Wednesday, April 28, 2010

BELAJAR MENGEJA LIBIDONOMI



..The sheen of silk. Draped across a mannequin..Oh, the smell of new Italian leather shoes.. Oh.. The rush you feel when you swipe your card.. And it’s approved, and it all belongs to you! The joy you feel when you’ve bought something, and it’s just you when you and the shopping. All you have to do is hand over a little card. ISN’T THAT THE BEST FEELING IN THE WORLD? Don’t you wanna shout it from the mountaintops? And you feel so confident.. alive.. And happy.. And warm..”


-Rebbecca, in Confession of shopaholic the movie-


Sistem ekonomi yang menjadikan eksplorasi libido sebagai komoditas utama untuk mendatangkan keuntungan/profit/income biasa disebut Libidonomi (Libidonomics).
Untuk menjelaskan libidonomi, kata kuncinya ada dua, yang pertama ‘ilbido’ dan yang kedua ‘ekonomi’. Pembahasan mengenai libido, banyak kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran Psikoanalisis Freudian. Sedangkan pembahasan sistem ekonomi lebih umum membicarakan kegiatan produksi,distribusi dan konsumsi.

Libido, Dan Penjungkirbalikan Superego
Tampaknya nalar ekonomi kapitalis sangat mahfum dalam memperlakukan komoditas yang tak habis-habisnya dieksplorasi; libido. Sedikit saja pendekatan Psikoanalisa; Libido adalah nama lain dari id. Hal ini adalah pangkal dari segala keinginan manusia. Tindakan manusia bermula dari libido yang loloske ranah praksis oleh keputusan ego yang sudah mendapat persetujuan superego. Pun dalam mempersepsikan kebutuhan. Hal ini tidak bisa lepas dari konsensus struktur id-ego-superego untuk memenuhi keinginannya, karenanya, kebutuhan bisa juga diartikulasikan sebagai hasrat libidinal (keinginan) yang disetujui ego dan superego untuk segera dipenuhi. Jadi, dalam tiap tindakan manusia, selalu ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan ini adalah suatu peluang bagi pihak luar untuk menawarkan solusi dari kebutuhan tersebut.
Pada kesempatan lain, menarik sekali menyimak pendapat Tung Desem Waringin (TDW), bahwa libido, tidak pernah berkata ‘tidak’ terhadap segala stimulus yang datang. Sifatnya liar, pemburu kenikmatan, hanya bisa berkata ‘ya’, dan selalu ingin dipenuhi dorongannya. Di sisi lain, hanya superego yang dapat mengatakan ‘tidak’ sehingga gejolak libidinal terlarang (karena ditolak superego) itu ditekan ego ke alam nirsadar yang entah selamanya disana, atau sewaktu-waktu dapat diakses kembali oleh ego.
Dari penjelasan diatas dapat juga diartikan, agar dorongan libido lebih leluasa mendapatkan akses pemenuhan, maka informasi-informasi oposisional yang mengkonstruk superego harus disesuaikan dengan kepentingan interpelatif ideologi (tergantung siapa/apa Subjeknya. Dalam hal ini Subjeknya adalah kapitalisme). Nah, dari titik inilah dapat mengintip proyek besar kapitalisme dalam membebaskan libido dengan cara menjungkirbalikkan superego yang semula menjadi cambuk bagi id, berbalik menjadi permisif/sekutu id.
Bagaimana caranya agar proyak besar ini bekerja? Dengan menguasai pos-pos strategis kebudayaan dan mengisinya dengan values budaya konsumtif: (1)Penguasaan terhadap pop culture. (2)penguasaan terhadap media massa. (3)perluasan pusat-pusat konsumtivisme, ditambah (4)kegilaan marketing yang siap memenuhi ruang hidup individu-individu kapanpun dan dimanapun. Jika ruang hidup telah dikuasai, disadari atau tidak, perlahan-lahan values yang dibawa budaya konsumtif menginfiltrasi values lain yang mengkonstruk superego. values yang tidak linier atau bahkan bertentangan dengan budaya konsumtif di-eliminir. Mudahnya, nilai-nilai budaya terdahulu yang mengkonstruk superego digantikan nilai-nilai budaya terkini; budaya konsumtif.
Jika konstruk nilai superego telah sesuai, atau relatif sesuai dengan kepentingan kapitalisme (budaya konsumtif), disitulah tanda keberhasilan kapitalisme menjungkirbalikkan superego konvensional (superego-kantian, kata Zizek).
Di saat konstruksi superego yang didominasi value budaya konsumtif, saat itulah konsensus id-ego-superego akan lebih mudah meloloskan dorongan libidinal sebagai kebutuhan. Sedangkan, di waktu yang sama, diluar, kapitalisme telah menunggu dengan menyediakan berbagai brand dan varian produk bagi dorongan tersebut. Semua produk seakan-akan bisa memuaskan dorongan libidinal. Semua itu “berpenampilan sexy” agar cepat direngkuh konsumen. Tetapi sebelumnya, semua itu butuh transaksi ekonomi.
Jika superego telah merestui kegilaan libidinal id, maka ego tinggal mengeksekusinya:Saatnya terjun dalam arena konsumsi!

Perangkap Jouissance!
Struktur kepribadian seperti inilah yang jadi lovely victim kapitalis; individu-individu bekerja keras mencari dan mengumpulkan uang untuk kemudian melampiaskan hasratnya dalam arena konsumsi. subjek-subjek semakin tenggelam dalam budaya konsumtif, dan kapitalis semakin menikmati added values-nya.
Karakteristik libidinal dapat dipahami ketika dorongan itu terproyeksi pada suatu objek. Tetapi, yang perlu digaris bawahi disini, dorongan libidinal tidak pernah melekat tetap pada satu objek. Dia selalu berpendar-pendar pada berbagai macam objek dan juga terus menerus menuntut untuk dipenuhi. Ketika telah mendapatkan satu objek, kemudian muncul dorongan untuk mengkonsumsi objek lain.
Ini disebut jouissance. Memiliki, tetapi bersamaan dengan itu kehilangan. Isi, tetapi kosong.
Individu berusaha memenuhi suatu dorongan. ketika terpenuhi, dorongan terhadap objek itu hilang dan berganti dengan objek lain, yang belum terpenuhi. Begitu objek lain terpenuhi, di waktu yang sama, dorongan telah berpindah ke objek yang lainnya lagi. Jouissance, suatu keadaan yang seakan-akan telah mengkonsumsi untuk memuaskan dorongan kesenangan, tetapi sesungguhnya kehilangan karena objek dorongan telah berganti. Tidak ada kepuasan disini -kalaupun ada, hanya sedikit. Dan untuk menutupi perasan kecewa karena tidak puas (juga tidak senang), individu berusaha lagi dan lagi menuruti keliaran libido, namun lagi-lagi terperangkap jouissance. Seperti sebuah lingkaran setan yang memerangkap individu untuk berlari mengejar fatamorgana-fatamorgana dan kemudian mendapati kekosongan. Berlari lagi, lagi dan...

Bersamaan dengan itu, sirkulasi uang masuk ke rekening pemilik mesin produksi massal dan stake holder yang terkait semakin cepat membesar, dan semakin cepat terurai lagi dalam aktivitas arena konsumsi.

PEOPLE WITH EXHIBITION SYNDROME



Some of us may have unusual experiences like this: Sometimes, when you are take a walk, or ride the bike from a place to another place, but on the middle of your trip, in a side of the street, suddenly someone appear and stand up while showing their private parts to you. Other sample: Once upon a day, a couple expressly open up their room windows when they making love inside. That causing someone other can watch their activity whenever pass besides. Another one: Deliberately someone wear off their underwear, or wear off their bra, so that we can see the privates shape over their clothes. Have you ever got that situation? If you ever, That are some typical behaviors of a man with Exhibition Syndrome Diseases. Exhibition Syndrome is a kind of psychical diseases that the sufferers tent to show up their genital organ to someone other in common places, or another else that similars. It is very unexpected psychically disorder. We have to understand than will solve it.

Exhibition Syndrome Diseases caused by traumatic moment of sexual experiences such as: humiliations, diffidentness, and discontentedness of sexual experiences. Almost people would pleased if they have good sexual ability. But if they get humiliating about their sexual ability as a rule they will disappoint than repressed. Some people have diffident feeling about their privates because they did not have proportional size. They believe the myth that someone acquire small-size genital thing, their sexual activities would be nasty. Almost of Exhibition Syndrome diseases caused by discontentedly from sexual experiences. Discontented feelings repressed more and more, than assembled into unconsciousness become a “traumatic complex”. So, This nastily experiences leave a traumatic sexual experience complex than construct a sexual disorders behavior.

Secondly, Every disease, illness, and sickness having typical pattern, and so it is with Exhibition Syndrome diseases. Most of the Exhibition Syndrome sufferer are male, although some of them are female. But it is rarely. Man with Exhibition Syndrome (Exhibition Syndrome sufferer) usually using common places to find their victims. High way, sidewalk, city park, movie theater room, and cafe are several place that sometime utilize by exhibition syndrome sufferer to perform their disorder behavior. Exhibition Syndrome sufferer would happy, proud, satisfy, and reach incredible orgasm when the victim wander, scare away, frightful, or panic with their (exhibition) activity. Otherwise, Exhibition Syndrome sufferer disappoint if the victim have a careless manner. Therefore, man with Exhibition Syndrome tend to approve their sexual ability to the other.

We can find solutions to solve the disease and recovery the sufferer’s condition. Guidance and counseling therapy it’s a good choice to repair their attitude and have sex-educations. Second solutions, we can using Hypnotherapy. This therapy taking over the consciousness into unconsciousness to repair the memories that contain “traumatic-complex” such as humiliation, diffindentness, and discontentedness of sexual experiences. Another significant part beside therapist are changing the environment. As we know, environment is a significant factor that determined our mind, attitude, and behavior. Sexual disorder behavior seems like Exhibition Syndrome could appear because of environmental pressure. Humiliation, incorrectly sex information, peer group, and myth of sex are several of environment part that have tension to arrange sexual disorder seems like exhibition Syndrome Diseases. So, several therapist methods could work to solve Exhibition Syndrome problem.

Overall, this explanation bring us to conclusion that we should know, people with Exhibition Syndrome Diseases are not our enemies, but they are people who needs help to repair their conditions become normal people again. People with Exhibition Syndrome are same with us, they need affection.

ENGLISH VILLAGE PARE - KEDIRI



















Every place, village, town, or city has their own history. Including Pare. On geographical view, Pare is located in Kediri Regency, East Java,Indonesia. Pare is a town. It is exist very long time before Kediri became a regency. As a village, Pare is known as English Village at Tulungrejo district. English Village began since two decade ago. This is a simple history about English Village, So it can explain that Pare is a place which has “English Village” in Kediri, East Java.

Nowadays, Pare has significant development, especially for its English Village in Tulungrejo. There are so many courses, such as ACCESS, BEC, The Daffodiles, Smart, etc., And figures: Mr.Kallen, Mr.Ramdan, Mr.Putut, Mr.Edi, Mr.Ten, etc., Camps: ACCESS, Marvelous, GLOBAL, Mahesa, etc. Students in Pare from not only around Java but also Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok, Papua, and other place in Indonesia. A few student also inative Indonesian: Arabian. They are in Pare to study English. The students study English in camps/class that is suitable with their needs and purposes, such as general English, speaking, writing, reading, Listening, translating, grammar, pronunciation, Expression, Idiom,TOEFL, IELTS, First Certificate, English Culture etc. However figures, courses, students, and alumnus contribute in Pare’s development recently.

People always change all the time. Talking about “changing” we should discus globalization. Global challenge era implicates International roles, Politic, Economic, Culture, Interest, language, etc. Globalization is derived from the word “global” having similar to “international”. It means people are to learn English for global communications, interactions, interest. English skill are an obligation to face globalization. Pare as an English Village provides the strategic position to learn English. In Pare, people can speak English through various methods. So, English is a must. English is an obligation when globalization comes true, and study English in Pare is a right choice to face globalization. As an English Village, Pare has more effective and efficient methods than others place.

HEART APOCALYPSE



Sayangku..
Mendekatlah..
Mendekatlah ke sumber cahaya
Agar engkau tak menggigil kedinginan

Mendekatlah pada pijar yang menghangatkanmu
Bersama wangi secangkir teh

Sayangku..
Cahaya itu tak ada di luar sana
Cahaya itu bukanlah sesuatu atau sosok diluarmu
Cahaya itu ada dalam dirimu,
Hatimu..

Dan aku?
Aku hanyalah suara-suara..
Suara yang mengajakmu mendekat pada cahaya itu
Pada hatimu..

Sayangku..
Keberanian-hidup bukan tentang,
Seberapa cerdas engkau
Seberapa tumpuk teori-teori yang kau punya
Ada berapa buku-buka motivasi-mu
Atau berapa nominal ATMmu

Keberanian-hidup, bukan di kepalamu
Sayangku.. Keberanian-hidup bersarang di hati
Rasakan.. Pijarnya kan menghangatkanmu

Dan aku?
Aku akan berkata:
“mendekat.. mendekatlah pada hatimu
Rasakan hangat yang menjalari tubuhmu, dan..
Katakan ‘YA’ pada hidupmu”