Wednesday, June 25, 2014

Begawan Ran

Mi pangsit Mas Ran atau mi pangsit KUA. Begitu masyarakat Cepu dan sekitarnya menyebut sebuah warung di depan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cepu. Sejak saya di sekolah dasar sampai sekarang, warung mi pangsit Mas Ran ya begitu-begitu saja: tak bertambah lebar, tak bertambah bagus, tak memiliki bangunan permanen, dan tak membuka cabang. Kini yang agak berbeda adalah spanduknya. Dulu, berupa kain kuning bergambar sablon mirip si Unyil melet sambil pamer jempol. Kini, terpasang MMT bagus dari Mi Sedap.
Dasaran warung mulai digarap setiap sore. Jika air selokan meluap, warung Mas Ran pun tergenang. Anda dapat menikmati semangkuk mi pangsit berkuah panas mengepul kala gerimis di dalam warung yang kebanjiran. Pengalaman romantis bukan?
Displai warung yang sederhana itu tak mencerminkan cita rasa mi pangsit yang istimewa. Butuh catatan tersendiri untuk menceritakan betapa nikmat mi pangsit olahan Mas Ran. Dan, selama 15 tahun meracik mi, Mas Ran telah memiliki pelanggan setia. Singkat kata, mi pangsit depan KUA sangat lezat, sehingga tetap ramai konsumen hingga hari ini.

Tak Buka Cabang
Tulisan ini bukan reportase wisata kuliner, melainkan fokus pada beberapa pandangan dan sikap Mas Ran dalam berusaha. Dasar tulisan ini adalah wawancara insidental singkat beberapa waktu lalu.
Menggelitik bagi saya: manakala para usahawan berupaya mengembangkan bisnis seluas mungkin, baik dalam diversifikasi dan inovasi produk, marketing creative, branding management, service excellence, maupun pembukaan cabang di sana-sini, Mas Ran justru tampak mandek. Berkesan puas atas apa yang dia jalani selama ini. Bagi saya, itu ganjil. Padahal, dia memiliki modal fundamental untuk mengembangkan usaha. Pertama, resep mi pangsit yang istimewa. Kedua, memiliki banyak pelanggan setia.
Dalam skala internasional, dapatlah kita contoh ekspansi waralaba seperti Pizza Hut, KFC, atau Hoka-Hoka Bento yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, berbagai waralaba “-mart/-maret” kini memiliki cabang di setiap rukun warga (RW). Waralaba lokal seperti Pecel Lele Lela telah membuka cabang di beberapa provinsi. Begitu pula Warung Steak, Rocket Chicken, Special Sambal.
Perkiraan saya, selama 15 tahun ini seharusnya Mas Ran minimal bisa memiliki lapak permanen plus 10 cabang di beberapa kabupaten. Namun tidak. Mas Ran tidak mengembangkan usaha semacam itu. Justru itulah keunikan dan kebesarannya.

Universitas Mi Pangsit
Mas Ran memang tidak membuka cabang. Namun dia membidani kelahiran usahawan mi pangsit dan mi ayam di beberapa kabupaten. Warung mi pangsit depan KUA layaknya universitas yang mencetak sarjana-sarjana mi pangsit. Asisten Mas Ran adalah “mahasiswa-mahasiswa” yang sedang belajar meracik mi. Mereka juga belajar manajemen warung mi pangsit. Setelah mereka cukup menimba ilmu, “Professor” Ran memotivasi anak ideologisnya untuk secara mandiri merintis warung mi pangsit atau mi ayam. Bukan cabang dari mi pangsit KUA. Itulah alasan mengapa Mas Ran tidak memiliki cabang. Mas Ran lupa, atau lebih tepatnya tak pernah berniat menghitung, sudah berapa warung mi ayam yang sukses dibuka oleh mantan anak buahnya.
Itu tentu dia sadari dan dia sengaja. Mas Ran tak berkehendak membuka cabang warung mi pangsit KUA dan menjadi pusat jejaring cabang itu, lalu memperoleh penghasilan lebih banyak, kemudian memutar modal tersebut untuk ekspansi jaringan cabang yang lebih masif lagi. Tidak. Dia justru memosisikan usahanya sebagai “kampus” gratis bagi para calon usahawan mi ayam. Menarik. Selain membagi ilmu, setiap bulan Mas Ran juga menggaji “para siswa” itu.
Dalam nalar persaingan bisnis, tak seharusnya dia melakukan itu. Sebab, para mantan murid Mas Ran sangat potensial menjadi pesaing untuk berebut konsumen. Kecuali, mereka membuka warung mi ayam cabang Mas Ran, sehingga relasi usaha mereka lebih bersifat koordinatif daripada kompetitif. Namun kenyataannya itu tidak jadi masalah bagi Mas Ran. Mantan anak buahnya pun menggantang mi ayam mereka masing-masing. Entah bernama Mi Ayam Chibi-Chibi, Mi Ayam Unyu-Unyu, atau Mi Ayam Posmodern. Entahlah.
Oh iya, perlu digarisbawahi, asisten-asisten Mas Ran tidak datang dari golongan yang mampu secara finansial. Mereka bekerja di warung Mas Ran karena tidak memiliki dana untuk melanjutkan pendidikan formal. Juga tidak memiliki modal untuk membuka usaha. Di warung itulah mereka memperoleh kesempatan menjadi usahawan mi pangsit dengan modal ilmu dan tabungan finansial.
Asisten Mas Ran datang dan pergi. Melihat mantan anak didiknya berdikari merupakan kebahagiaan tersendiri bagiMas Ran.

Potret sang Begawan
Saya tidak habis pikir. Itu luar biasa. Mas Ran melewatkan kesempatan menjadi the wealthy, orang kaya. Dia memilih tidak menjadi usahawan mi pangsit terkemuka dengan cabang di sana-sini, walau bisa melakukan. Bahkan dia menjalani hari-hari secara bersahaja, jauh dari definisi usahawan sukses.
Jelaslah, Mas Ran meletakkan ilmu dan keterampilan membuat mi pangsit di jalan darma. Dia tidak mematok harga pada orang yang ingin belajar membuat mi. Dia pendidik sejati yang tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah, tunjangan sertifikasi, tunjangan kinerja, apalagi remunerasi. Dia telah sejak dahulu kala memutuskan menjadi tuan yang merdeka dengan menggaji diri sendiri dan menggaji “para mahasiswa”-nya.
Mas Ran tak akan pernah tercatat dalam jajaran pengusaha Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dengan nama flamboyan dan pencapaian-pencapaian yang mletik, apalagi mau masuk ke ranah politik. Kebesaran Mas Ran adalah anonim. Tidak banyak orang tahu. Orang yang tahu pun tak banyak yang paham, bagaimana dia melakukan program pemberdayaan masyarakat secara swadaya menggunakan warung mi pangsit. Tak perlulah Mas Ran mengajukan “proposal pengabdian masyarakat” ke pemerintah. Untuk apa? Tidak akan pula berbagai perguruan tinggi di dunia ini tebersit memberikan titel doctor honoris causa (Dr. H.C.) untuk Mas Ran.
Tak banyak orang tahu, di balik sosoknya yang bersahaja, Mas Ran adalah begawan. Anonim yang begawan. Tentu di luar sana banyak sekali Mas Ran lain. Namun mata dunia ini tidak cermat menerawang ke kedalaman dan keindahan dunia rohani itu. Selain, tentu saja, lebih mudah mengamati dunia permukaan dengan jaring-jaringnya yang rakus itu. Iya kan?

Note: Hidden mesage Artikel ini termasuk mengajak pembaca berfikir ulang bahwa Sufi itu tak harus seperti Al Gazali, Rumi, atau Abdul Qadir El Jelani. Namun, jika kita mau memperhatikan, bahkan seorang penjual mi ayam pun diam-diam adalah sufi.

Wednesday, May 7, 2014

Teknologi Internal untuk Perlindungan Anak - Anak

Sepertinya para buyut kita benar – benar memahami berbagai bahaya nyata yang setiap saat bisa mengancam jiwa kakek – nenek kita yang masih innocent. Bahaya peluru nyasar, bom, ranjau darat, granat meledak, hingga tebasan samurai selama masa – masa perang pra-kemerdekaan merupakan bahaya nyata dan tak terduga karena bisa terjadi sewaktu - waktu. Dapatlah kita bayangkan kalau buyut – buyut kita tidak memperhatikan keselamatan kakek – nenek kita dengan serius. Sangat mungkin kakek- nenek kita mengalami cacat permanen atau bahkan meninggal di usia belia. Implikasinya, bapak ibu kita batal lahir. Sejarah berbelok. Dan kita akhirnya hanya menjadi sekian persen probabilitas masa depan yang gagal dinyatakan.

Bagaimana buyut – buyut kita melindungi kakek – nenek kita dulu?
Dengan diawasi 24 jam oleh emak?
Menyewa body guard?
Mempekerjakan baby sitter?
Hiring Shadow teacher?
memelihara Bulldog sebagai Children guard?

Barangkali ada yang menempuh cara - cara semacam itu. Namun yang menjadi fokus saya adalah penggunaan teknologi internal sebagai ‘guardian’ kakek – nenek kita. Kalau anda pernah mendengar ungkapan ‘biyen cah – cah cilik ki diisi’(dulu anak – anak kecil itu diisi), maksudnya ‘diisi’ adalah kakek-nenek kita dulu dibekali suatu energy (yang disalurkan dari buyut – buyut kita, entah melalui doa, atau azimat) supaya mereka kebal terhadap peluru, bom, dan senjata – senjata tajam. Dengan begitu kakek – nenek kita terhindar dari kematian ataupun kecacatan permanen yang disebabkan bahaya – bahaya nyata masa – masa perang.

Bagaimana dengan hari ini? Tampaknya teknologi internal warisan budaya nenek moyang tersebut telah banyak ditinggalkan. Juga, bagi mereka yang masih menggunakan malah di cap sebagai orang – orang kuno, dukun, praktisi ilmu hitam, dikafir-kafirkan, dan semacamnya. Padahal, jika kita singkirkan stigma – stigma tersebut, dapatlah kita lihat bahwa warisan moyang kita tersebut memiliki banyak manfaat -baik filosofis maupun praktis. Secara filosofis, teknologi internal seperti di atas dapat diajukan kembali sebagai antitesis dari teknologi eksternal yang mengandalkan segala peralatan di luar diri manusia dan menyisakan manusia sebagai tabula rasa. Sedangkan postulat teknologi internal adalah manusia sebagai mikro-kosmos. Salah satu manfaat praktis teknologi internal adalah berfungsi melindungi keselamatan anak – anak kecil dari mara bahaya yang mengintai.

Itulah sekelumit certa lalu yang masih hidup di pojok – pojok dusun namun tak tertulis dalam buku – buku sejarah, dan tidak menjadi perbincangan di kampus - kampus. Jaman memang berubah dan selalu akan demikian.

Kebeliaan anak – anak hari ini dijaga dengah cara yang berbeda dibanding buyut – buyut kita dulu. Sanak family, bodyguard, baby sitter, CCTV, penitipan anak, PAUD, SD, hingga pasal – pasal perlindungan anak menjadi infrastruktur yang berfungsi menjaga anak – anak dari mara bahaya. Hanya saja, kehadiran system perlindungan semacam ini sifatnya eksternal. Ia tidak hadir secara internal bersama diri anak. Kelemahannya, 1) system eksternal ini menyisakan celah yaitu manakala di waktu – waktu tertentu mereka tidak hadir di sekitar anak – anak. 2) system eksternal seperti CCTV dan UU Perlindungan anak tidak berfungsi preventif manakala anak – anak berada dalam bahaya.

Berkaca pada tragedi pedofilia di Jakarta International School (JIS), dapatlah kita pahami bahwa kejahatan yang menyerang siswa – siswa JIS bekerja melalui celah – celah kehadiran system eksternal, yaitu ruang dan waktu dimana mekanisme perlindungan terhadap siswa tidak hadir -walaupun secara riil kita saksikan di layar TV betapa pemeriksaaan masuk ke JIS sedemikian canggih dan ketat. Namun begitu, ternyata tetap ada celah. Terlebih lagi, gerombolan pedofili JIS (yang bekerja sebagai petugas cleaning service –juga guru?) tentu telah mempelajari bagaimana pola kehadiran system penjagaan tersebut sehingga mereka mempelajari celah dan strategi eksekusi yang aman.

Memang generasi kita sekarang ini tak lagi menjumpai perang melawan pasukan kolonialis seperti yang dialami buyut - buyut kita dulu. Tak ada dentuman meriam, bom dijatuhkan, peluru nyasar, ataupun ranjau – ranjau di bawah rumput. Hari ini, bahaya yang mengancam anak dapat datang dari segala penjuru dan di segala waktu. Bahaya penculikan anak, children trafficking, hingga kekerasan seksual pada anak adalah sedikit dari sekian bahaya yang mengintai. Anak harusnya tidak sekedar mendapatkan perlindungan eksternal, namun lebih penting lagi, ia juga dibekali dengan perlindungan internal yang selalu hadir bersama si anak dimanapun dan kapanpun. Syarat keterpenuhan ruang dan waktu inilah yang menjadi keungulan teknologi internal sehingga kejahatan terhadap anak – anak seperti kasus Emon, JIS, maupun robot gedheg dapat dihindari secara efektif dan efisien.

Para orang tua masa kini harusnya memiliki kesadaran dan strategi perlindungan anak yang sedalam-setara dengan apa yang telah dilakukan oleh para buyut kita. Namun kenyataannya, system perlindungan anak yang dewasa ini banyak diterapkan masih meninggalkan celah dengan resiko mengorbankan kebeliaan anak. Disinilah usaha perlindungan anak yang dilakukan oleh para buyut kepada kakek- nenek kita dulu, tetap relevan dengan kebutuhan perlindungan anak hari ini.