Monday, August 4, 2008

Hewan mewakili rakyat




Aku gelisah, melihat sepak terjang para politisi di negeri ini. Banyaknya para politisi yang terjerat kasus kriminal, penipuan, KKN, dan permasalahan lain yang sku yakin belum terendus publik.

Aku bertanya – tanya, bagaimana mungkin partai – partai tersebut mengutusnya untuk menjadi wakil rakyat ?
Kualifikasi seperti apa yang dipakai hingga terpilih utusan partai yang seperti itu ?
Terus apakah yang mereka lakukan itu adalah sesuai dengan hati nuraninya ?
Atau hanya topeng belaka untuk ”sekedar” mewakili rakyat ?
Atau, mereka menjadi legislatif, utamanya adalah sebagai mata pencaharian, bukan suatu Perjuangan ideologis untuk menyalurkan aspirasi rakyat ?

Apakah dalam kenyataannyaa, sampel itu dapat mewakili populasi ?
Apakah 225 Juta warga Indonesia ini dapat diwakili oleh sejumlah anggota DPR ?
Apakah ini cerminan suatu perilaku bernegara dan demokrasi yang baik?

Aku yakin, jika Aristoteles hidup di Indonesia sekarang, Dia pasti akan merubah konsep demokrasinya dan pasti akan tercipta suatu prinsip demokrasi yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Atau DPR memang benar – benar mewakili rakyat ??
Buktinya, rakyat yang ingin punya mobil sudah diwakili oleh anggota – anggota Dewan yang mendapat fasilitas mobil.
Rakyat yang ingin rekreasi ke luar negeri sudah diwakili juga dengan ”studi2 banding” anggota Dewan ke berbagai negara.

Sekarang, apakah keinginan rakyat yang belum diwakili oleh anggota dewan ?

Thursday, July 31, 2008

Utopia Mahasiswa ideal








Mahasiswa ideal

Banyak diskursus perihal mahasiswa ideal dikemukakan oleh civitas akademia itu sendiri juga berbagai stake holder yang berhubungan dengan hajat hidup kampus.

Secara umum seringkali kira dengar prototype seorang mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang lulus tepat waktu 4 tahun, aktif di organisasi, dengan IPK minimal 3,00. Bukan mahasiswa yang studi oriented, yang mengejar sejumlah IPK, cenderung apatis akan kegiatan kemahasiswaan dan keluasan wawasan pengetahuan. Berpikir setelah kuliah dapat pekerjaan enak, jadi PNS dan lain sebagainya.

Mahasiswa aktivis (bahasa kerennya mahasiswa yang aktif di organisasi) tetapi IPK nya jeblok dan prestasi akademiknya dipertanyakan akhirnya melekatkan stigma bahwa mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang salah jurusan sehingga organisasi dijadikan kompensasi atasnya.

Mahasiswa yang lulus lebih dari 4 tahun pun bukan ideal karena melebihi ketentuan peraturan menteri pendidikan sehubungan normalisasi kehidupan kampus (NKK).

Menurut Prinsip individuasi Jung yang menekankan proses alamiah dalam keunikan subjek, Prototipe ini malah menjadi penjajahan psikis bagi setiap mahasiswa dalam proses realisasi dirinya. Seperti prinsip mazhab psikologi humanistik Cattel bahwa setiap individu adalah pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain, juga prinsip Aktualisasi diri Maslow yang menekankan pada penggalian potensi dalam diri setiap individu malah dinafikkan dengan singularisasi prototipe ideal semacam itu.


Politisasi Mahasiswa Ideal

Di sisi lain, prototipe mahasiswa ideal seperti yang dikemukakan di atas rawan terhadap kepentingan atas berbagai stakeholder dan golongan. Hampir bisa dipastikan disini, mahasiswa yang masih ”polos” atau mahasiswa yang lemah ideologis akan mudah terbawa persuasi ideal yang akhirnya terjajah dan ”tercuci” secara ideologis. Hal ini tentu saja tidak humanis, mahasiswa semacam ini akan kehilangan kebebasan dan orientasi ke depan. Alih – alih jika setelah lulus nasib baik berpihak, jika yang terjadi malah sebaliknya, tentunya akan sulit untuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Diibaratkan buah, maka yang matang di pohon lebih lebih nikmat daripada buah yang matang karena dikarbit. Singularisasi mahasiswa agar lulus dalam 4 tahun kuliah membawa semangat agar cepat lulus, tetapi, bersamaan dengan itu, penguasaan materi kelimuan menjadi kurang optimal.


Change agent of change

Konklusi dan peran historis mahasiswa sebagai agent of change di ”negara dunia ketiga” Indonesia ini sampai sekarang masih di dengung – dengungkan saja, padalah disadari atau tidak, jargon ini terasa klise, telah menjadi slogan kosong, bahkan hipokrit.

Memang, fungsi kontrol pemerintah di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini masih memerlukan peran mahasiswa (dengan idealismenya) untuk menghadirkan angin perubahan. Hal ini dipertegas oleh pembagian trias politika yang belum kokoh. Juga fungsi kontrol oleh pers dan berbagai lembaga hak asasi yang belum optimal.

Tetapi idealisme mahasiswa itu sendiri telah bergeser dengan meruaknya praktik politik praktis yang menggerogoti independensi tubuh lembaga kemahasiswaan. Disadari atau tidak, oposisi permanen terhadap pemerintah perlahan menjadi ”pseudo” dan hilang. Inilah salah satu sebab peran mahasiswa sebagai agent of change dengan idealismenya menjadi tidak “berharga” jika dihadapkan dengan posisi pemerintah.


Pemerintah melalui Dikti, tampaknya juga tidak konsisten dan bermuka dua dalam menetapkan berbagai regulasi. Keputusan normalisasi kehidupan kampus dengan waktu belajar ideal (S1) adalah 4 tahun secara tidak langsung memberikan label pada tiap mahasiswa baru untuk tidak ”cawe-cawe” dengan dunia pergerakan kemahasiswaan. Jika terjun dalam dunia aktivis, hal itu akan membuat konsentrasi terpecah, belum lagi materi kurikulum yang sangat mendukung model mahasiswa studi oriented. Secara waktu, jelas hal ini merugikan para aktivias kampus supaya kemudian enggan memikirkan segala sesuatu kecuali urusan akademiknya.

Seperti kalimat sakti yang diucapkan oleh inspirator mahasiswa, Gie, bahwa ”..perubahan hanya soal waktu..”. Maka, cepat atau lambat, agent of change yang terjangkit politik praktis akan membusuk, terus membusuk dan akhirnya tergeser oleh agent of change yang lain. Gerakan artificial ini akan menjadi tesis untuk bangkitnya agent of change lain, yaitu mahasiswa yang mempunyai kesadaran untuk menggali potensinya sedalam mungkin untuk kemudian, menghasilkan karya – karya yang bermanfaat bagi masyarakat dan secara tidak langsung, perubahan digerakkan dari karya – karya nyata yang membentuk suatu kultur baik kultur social, kultur politik, kultur organisasi. Dan penting kiranya dalam segala hal yang haus dipegang teguh : kejujuran


Jadi mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang lulus 4 tahun, IPK minimal 3,00 dan aktif organisasi. Tetapi, Mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang dapat mendalami disiplin ilmu yang dipelajarinya dengan baik dan utuh untuk kemudian dapat melahirkan karya sebanyak – banyak berdasar asas kebermanfaatan bagi masyarakat.

Tuesday, May 27, 2008

Seabad momentum kebangkitan nasional




Momentum 20 mei 1908 diperingati sebagai monumen bersatunya elemen perjuangan di seluruh penjuru nusantara dalam suatu visi tercapainya kedaulatan dan merdeka atas kolonialisme pada saat itu. Kekecewaan dan kemalangan masa lalu menjadi ”ketapel” yang luar biasa bagi intelektual muda pada masa itu untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik hingga tercapainya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan kini telah berusia seabad sejak momentum 1908.

Permasalahan hari ini
Tetapi, dalam perjalanan waktu, disadari atau tidak peringatan hari kebangkitan nasional (harkitnas) menjadi kegiatan ritual yang kehilangan isi. Dari berbagai penyebab, penulis menyoroti karena adanya perbedaan masalah yang dihadapi negara ini. Jika seabad yang lalu permasalahannya adalah kolonialisme londho yang dapat dilihat, dan masyarakat pada waktu itu dapat mengidentifikasi apa yang menjadi penyebabnya, maka permasalahan hari ini sama sekali berbeda dengan apa yang terjadi sebelum tahun 1945.
Secara global, permasalahan sekarang adalah perang ekonomi yang dipimpin ”jenderal – jenderal” kapitalis dunia setelah perang dingin selesai. Para orang pintar menyebutnya neo-kolonialisme, neo-imperialisme, atau penjajahan negara dunia ketiga. Apapun namanya, yang jelas realita ini membuat negara – negara yang mempunyai fondasi ekonomi rapuh tergerus dalam badai krisis. Indonesia menjadi salah satu negara yang hingga saat ini masih terombang – ambing di dalamnya. Secara sistematis penjajaan ini antara lain mengakibatkan biaya hidup semakin tinggi, sentralisasi kekayaan dan pengangguran. Karena “rumitnya” model penjajahan ini, masyarakat akar rumput tidak dapat mengidentifikasi dengan pasti apa sebab semua ini dan cenderung menyalahkan pemerintah. Dan, tanpa bermaksud merendahkan, tentu saja pemerintah tidak akan mampu mengatasi masalah ini tanpa bantuan para intelektual. Baik yang masih ada di ”menara gading” kampus maupun yang telah terjun dalam masyarakat.
Sementara berbagai organisasi kemasyarakatan (LSM, NGO, dll), organisasi dan pergerakan mahasiswa telah banyak mengetahui dan fasih dalam melafalkan fenomena ini, tetap masih belampu bertindak efektif untuk membantu pemerintah menyelesaikan persoalan. Bersamaan dengan itu juga, organisasi dan pergerakan belum juga menampakkan tanda – tanda persatuan. Malah, disadari atau tidak, bias – bias primordial, ideologi, intrik politik, bahkan motif ekonomi dalam setiap lembaga tersebut gagal mempersatukan lembaga dan pergerakan kemahasiswaan. Dan, tentu saja semakin memisahkan realita dengan arah perjuangan untuk menuju kebangkitan nasional.

Kebangkitan Generasi Muda
Jika berkaca pada masa lalu, seharusnya secara historis bangsa ini telah menunjukkan ampuhnya persatuan dalam mendorong perubahan, Bedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, KAMI-KAPI tahun 1966, Forkot-BEMSI-BEMI pada tahun 1998.
Setelah seabad berlalu, setelah berbagai peristiwa nasional di atas, maka apakah momentum seabad kebangkitan nasional akan menjadi monumen bangkitnya nasionalisme? bersatunya rakyat –mentolerir perbedaan primordial, perbedaan kelas dan ideologi untuk membangun Indonesia yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkarakter dalam budaya.



* Mahasiswa Psikologi UNNES

Friday, May 9, 2008

HIkayat Para Kambing Gunung II : Sindoro

Gunung sindoro adalah salah satu gunung dijawa tengah yang ketinggiannya mencapai lebih dari 3000 mdpal selain gunung Slamet, Sumbing, Lawu, Merbabu, Merapi. Dalam literature popular, ketingiian gunung ini mencapai 3153 Mdpal. Tetapi, gunung kembaran Sumbing yang elok dan bentuknya “sexy” ini telah menjadi korban eksploitasi besar - besaran. Penebangan kayu, kebakaran hutan, pembukaan lahan, penanaman hortikultura, pencurian bunga eidelweis dll membuat keindahan gunung ini semakin pudar.



Setelah lama menunggu kesempatan untuk berkenalan dan bersahabat dengan gunung nan indah ini, akhirnya bulan September 2007, saya bersama feri dan Imam (teman sejurusan) dapat mendakinya. Rute pendakian yang kami pilih adalah rute pendakian Desa Kledung yang berada di kabupaten temanggung.



Di jawa tengah, kegiatan mendaki lebih popular dilakukan di malam hari, walaupun udara lebih dingin membeku, ini lebih baik daripada terbakat terik matahari dan menghabiskan bekal air minum.
Seperti diketahui umum, dari rute kledung ini selama pendakian tidak akan ditemui adanya mata air. Jadi bekal mata air benar – benar disiapkan sejak dari basecamp pendakian.
Pendakian kami berjalan santai beriringan dengan banyak pendaki lain. Ada rombongan dari Jogja, semarang, Solo, Wonosobo dll. Sedang kami sendiri berangkat dari Semarang dan butuh waktu perjalanan kira – kira dua jam untuk sampai ke basecamp pendakian.



Kami ngecamp di pos III, di camping ground pada ketinggian 2500 mdpal. Pagi hari kami bangun dan bersiap menyaksikan keajaiban alam yang setiap hari kita lihat yaitu sunrise. Karena ini bulan September yang berarti musim panas, maka sunrise terlihat begitu bright, bersih, dan indah.



Gunung Sumbing, kembaran Gunung Sindoro ini berdiri gagah persis di sebelah selatan. Jika mendaki Sindoro dari lereng selatan (Rute Kledung), maka Gunung Sumbing akan terlihat begitu jelas, dekat, menawan dan menarik hati untuk segera didaki



Pos pendakian III atau nama kerennya camping ground ini tempatnya berupa tanah lapang yang cukup luas untuk menampung dua puluhan tenda dome.



Letak Sindoro sangat Strategis, dari pncak gunung ini, jika cuaca cerah, maka akan tampak puncak - puncak tertinggi di jawa tengah. Mulai yang paling timur adalah lawu, muria, merbabu, merapi, kompleks pegunungan telomoyo, ngandong, ungaran, sumbing, kompleks pegunungan dieng, hingga ujung barat: slamet dapat dilihat dengan mata telanjang



Sunrise... du... sindoro van java



Track menuju puncak sindoro, semakin lama semakin menanjak curam



Lereng Gunung Sindoro tampak gundul akibat kebakaran hutan, pembukaan lahan oleh warga, juga penanaman hortikultura.



Gunung Merbabu dan merapi tampak gagah dari puncak Sindoro



Kawah mati gunung Sindoro, menurut berita, Letusan terakhir gunung ini terjadi pada tahun 1902 masehi



Sahabat Feri mengabadikan momen di Waru Tatah lereng Sindoro



Sahabat Iman mengabadikan momen di puncak gunung Sindoro



Menjelang siang, awan mendung naik hingga sering terjadi hujan lokal, atau ada yang menyebut hujan gunung



Saturday, April 12, 2008

KAI VS ADAM AIR




Tulisan ini diilhami dari peristiwa yang ada disekitar penulis mengenai sarana trasportasi umum. Peristiwa ini membuat para pengguna jasa transpotrasi menjadi emosional, termasuk penulis sebagai pengguna jasa. Tetapi penulis akan mencoba menceritakan dengan seobjektif mungkin dengan bahasa penulis.

Baru2 ini khalayak dibuat melek dengan keputusan departemen perhubungan yang mencabut izin beroperasi salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi penerbangan. Yup, teman – teman sekalian pasti langsung mbatin ”Adam Air...!!”. Dari berbagai temuan, membuktikan kalau Adam Air (AA) tidak dapat memenuhi SOP yang telah ditetapkan departemen perhubungan. Kondisi pesawat yang entah bagaimana, skill pegawai (divisi pilot, pramugari, pemasaran) yang dipersoalkan investor, fungsi pengembangan yang tidak berjalan dengan baik, dll, dsb, dst...

Gosip2nya, awal 2007 kemarin (waktu salah satu pesawat AA hilang di perairan Sulawesi dan sampai sekarang tidak satupun jasad penumpang ditemukan), kalau nggak salah AA hampir mengalami kebangkrutan, tetapi mendapat suntikan dana dari investor ( saya lupa nama group investor tersebut) sehingga dapat beroperasi kembali. Setahun lebih berselang, peristiwa2 minor yang diberitakan media mengenai AA memahamkan publik perihal apa2 yang terjadi dalam ”tubuh” perusahaan tersebut.

Walaupun begitu, penerbangan ekonomis beresiko ala AA tetap ”terpaksa” digemari masyarakat konsumen yang ingin menempuh perjalanan udara dengan dana mepet. Dalam kancah kompetisi perusahaan penerbangan, tentu saja hal ini menjadi varian dengan segmentasi pasar yang tidak sedikit. Mungkin ada juga motif peruntungan dari konsumen, sehingga, ketika memutuskan naik AA tentu benar2 sadar resikonya dan kemudian terucap lirih doa ”ya Tuhan, semoga penerbangan ini lancar dan selamat sampai di tujuan tanpa kurang suatu apapun..amin..”

Di jaman perang modal sekarang ini memang diperlukan berbagai regulasi agar para kapitalis dapat tampil cantik dihadapan konsumen ,tentu saja, agar konsumen pun puas dalam mengkonsumsi produk barang maupun jasa. Termasuk perusahaan jasa penerbangan. Jadi, tepat kiranya jika pemerintah menjatuhkan sangsi pencabutan izin beroperasi perusahaan yang tidak dapat merias diri, atau bahkan membahayakan jiwa pengguna jasanya.

Sebagai rakyat jelata saya hanya bisa mendoakan dengan lirih ”Semoga engkau dilahirkan kembali dan dapat menjadi lebih humanis”.

Nah, itu tadi khan perusahaan swasta, tetapi apa jadinya jika perusahaan milik pemerintah (yang hanya satu – satunya, main monopoli, dan berwajah tidak ramah pada masyrakat konsumennya) beroperasi? Tak lain tak bukan, maksud saya adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api atau sakarang lebih dikenal dengan nama PT KAI (Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia).

Seperti kita ketahui, PT KAI beroperasi untuk memberikan pelayanan jasa transportasi publik dengan mesin angkutannya yang disebut kereta api. Angkutan publik ini laris manis bak pulsa HP antara lain karena harga tiketnya terjangkau dan efisiensi waktu dibandingkan berbagai jasa angkutan Bus atau transportasi darat tainnya. Tetapi, meski begitu, sebagai satu - satunya perusahaan jasa angkutan di bawah pemerintah, ternyata tidak dapat diartikan bahwa angkutan ini ”sempurna” dalam arti aman, nyaman, tepat waktu, terjangkau dan berorientasi pada kepuasan konsumen.

Penulis termasuk pengguna jasa angkutan ini untuk transportasi dari Semarang-Cepu Cepu-Semarang. Selama itu pula penulis biasa menggunakan kereta api kelas ekonomi Feeder dan KRD Express. Kereta kelas Ekonomi memang harganya jauh lebih murah sekitar sepuluh kali lipat dari tiket kereta kelas eksekutif. Hal ini dikarenakan penentuan tarif untuk kelas ekonomi ditentukan oleh pemerintah bersama DPR, dengan pertimbangan bahwa kereta api merupakan moda transportasi nasional yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat kelas bawah dengan harga tiket yang terjangkau. Sementara harga tiket untuk kelas eksekutif dan bisnis ditentukan oleh pihak kereta api, sehingga harganya bisa mencapai tiga atau empat kali lipat dari harga tiket kelas ekonomi.

Nah, selain harga yang murah, tentunya gerbong angkutan pun mempunyai spesifikasi fasilitas minimal sebagai penopang kenyamanan penumpang. Setahu penulis, dapat kita tilik dalam pasal 10 SK. MenHub no.8 tahun 2001. Disebutkan bahwa untuk kereta api ekonomi antar kota minimal dilengkapi dengan kipas angin, toilet, lampu penerangan, air sesuai dengan kebutuhan minimal perorang, fasilitas pemadam kebakaran, rak bagasi dan restorasi.

Tetapi peraturan tinggal peraturan. Pada kenyataannya dalam kereta Ekonomi, penulis menjumpai pintu kereta yang tidak berfungsi, kipas angin dan lampu tidak menyala walaupun hari sudah gelap, toilet yang rusak dan tidak ada airnya hingga penumpang tidak dapat buang hajat, jendela yang rusak karena kacanya pecah atau retak hingga penumpang kepanasan atau bahkan kehujanan. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelayanan pegawai PT KAI yang tidak ramah dan sama sekali tidak empatik.

Pengalaman penulis, suatu ketika pernah menumpang kereta feeder dari semarang-cepu yang penuh sesak bahkan banyak penumpang berdiri bahkan naik ke tas gerbong kereta. Dalam kondisi seperti itu tentunya kenyamanan penumpang sangat tidak terasa. Udara gerbong yang sesak, penat, lembab dan kotor di tambah bau toilet yang tidak keruan berpadu dengan kebisingan penumpang sedikit banyak melecut emosi penumpang kereta. Ini terlihat dari banyaknya umpatan yang terucap dari bibir penumpang. Pelayanan yang paling tidak ramah dan tidak empatik menurut penulis manakala kondektur memeriksa karcis penumpang. Beberapa penumpang mengeluh pada kondektur dengan kata kata yang emosional seperti “pak aku wis arep mati kepanasan koq keretane nembe mangkat tho?”, ada juga “Pak koq keretanya terlambat sih?” dan berbagai macam keluhan. Anehnya, kondektur tersebut stay cool seperti es batu, tersenyum pun tidak, apalagi menjawab. Dia dan hanya berkata “karcis…karcis…”. Mungkin dalam hati dia berujar “Sudah bagus dikasih harga murah, masih saja rewel..”. Pun dalam hati, saya berkata “ini tidak berbeda dengan di adam air kali yach ?”.

Tentu saja alasan tiket murah dan berakibat pelayanan “seadanya” pada kereta kelas ekonomi seperti di atas tidak dapat dijadikan alasan yang kuat. Kenyataan lain yang sering dijumpai adalah matinya AC pendingin pada kereta eksekutif sehingga penumpang kepanasan. Menu makanan yang tidak mencerminkan harga tiket, bahkan harga tiket restorasi yang sama dengan tiket kursi normal. Instalasi rel kereta api juga banyak bermasalah karena lapuk dimakan usia, dicuri warga sekitar rel, tanah labil dan lain sebagainya

Ini fakta, tanpa penelitian yang mendalam dapat kita simpulkan bahwasannya manajemen perkereta api-an di Indonesia dikelola secara monopolistik dan tradisional.

Tetapi kenapa Dengan segala ketidak humanisan tersebut pemerintah tidak mencabut izin beroperasi PT KAI, jika di lain pihak tidak serius mengembangkannya?

* Abdul Haris Fitrianto

Thursday, April 10, 2008

DILEMA EKSISTENSI MANUSIA (tinjauan psikologi marxian)

























Seperti filsafat dualisme yang selalu mempertentangkan tesa dan antitesa, akhirnya nanti akan memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya. Konflik eksistensi ini ada sejak manusia dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi

eksistensi manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, mereka berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan prestasi.

Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh.

Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padalah Setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan. Tetapi dia coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian.

Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis ini juga pernah dikatakan Erich Fromm(1973), bahwa selama ini manusia, disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia.

Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas tetapi untuk apa?

* Mahasiswa Psikologi UNNES