiker. Enggak ada yang lain. Ada juga simpatisannya pak Harto: “Mas,saya ini, hidup-mati,ikut pak harto,mas. Kalau enggak pak Harto saya enggak mau”. Okelah,saya bisa maklumi karena di desa ini enggak ada Koran. TV juga jarang. Baca Koran pagi-pagi sambil nge-teh dikira kompeni.

Itu tadi hanya kasus-kasus tertentu. Tetapi secara umum, hasil survey menunjukkan kalau masyarakat tidak mempunyai persiapan menjelang pesta nasional paling mahal. Padahal (waktu itu) pemilihan tinggal beberapa bulan lagi. Yang ada dipikiran penduduk desa Pakenton adalah: “besok makan apa?” masalah pemilihan umum,dipikir ketika hendak ke TPS dengan bekal bisik-bisik tetangga yang ternyata suksesor partai ‘moncong babi’ yang memang banyak ngepet di pedesaan seperti desa Pakenton. Apa yang dipilih para tetangga, apa yang dipilih sanak keluarga, itu yang dipilih. Padahal kelompok acuannya itu juga menunggu ndok blorok dari kabar angin kepetan babi. benar- benar mengamalkan sila ke -3, dan LuBer (langsung umum, bebas rahasia).

Yah, kira-kira begitulah desa Pakenton menyiapkan dirinya merayakan demokrasi-demokrasinan. Komplikasi lain yang seingat saya tidak tercatat hasil kuesioner adalah; rakyat memilih secara emosional (atau mungkin serampangan,ngawur,dsb) sesuai dengan tim sukses partai mana yang paling dekat dengannya. Dan itu baru di bahas ketika hari-H.
Sisi lainnya lagi, dari sisi surveyor, entah bagaimana interpretasi atas data statistik kuesioner itu nantinya, yang penting manipulasi atas celah-celah metodologi tersebut tidak menyalahi petunjuk pengisian, tidak mengurangi tingkat validitas, reliabillitas, dan yang paling penting tidak terkena spot-check.

Pengalaman lain di sebuah desa di perbatasan semarang-demak yang selalu sepi ketika siang dan angker kalau malam; yang HP kepala desa-nya selalu dibawa anaknya; yang kalau telfon ke rumah, diangkat oleh istrinya dengan nada marah-marah mengatakan “bapaknya tidak ada!”

Kita sebut saja desa ‘Nglebok’. Persiapan pemilu di desa Nglebok pun terjadi dengan instan, tetapi agak lebih canggih dari pada desa Pakenton. Disini yang dominan adalah partai ‘matahari ubanan’. Mereka bertransaksi dengan warga desa, untuk mencontreng partai caleg dan calon presiden yang diusung. Gantinya; pavingisasi jalan-jalan di sepanjang desa, dan pembangunan masjid desa (pembangunan masjidnya waktu itu masih pending, baru setengah jadi. mungkin akan diselesaikan setelah pemilu sambil melihat perolehan suara masyarakat desa Nglebok). Yang lebih canggih lagi, beberapa penduduk desa yag berpikir ‘progressif’, walaupun jalan-jalan desa telah di paving, mereka masih berani melelang ‘hak suara’ pada partai yang mau membeli dengan harga termahal. Nah,saya tidak ingat betul, apakah fenomena ini terungkap kuesioner yang hampir seluruhnya adalah pertanyaan tertutup.

Lebih canggih lagi, system ini ditangani beberapa warga (mungkin dengan musyawarah) ditunjuk sebagai negosiator pada partai-partai terkait. System seperti ini membuat warga desa Nglebok secara efektif dan efisien menentukan pilihannya pada saat pemilu. Jadi, kalau belum hari –H, yaa mikir kerjaan saja. Nanti pas hari-H, nyontrengnya sesuai dengan anjuran para Negosiator.. Hmmm.. mungkin systemnya lebih canggih lagi? saya tidak tahu.

Yang jelas, kesiapan responden yang disambangi surveyor jelas tidak ada. Bahkan ada pengangguran yang benci dengan pemilu karena menurut dia, pemilu bukanlah perjuangan aspirasi rakyat, tetapi, pemilu, dan partai-partai politiknya itu, tidak lebih dari sekedar tempat kerja, tempat cari duit bagi para eksponennya: kalau duitnya enggak kuat, aspirasinya enggak sampai. (entah siapa yang memberi pengertian/provokasi semacam itu pada pengangguran yang malang ini). Disamping itu, hampir sama dengan yang terjadi di desa Pakenton, di desa Nglebok ini juga ada simpatisan pak Harto, katanya:”Pada jamannya pak harto itu uenak mas, apa-apa murah walaupun itu uang negara hasil ngutang. Negara kere, atau apa.. biar. yang penting wong cilik seperti saya ini bisa menikmati harga murah, harga gabah tinggi. Selain itu, saya enggak peduli mas! tapi sekarang, apa-apa mahal, cari kerja susah, beli pupuk mahal, gabah dijual murah..”

Kira-kira seperti inilah yang mendasari masyarakat desa Nglebok untuk mengkomersiilkan dan melelang suara mereka pada partai-partai ‘haus darah’.

Dari desa Pakenton ke desa Nglebok, penulis memang menjumpai dan mewawancarai masyarakat akar rumput, bahkan secara pendidikan (formal), mereka juga akar rumput, tetapi dari sedikit itulah, penulis mencoba meraba-raba bagaimana masyarakat akar rumput menyikapi dan memperlakukan perayaan pesta demokrasi.

Eh, ada pengalaman lain. Kasus kali ini melibatkan penduduk yng secara pendidikan bukanlah termasuk grasroot. Mahasiswi, gitu loh. Singkat cerita, penulis dulu dekat dengan wanita ini. Hingga pada saat hari pemilihan, penulis mendapat SMS seperti ini:
“Mas, milih apa?”,
kujawab “aku atheis”.
Kemudian dibalas “atheis? lho kok enggak nyontreng?”
kutanggapi “enggak ada yang sreg”
dibalas “mas jahat”
“lho,kok?” balasku bingung
kemudian, tanggapannya mengagetkan “Mas Jahat!, kalau enggak nyontreng berarti mas enggak sayang sama aku!”
Saya jadi bingung; “apa hubungannya tidak mencontreng dengan jahat?”; “apa hubungannya tidak mencontreng dengan ‘sayang’”?
Nalar apa yang sebaiknya kupakai untuk memahami kalimat tersebut?
Oooohh.. akhirnya saya ingat kalau sahabat dekatnya adalah tim sukses dari partai ‘pohon dedemit’, juga tim sukses dari caleg partai ‘gurita narsis’ maka apapun yang di contrengnya pun tidak lepas karena kedekatan emosional dengan sahabatnya, sehingga kampanye bisa dilakukan dengan pendekatan personal. Dan mengikuti alur ini, akhirnya memilih partai, caleg, ataupun capres pun emosional. Ternyata, sekaliber mahasiswa, jika tidak mendapat pendidikan politik yang memadai pun, tetap sama saja dengan mereka yang secara pendidikan adalah grassroot.Cumonalism lebih kuat dari pada individual interest. Hmmm..

Tuh,khan ngelindur kemana-mana..

Lha terus, apa hubungannya dengan status FB yang diatas tadi?
Sederhana saja, status itu tak anggap semacam pendidikan politik; meningkatkan kesadaran politik rakyat (rakyat:yang punya FB, berteman dengan pembuat status,dan lagi OnLine) supaya 2014 tidak salah pilih ‘lagi’ partai calon legistalif ataupun calon presiden.

Bah, tetapi boro-boro bro, lama amat.. 2014. Masih nunggu 4 tahun. Lagian yang dimaksud Seperti kasus di desa Pakenton dan Nglebok, mana sempat mereka FBnan? Lha wong hari ini “mikirnya besok mau makan apa?” Bukan mikir 2014! Apalagi mikir menu makanan hari ini, dihubungkan dengan kesalahan memilih partai dan presiden? Cuma satu atau dua yang mikir seperti itu.

Bah,Kernet naik ojek;kagak nyampek jek……

Sepertinya jadwal sehari-hari mayoritas masyarakat negeri demokratis ini terlalu penuh sesak bila digunakan untukn berfikir 4 tahun lagi nyontreng apa? Kecuali secuil oknum masyarakat yang memang political interest-nya tinggi.

Duhh.. kopinya habis..


www.formspring.me/Hariez