Friday, November 5, 2010

Dari Jalmo ke Manungso


Apa jadinya,jika di dunia ini penuh dengan orang – orang yang hidup tanpa memahami arti keberadaanya di dunia:

Siapa dirinya?

Untuk apa dia hidup?

Apa jadinya jika dalam suatu peradaban, orang-orangnya telah terlatih untuk sebesar-besarya menumpahkan hasrat proyektif, interpelasi, hasutan?

Jawabannya, Ya seperti sekarang ini!

Saya jadi teringat pada keluh kesah Ki Ageng Soerjomentaram, seperti yang dikutip Darmanto Djatman:”Seprana-Seprene, aku durung tau ketemu wong” (dari dulu hingga sekarang, aku belum pernah bertemu orang).

Saya menekankan kata wong (orang) dari kalimat yang diucapkan dalam bahasa jawa tersebut. Dalam bahasa jawa sendiri, sejauh yang saya tahu, terdapat dua tanda bahasa yang menjelaskan manusia, yaitu: Jalmo dan manungso/wong. Manungso/wong, adalah tanda bahasa untuk menyebut orang yang benar-benar orang. Untuh. Otentik. Sedangkan jalmo, adalah tanda bahasa yang merujuk pada suatu entitas yang “mirip” manusia. Jalmo, hari ini lebih diidentikkan dengan makhluk halus, seperti jin, setan, siluman, atau makhluk jadi-jadian yang perwujudannya (jalmo/menjelma) seperti manusia. Tetapi secara filosofis dapat kita pahami juga, bahwa konsep jalmo adalah keadaan manusia yang belum menyadari tugasnya di dunia ini, sehingga belum menjadi wong/manungso (manusia yang utuh. penuh. otentik). Sebagai suatu fase dimana manusia belum menyadari eksistensinya, dapat juga berarti manusia (jalmo) dalam proses mencari dirinya, atau lebih ekstrim, jalmo tersebut kehilangan dirinya; tidak mengenali dirinya; terasing dari dirinya, dan semacamnya.

Lantas terfikir, bahwa, apakah modal sejarah –entah itu berupa kapital, pendidikan, sosial, religi, dan semacamnya- yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi* yang menuju pada realisasi diri? Menurut penulis, bisa ‘iya’, bisa juga ‘tidak’.

Jawaban ‘tidak’ bila jalmo, selama trajektori hidupnya, telampau menginternalisasi faktor-faktor esoterik sehingga tidak dapat mendengarkan suara hati. Bahkan suara hati yang mencuat, yang tidak sesuai dengan paradigma kesadaran, dianggap sebagai ancaman bagi kesadaran -dianggap patologis, irasional, pathetic, useless. Adaptasi yang dilakukan telah sampai pada mengorbankan keragaman subjektif, meleburkan diri pada karakteristik umum, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lain-besar hingga jalmo kehilangan, terasing, dan tidak mengenali dirinya sendiri. Intinya, berbagai usaha sejarah seperti pendidikan, pengetahuan, capital, cita-cita, selera, diseragamkan pada pilihan-pilihan umum sehingga jalmo sulit menyingkap dirinya menjadi wong.

Jawaban ‘iya’ apabila sejarah dimaknai sebagai suatu ijtihad mencari makna terdalam dari kehidupan individu terkait (jalmo). Pencarian ini –dilakukan dengan jujur- mengarah ke dalam diri (endoterik) dimana suara hati membisikkan kearah dimana individu harus melanjutkan proses hidupnya. Di tambah lagi, secara misterius, pilihan-pilihan dari bisikan hati tersebut sinkron dengan fenomena-fenomena esoterik yang dijumpai individu terkait. Jung, menamakan fenomena ini sebagai synchronize; Keserempakan antara keadaan psikis dan fenomena fisik secara tak terduga; Kebetulan yang bukan kebetulan; Kebetulan yang penuh makna. Contohnya adalah mimpi/firasat yang menjadi kenyataan, ide yang terealisasikan, pertemuan-pertemuan tak terduga, dan semacamnya. Jung percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan, yang ada adalah manusia tidak tahu dan tidak dapat memahami misteri kosmis yang tak pernah tuntas. ‘kebetulan’ ini mempunyai value yang begitu-dalam membekas di hati maupun pikiran. Jika mau jujur, momen-momen synchronity sangat mempengaruhi pilihan hidup jalmo kemudian. Inilah proses jalmo menuju wong/manungso.

Kembali pada pertanyaan: apakah modal sejarah yang terkumpul sejak lahir bukan suatu proses individuasi yang menuju pada realisasi diri? Maka melalui penjelasan diatas tersirat bahwa synchronity juga merupakan semacam panduan dari hati, step-step dari proses individuasi menuju pada realisasi diri. Penemuan diri yang asli. Penuh. otentik. penyingkapan akan tugas jalmo berada di dunia ini. Terapi bagi individu-individu yang mengalami krisis eksistensial. Jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial; Siapa dirinya? Untuk apa dia hidup? Dan seterusnya.. dan seterusnya..

Suatu proses panjang, dari jalmo menuju manungso..

Note (*):

Individuasi: Adalah suatu proses yang dilalui seorang pribadi (jalmo) menuju menjadi individu yang psikologis: yaitu satu kesatuan atau keseluruhan psikologis yang tak terbatas dan terpisah dari yang lain.

No comments: