Friday, June 18, 2010

"tuhan" Yang Memuai


Engkaulah gulita,
yang menghapus segala batasan dan alasan...

Engkaulah jalan,
menuju palung kekosongan dalam samudera terkelam...

Engkaulah sayap tepi,
yang membentang menuju tempat tak bernama...

(Dee: Supernova "Akar")


Tuhan dalam Silogisme

Pada konsep teologis berbagai agama, dengan mudah dapat kita baca akan adanya suatu yang “super” yang kemudian umunya disebut sebagai Tuhan, atau dalam agama-agama dikenal sebagai Allah, Yahweh, Trimurti, Zeus, Sang Hyang Tunggal, atau apapun namanya. Pada agama-agama, sebagai petanda keimanan pemeluknya, tak jarang tuturan yang menggambarkan kebesaran Tuhan sering diucapkan. Misalnya dalam Islam (agama saya) frase ‘Allahu Akbar’ mempunyai tafsir resmi kurang lebih: Allah itu maha besar.

Hari-hari ini, tersirat seakan-akan yang maha besar hanya satu: Tuhan. Yang lain cukup dengan “besar” saja. Selesai. Tak ada pikiran lagi. Dari sinilah problem menyeruak.


Begini:

Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.

Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih-dari-besar .

So, Gunung= Tuhan?

Atau begini saja,

Tuhan maha besar> Tuhan lebih-dari-besar.

Gunung itu maha besar>Gunung itu lebih-dari-besar.

Jadi, Gunung= Tuhan?


Tentu saja tidak . Tuhan tidak equal dengan gunung, tak juga dengan galaksi atau alam semesta. BesarNya jauh lebih dari gunung, galaksi, ataupun semesta. Sepertiya mustahil bila Sang-pencipta = ciptaanNya. Maka dengan mudah dapat dimahami Tuhan lebih BESAR (besar dalam arti apapun) dari gunung,galaksi, atau apapun.


Silogisme semacam itu sangat beresiko. Saya kira penafsiran terhadap premis mayor (Allahu Akbar>Allah lebih dari besar) sangat problematik sehingga belum bisa diperoleh premis minor (Gunung itu besar sekali> Gunung itu lebih dari besar) dan konklusinya (Gunung=Allah). Saya mempermasalahkan premis mayor dalam hal penafsiran.


Nalar Pemuaian – Pemuaian nalar

Seperti halnya sifat kosmis. Segala sesuatu di alam semesta ini tumbuh/memuai. Dari galaksi, hingga sel-sel tumbuhan, semua memuai. Begitu pula dengan dunia kata. Ternyata dunia kata pun memuai, dalam artian seperti: semakin banyak sinonim, semakin beragam makna. Misalnya, gunung itu besar sekali; gunung itu besar banget; gunung itu sangat besar; gunung itu buesssaaarrrr. Kata-kata itu menunjukkan ukuran kalau gunung itu lebih-dari-besar (banget, sekali, sangat, menyangatkan). Bisa juga dikatakan “gunung itu maha besar”.


Hari ini, pemakaian frase “Allahu Akbar” tak lagi berarti “Allah maha besar”. Dalam pemahaman saya, penafsiran bahwa “Allah itu maha besar” hari ini kurang memadai. Esensi yang saya tangkap besarNya adalah teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya karena tidak terdefinisi oleh dunia kata. Sifat yang tak mungkin ditandai dalam kata-kata; melampaui dunia kata. Dunia kata itu ada batasnya, tetapi Dia tidak. Yang jelas apapun dan bagaimanapun definisinya, tidak ada yag lebih besar melebihi Tuhan. Namun esensinya tetap sama; Tuhan besarnya teramat sangat, manusia tidak bisa memperkirakan, besar dan ke-besar-anNya tidak terdefinisi oleh kata-kata. Yang jelas, bagaimanapun definisiNya, tidak akan pernah mampu men-define-Nya penuh-seluruh. Dalam teori pemuaian, bukan berarti besar (Ukuran) Tuhan memuai, tetapi definisi, pemahaman dan pengenalan manusia terhadap Tuhan-lah yang memuai; semakin besar, semakin cair, semakin…..


Lebih dari semua itu, akhirnya saya sampai pada kesimpulan sementara: Sebaiknya kita tak perlu mendefinisikanNya, karena tak ada yang akan kita peroleh kecuali sia-sia belaka, termasuk apapun dalam tulisan ini yang berupaya mendefinsikanNya..


Di sabtu pagi yang cerah, diselimuti hawa sejuk, secangkir kopi, dan sebatang rokok...